Monday 27 February 2012

Bagaimana Menjadi Pembohong yang Baik #1

Sejak dulu para orang tua telah memberi tahu kita untuk tidak berbohong karena berbohong itu tidak baik. Lucunya, mereka seringkali mensahkan suatu kebohongan yang disebut "white lies" alias "bohong putih", yakni suatu kebohongan yang dikatakan atas dasar niat baik. Tapi niat baik itu sendiri artinya relatif bagi setiap orang. Karena itu, singkirkan rasa keragu-raguanmu itu, Girlies. Meskipun kamu tidak mau, akan datang saatnya ketika kamu perlu berbohong, dan untuk itu, kau harus menguasai teknik-tekniknya. Dan bersyukurlah, karena setelah selama bertahun-tahun aku mempelajari cara-cara berbohong, aku mau berbagi dengan kalian.

1. Berusahalah tampak lugu
Terdengar agak menyedihkan, tapi para gadis selalu lebih mudah lolos dari setiap tuduhan dan dugaan daripada anak lelaki. Sudah bukan anggapan rahasia bahwa anak perempuan hanyalah makhluk polos yang tidak mungkin melakukan segala sesuatunya dengan keji. Tapi ingatlah, zaman berubah, kini perempuan juga cukup diwaspadai meski tetap tidak sewaspada kepada anak laki-laki. Sedikit ekspresi dengan menelengkan kepala dan kerutan kecil di kening saat berpura-pura berusaha mengingat akan membuatmu tampak sangat lugu.

2. Tampak lemah sebisa mungkin
Bagi kalian para gadis bertubuh besar, tertawalah, tapi kenyataannya kalian juga dapat tampak lemah. Bahkan kalaupun kalian memiliki tubuh kekar yang berotot. Tidak mungkin satupun dari kalian tidak menderita kelemahan apapun. Sedikit detil yang melibatkan serangga atau hewan kecil menjijikkan akan membuat kalian tampak lemah--meski mungkin akan ditertawakan.

3. Jangan menambahkan terlalu banyak detil
Ketimbang berkata, "Mana mungkin aku mencuri artefak itu dari museum, aku sedang mengerjakan tugas IPA dengan Marina sambil berusaha menangkap kodok kemudian membedahnya," cobalah untuk berkata, "Saat itu aku sedang mencari kodok bersama Marina untuk proyek IPA. Harusnya kalian rasakan betapa licin makhluk menjijikkan itu." Detil yang terlalu banyak akan mencurigakan dan akan lebih menyulitkan kalian keluar dari masalah--terutama kalau kalian menyebut inti masalah tersebut.

4. Jangan terlalu jauh dari kenyataan
Ketika kau berbicara terlalu jauh dari kenyataan yang ada, kau akan merasa berbohong--dan itu akan mengacaukan semuanya. Daripada berkata kau tidak pernah mendekati bangku tempat seorang teman yang baru saja kecurian, katakan yang sejujurnya bahwa kau baru saja menaruh permen karet di bangkunya--dan tambahkan dengusan meremehkan serta tampak benar-benar kesal.

5. Berlatihlah
Practice makes perfect. Berkaca di cermin dan terus ulang kebohonganmu sampai kau hafal--tapi jangan terlalu hafal karena cerita yang terlalu sempurna hanya menambah kecurigaan.

Kejiwaan

Seperti apa definisi orang gila? Ah, itu sih gampang. Pakai baju compang-camping, dekil, dan tatapan gak fokus. Apa yang meyakinkan semua orang bahwa orang itu orang gila dan bukan sekadar gelandangan?

Pembicaraan yang mereka lakukan.

Terkadang mereka berbicara pada tembok, tempat sampah, pohon, bahkan bungkus lemper yang sudah dibuang. Ya, orang gila identik dengan kebiasaan mereka yang suka berbicara sendiri, atau dengan teman imajiner yang tidak dapat kita lihat. Bisa jadi salah satu dari mereka itu merupakan pengidap skizofrenia. Skizofrenia merupakan salah satu penyakit kejiwaan di mana si penderita dapat mendengar, melihat, atau merasakan apa yang tidak orang lain rasakan. Ini bukan indra keenam. Pemilik indra keenam dapat mendengar, melihat, dan merasakan apa yang tidak orang lain rasakan, tetapi itu makhluk alam lain. Bagaimana dengan penderita skizofrenia? Jika alam lain itu merupakan alam khayalan mereka sendiri, maka mereka bisa juga dibilang sebagai pemilik indra keenam. Tapi tidak, skizofrenia membuat si penderita merasakan hal yang hanya ada dalam khayalan. Fiksi. Tidak nyata. Surreal. Bohongan.

Lalu bagaimana dengan kebiasaan kebanyakan orang yang suka berbicara sendiri?

Ketika seseorang berbicara sendiri, tidak lantas orang tersebut menjadi orang gila. Akui saja. Kalian semua setidaknya pernah berbicara dengan diri sendiri dalam satu hari pada satu minggu. Itu hal yang normal. Ada orang yang berbicara sendiri sedang merencanakan apa yang mungkin akan ia lakukan atau katakan. Ada yang sedang memarahi diri sendiri atas kebodohan di masa lampau. Ada orang yang berbicara dengan diri sendiri saat sedang curhat.

Kok bisa?

Umumnya itu adalah hal yang wajar. Tetapi jika dilakukan terus menerus, dapat mengindikasikan bahwa orang tersebut merupakan orang yang lingkaran pergaulannya kecil, kurang mendapat perhatian, atau memang ada bakat penyakit kejiwaan. Jangan salah. Bukan hanya keahlian yang memiliki bakat. Penyakit kejiwaan pun memiliki bakat, tetapi dengan persentase yang kecil sekali. Jika salah seorang orangtua dari seorang anak adalah seorang pengidap penyakit kejiwaan, maka ada kemungkinan 1/9 bagi anak tersebut untuk ikut mengidap penyakit kejiwaan. Bagaimana dengan sisa 8/9-nya? Itu ditentukan oleh lingkup sosial, pendidikan, dan pertumbuhan anak itu sendiri.

Sementara untuk orang yang tidak memiliki garis keturunan penyakit kejiwaan dalam keluarganya, itu tetap merupakan sesuatu yang wajar. Maksudku, siapa sih, yang mau bercerita pada orang lain tentang insiden terbangun dengan "kasur basah" pada orang lain, sementara umurmu sudah enam belas tahun? Terkadang manusia bercerita bukan untuk meminta saran, tetapi untuk didengarkan. Dan kenyataannya, tidak ada pendengar lain yang lebih baik selain Tuhan dan diri sendiri.

Gimana kalau anak autis? Apa mereka pengidap penyakit kejiwaan?

Anak autis berada di dua titik paling ekstrim dalam hidup manusia. Di satu sisi mereka merupakan anak-anak yang jenius, tapi di sisi lain mereka tidak dapat melakukan apapun tanpa bimbingan orang lain. Mereka jenius karena memiliki tingkat fokus yang luar biasa. Ketika orang lain pikirannya terpecah antara membayar utang, mengerjakan pekerjaan rumah, dan chatting dengan teman, anak autis bisa menyelesaikan satu hal di antaranya dengan cepat karena pikiran dan konsentrasi mereka yang tidak pernah teralihkan. Tapi, ada beberapa kasus di mana anak autis menunjukkan perilaku aneh. Terkadang mereka begitu asyik dengan dunianya sendiri; ini cukup berbahaya, karena bisa jadi bahkan saat terjadi kebakaran atau kecelakaan lainnya, anak autis tidak akan beranjak dari tempatnya. Anak autis bukanlah pengidap penyakit kejiwaan, mereka hanya anak-anak biasa yang memiliki kebutuhan khusus. Jadi adalah salah besar jika ada seorang teman yang terlalu asyik bermain BlackBerry sendiri lalu kita sebut sebagai anak autis. Tidak. Autisme--sekali lagi--bukanlah penyakit kejiwaan, hanya suatu kelebihan yang membawa serta kekurangan bagaikan dua sisi koin. Anak autis juga anak biasa; mereka makan, minum, dan bermain, hanya saja mereka "lebih" daripada kita.

Balik lagi ke soal kejiwaan. Apa yang bakal terjadi kalau orang terlalu banyak bicara sendiri?

Jawabannya mudah. Mereka bisa mengidap penyakit kejiwaan. Gila. Tidak waras. Jika suatu saat kau menemukan salah seorang temanmu terlalu sering berbicara sendiri--dan kau cukup peduli padanya--ajak ia berkomunikasi. Seringkali orang terlalu banyak bicara sendiri karena tidak memiliki teman untuk berbagi pendapat. Jangan kucilkan mereka, karena itu hanya akan memperparah keadaan.
Trust is fragile. Hard to earn, but easy to lose.
 Dulu aku pernah bermasalah dengan seorang teman dekatku--sebut aja N--yang begitu mirip seperti saudariku sendiri. Yah, kayak Thata gitu deh. Bedanya, dengan Thata aku nyaris gak pernah punya masalah, tapi dengan yang ini... well... kayaknya masalah hobi banget menjambangi kami. Sebut saja. Rasa cemburu, iri, kesalahpahaman... dan yang tidak mengejutkan, semua itu awalnya dariku. Ketidakdewasaan? Mungkin.

Masalah kedua terakhir yang menimpa kami (yang beneran terakhir itu soal lain, tapi semoga gak akan pernah bermasalah lagi--amin) adalah ketika ia jatuh sakit. Dan, hei, maksudku, kalau menurutku aku benar-benar seorang teman dekatnya, kenapa aku tidak diberi tahu? Sampai akhirnya pacarnya lah yang memberitahuku. Di situ aku merasa... entahlah. Disisihkan. Dikhianati. Ditipu. Ditinggalkan. Oh, semua perasaan hiperbola negatif terasa olehku. Dan aku mengatakan hal yang--tidak kejam--tetapi kekanak-kanakkan. Benar-benar kekanak-kanakkan, benar-benar ucapan anak TK. Dan itu membuat sahabat, sepupu kedua, dan pacarnya, well, marah.

Sepupu kedua dan sahabatnya take no action for me, tapi pacarnya benar-benar kecewa padaku. Dan sungguh, list orang-orang yang benci aku kecewakan secara berturut-turut adalah diriku sendiri, ibuku, (orang yang kuanggap) sahabatku, dan (orang yang kuanggap) teman dekatku. Baik N dan pacarnya sendiri ada di urutan ketiga dan keempat. Tapi bahkan tanpa pacarnya N (yang inisialnya D--kayak aku :O) menegurku atau apa, aku bisa dibilang nyaris seketika juga menyesali perbuatanku. Tapi yang namanya penyesalan sih selalu datang terakhir--entah itu berlama-lama kemudian atau seketika itu juga. Nasi udah jadi bubur ayam tanpa kacang. Apa boleh buat. Kalau aku cuma duduk diam menyesali dan berpikir, "Kalau saja... kalau saja..." itu gak akan mengubah keadaan. Jadi aku mengambil tindakan. Aku minta maaf. Aku berusaha meluruskan. Aku juga berusaha menjauhkan diri dari N. Tapi gagal. Kenapa? Aku bukan orang yang disiplin, aku kangen dia dan kita ngobrol lagi -_____-"

Anyway, meskipun aku dan N sekarang udah biasa kayak dulu lagi, tapi karena pacarnya udah terlanjur kecewa, hubunganku sama dia gak bisa kayak dulu lagi. Dengan D, maksudku, bukan dengan N. Eh, BTW, jujur ya, aku paling malas nulis nama orang pakai inisialnya, tapi ini hak privasi, mau gak mau aku gak boleh langgar. Hauh.

Kembali lagi ke D; karena terlanjur kecewa, ya itu, dia lamaaaaa banget gak nge-email aku, pun aku gak berani nge-email dia. Baru kemudian saat sepupu kedua N (yang, omong-omong, udah cukup sering ngobrol sama aku) nawarin kami semua (aku, D, kembarannya D, sahabat/bodyguard N dan kakaknya) untuk liburan, baru akhirnya D ngobrol lagi denganku--tapi itu gak bisa betulan disebut obrolan. Couple of mails, talking about flight and holiday? Are you serious?

Tapi ternyata... N bilang, setiap kali dia ngomongin aku, D selalu kelihatan kesal. Nah, itu dia. Kalau dulu kami cukup sering ngobrol (meskipun lewat email), harus merelakan dia pergi, dan mungkin tak akan kembali. Biarkan cinta bersemi di bulan Januari... Eh, kok jadi gini? Gak, gak, gak, gak, maksudku adalah, meskipun D sedikit banyak udah kuanggap kakak (lebih dominan BANYAK), ini kan kesalahanku sendiri. Apa boleh buat. Ternyata D (kemungkinan) masih kesal sama aku. Jadi waktu kukirim email juga dianggurin. Eh, apa mungkin karena "Unimportant Mail" kutaruh di subjek dan dia mengabaikan email gak penting, ya? Gak tau deh, keburu patah hati (╥╥)

Moral of the story: Kalau ngelabrak orang yang sakit tapi gak ngasih tau kita, jangan lewat SMS, karena bisa meninggalkan jejak. Mendingan lewat telepon, atau kalau orangnya gak jauh samperin ke RS sekalian, supaya gak ada jejak tertinggal yang bisa membuktikan bahwa kita bersalah *eh

Lomba novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)

Untuk merangsang dan meningkatkan kreativitas pengarang Indonesia dalam penulisan novel, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kembali menyelenggarakan Sayembara Menulis Novel. Lewat sayembara ini DKJ berharap lahirnya novel-novel terbaik, baik dari pengarang Indonesia yang sudah punya nama maupun pemula, yang memperlihatkan kebaruan dalam bentuk dan isi. Adapun persyaratannya adalah sebagai berikut.
Ketentuan Umum
  • Peserta adalah warga negara Indonesia (dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau bukti identitas lainnya).
  • Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah.
  • Naskah belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya.
  • Naskah tidak sedang diikutkan dalam sayembara serupa.
  • Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik.
  • Tema bebas.
  • Naskah adalah karya asli, bukan saduran, bukan jiplakan (sebagian atau seluruhnya).
Ketentuan Khusus
  • Panjang naskah minimal 150 halaman A4, spasi 1,5, Times New Roman ukuran 12.
  • Peserta menyertakan biodata dan alamat lengkap pada lembar tersendiri, di luar naskah.
  • Empat salinan naskah yang diketik dan dijilid dikirim ke:
Panitia Sayembara Menulis Novel DKJ 2012
Dewan Kesenian Jakarta
Jl. Cikini Raya 73
Jakarta 10330
  • Batas akhir pengiriman naskah: 30 Agustus 2012 (cap pos atau diantar langsung).

Lain-lain
  • Para Pemenang akan diumumkan dalam Malam Anugerah Sayembara Menulis Novel DKJ 2012 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada bulan Desember 2012.
  • Hak Cipta dan hak penerbitan naskah peserta sepenuhnya berada pada penulis.
  • Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat-menyurat.
  • Pajak ditanggung pemenang.
  • Sayembara ini tertutup bagi anggota Dewan Kesenian Jakarta Periode 2009-2012 dan keluarga inti Dewan Juri.
  • Maklumat ini juga bisa diakses di www.dkj.or.id.
  • Dewan Juri terdiri dari kalangan sastrawan dan akademisi sastra.

Hadiah
Pemenang utama
Rp.
20.000.000
Empat unggulan
@Rp.
4.000.000

Jadwal
Publikasi Maklumat : Maret 2012
Pengumpulan karya : April—Agustus 2012
Penjurian                : September—November 2012 
Pengumuman pemenang : Akhir Desember 2012

(Sumber: dkj.or.id)

Tuesday 14 February 2012

How I made my homemade chocolate ;)

BAHAN:
-Buah stroberi dan anggur (perbandingan 1:2, boleh diganti dengan buah lain/lebih dari dua jenis buah)
-Bolu yang sudah jadi (bisa dibeli di Supermarket)
-Biskuit stik
-250gr dark cooking chocolate
-75ml krim (bisa diganti susu kental manis plain/full cream)
-Satu sendok teh vanilla essence
-Satu bungkus agar-agar rasa cokelat (optional)

CARA MEMASAK:
1. Masak agar-agar dengan instruksi yang tertera pada bungkus agar-agar hingga mendidih, masukkan ke dalam wadah/mangkuk dan sisihkan.
2. Potong cooking chocolate kecil-kecil (lebih tepatnya diiris), lalu campurkan dengan krim/susu kental dan vanili, kukus dengan api sedang sampai meleleh sambil diaduk setiap 20-30 detik sekali. Jaga jangan sampai air masuk ke dalam cokelat, karena dapat membuat cokelat menjadi hancur.
3. Sementara menunggu cokelat, cuci bersih buah-buahan, kalau menggunakan buah yang besar seperti apel bisa dipotong dadu atau sesuai selera, potong juga bolu, sesuai selera, atau bisa ditusukkan menjadi seperti sate.
4. Pastikan cokelat sudah meleleh sempurna, baru kemudian angkat dan diamkan sebentar hingga agak mendingin, sisihkan.
5. Potong agar-agar beku dengan pisau, campurkan sebagian (atau sesuai selera) ke dalam cokelat yang sudah mencair agar cokelat memiliki tekstur. Masukkan ke dalam wadah, hias sesuai selera dengan biskuit stik, buah-buahan, dan kue bolu.
6. Voila! Jadi deh :)

-----------------------------------------------------
Aku cuma pake buah stroberi dan anggur sih, karena bolunya gak nemu -_____-
Tapi tetap enak, kok. Bakal lebih enak kalau pake buah yang rada asem kayak blueberry, karena mendapatkan manis dari cokelat, tapi ketika digigit, rasa asam-manis meledak di dalam mulut. Kayak permen Nano-Nano gitu, cuma kurang rasa asinnya aja xD
Good luck :)

 Sebelum cokelatnya dikukus :>
Horeeee, jadiiiiiii!!!

Friday 10 February 2012

Unnamed

Aku terlahir tanpa nama. Entah karena merasa tak ada nama yang cocok atau karena malas memikirkannya, sejak kecil orang tuaku pun hanya memanggilku, "Nak". Tapi lima belas tahun yang lalu, ketika seorang keluarga dari Australia pindah ke sebelah rumahku dan anaknya menjadi temanku, untuk pertama kalinya aku punya nama. Ia memanggilku "Unni".
        "Kenapa Unni?" tanyaku waktu itu.
        "Karena kedengarannya manis," jawabnya singkat sambil memalingkan wajahnya.
        "Ayolaah..." bujukku.
        "Baik, Unni itu singkatan dari 'Unnamed', artinya 'Tanpa nama'," katanya.
        Aku hanya terdiam waktu itu, tapi jari-jari tanganku memilin jari-jari tangannya. Aku bergumam, "Terima kasih."

~Ten years later~
"Unniiii....!" aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil.
        "Layla? Kenapa kamu lagi-lagi berlari-lari seperti anak kecil begitu?" tanyaku. "Nanti kamu bisa terpeles--ah."
        Baru saja kubilang, Layla terpeleset jatuh di lantai sekolah yang licin. Semua orang di koridor saat itu kaget dan berusaha membantu Layla berdiri. Yang sebenarnya tak diperlukan. Gadis itu tahan banting sejak dulu.
        "Baru saja kubilang, kan?" aku berkacak pinggang menunduk menatap Layla yang sedang membereskan seragamnya dari kusut.
        "Maksudnya 'lagi' itu apa, Unni?" tanyanya sambil nyengir lebar. "Halo."
        "Halo," balasku singkat. "Kau selalu berlari seperti anak kecil, yang juga selalu diakhiri dengan sebuah plesetan yang dramatis."
        "Makna plesetan yang kau maksud dengan yang 'plesetan' itu berbeda, Unni," Layla menjajari langkahku yang sudah berbalik. "Plesetan yang kau maksud adalah tergelincir. Plesetan yang orang-orang tahu adalah permainan kata."
        "Plesetan kata juga permainan yang membuat kata mirip dengan satu kata lainnya tapi bermakna berbeda, tidak jauh dengan yang kumaksudkan." Kataku.
        "Beda dooong..." kata Layla keras kepala. "Kalau kubilang beda ya beda!"
        "Tau ah, susah ngomong sama orang bodoh."
        "Aduuh, Unni iniiii....."
        "Diam."
        Layla benar-benar terdiam. "Sekarang kamu mau ke mana? Pulang?"
        Aku mendengus. "Aku tidak punya rumah."
        "Jadi kamu mau ke mana?"
        "Ke tempat orang itu."
        Layla membeku dengan wajah tegang. "Ke... sana? Unni, kamu yakin mau ke sana?"
        Aku mengangkat bahuku acuh. "Hanya sekedar menengok."
        "Ta... tapi... tapi kan..." Layla terbata-bata.
        "Tapi apa?"
        "Tempat itu seram sekali..."
        Aku tersenyum. "Dan aku tidak seram?"
        Dengan polos, Layla mengangguk.
        "Oh, sial," aku tertawa. "Terserah saja, kau takut tempat itu atau tidak, tapi aku tidak, dan aku mau pergi ke sana."
        Layla diam sebentar lalu menjawab, "Aku gak mau ngikut."
        "Terserah," aku mengedikkan bahuku, tetap pada pendirianku. "Aku toh, akan tetap pergi juga. Dengan atau tanpa kau."
        "Unni keras kepala!"
        Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan. "Dadah."

Krieeet...
        Aku menatap pintu kayu besar itu. Pintu masuk kediaman keluarga Roosevelt, rumah teman main lamaku dulu. Memang nama mereka sama dengan nama Presiden Amerika, tapi temanku bersumpah mereka tidak memiliki hubungan darah apapun.
        Dulu aku juga sering main ke rumah ini, tapi sambutan untukku yang dulu dengan yang sekarang berbeda. Dulu, tempat ini bersih, rapi dan terawat. Sekarang debu menumpuk, tirai-tirainya sobek, abu di mana-mana, dan kecoa ataupun tikus berkeliaran. Masa-masa kejayaan rumah ini telah musnah. Aku rasanya masih bisa mencium bau asap dan ketakutan yang menjadi awal kehancuran rumah ini.
        Sekitar sebulan yang lalu, kebakaran besar melanda rumah ini dan beberapa rumah di sekitarnya, tak terkecuali rumah orang tuaku dulu. Orang-orang rumah lain berhasil selamat, karena kebakaran itu memang terjadi saat musim liburan, semua keluarga sedang pergi berlibur entah ke mana.
        Semua, kecuali keluarga Roosevelt.
        Kebakaran itu membunuh semua anggota keluarga Roosevelt. Dari Kakek, pasangan suami-isteri Roosevelt, hingga ketiga anak mereka. Sahabatku, tentu saja, salah satu yang ikut meninggal terbakar.
        Aku menghampiri korden terdekat dan mengaitkannya ke pengait korden di tembok lalu dengan sapu tanganku, aku membersihkan debu di jendela. Cahaya matahari menerobos masuk. Lalu aku mengambil sebuah tongkat kayu dengan kumpulan ijuk di ujungnya. Benda yang dulunya sapu itu, kugunakan untuk membersihkan debu-debu di lantai sampai setidaknya lebih layak diduduki, lalu meletakkan tasku di sana. Aku berlutut dan mengeluarkan sesuatu dari tasku. Selembar kertas dan pulpen.
        Aku mulai bersenandung kecil, berusaha memanggil arwah teman masa kecilku itu. Pulpen yang kupegang lama kelamaan menjadi hangat, dan mulai menulis:
        Halo.
        Aku membelalakkan mataku tak percaya. Padahal kukira permainan jelangkung itu tidak benar-benar bisa dilakukan. Tapi pulpenku menulis tanpa kugerakkan.
        "Michael?" panggilku.
        Pulpenku menulis lagi, Halo Unni.
        "Michael!" aku tak dapat menahan rasa senang dan lega dalam suaraku. "Michael, oh Michael! Kau tahu betapa aku merindukanmu?"
        Michael membalas, Tentu saja kau harus merindukanku, aku kan, keren.
        Aku tertawa. "Hei, kalau kulepaskan pulpennya, apa kau akan berhenti menulis juga? Apa pulpen itu akan terjatuh tanpa daya?"
        Coba saja, katanya.
        Dengan berdebar-debar, aku melepaskan pulpen itu dan pulpen tersebut... tetap tegak berdiri. Aku tersenyum lega.
        "Syukurlah," kataku. "Kukira aku harus mengorbankan lenganku pegal hanya untuk berkomunikasi denganmu."
        Wah, sampai segitunya. Kamu naksir ya, padaku? Awal cinta terlarang dua dunia, nih.
        "Huu! Geermu itu lho, dari dulu gak berubah!"
        Kalau berubah, nanti kamu sedih dong. Lagian, mau gimana juga kan, aku masih tetep mirip sama Taylor Lautner.
        "Huek! Aduh, Michael, sarapanku keluar, kan!"
        Kebiasaan jorokmu itu gak berubah, Unni. :P
        "Heh! Kamu barusan ngejulurin lidah padaku, ya?"
        Galaknyaaa... Takut ih, takuuut...
        "Kalau takut, nangis dong!"
        Mamaaa... Unni ngancem aku!
        Aku tertawa. "Kamu gak melanjutkan 'perjalananmu'?"
        Hening, tidak ada jawaban. Lalu, Michael perlahan membalas, Kamu ingin aku pergi?
        "Bukan!" ujarku cepat, "aku gak mau kamu pergi, tapi..."
        Suara tawa yang akrab di telingaku, tapi pada saat yang bersamaan membuat bulu kudukku meremang menggema. Harusnya kau lihat wajahmu! kata Michael, lucu sekali! Apalagi saat aku tertawa.
        "Sial, kau tertawa sekali lagi, kubunuh kau, Michael!"
        Secara teknis, aku seolah bisa merasakan Michael menyeringai. Aku memang sudah mati, kok. Ah, tapi kalau kita nanti bertemu lagi, kau bisa bunuh aku lagi, ya? Hahaha, takut!
        "Aku serius, Michael, apa kau tidak 'pulang'?"
        Aku masih punya waktu beberapa jam lagi.
        Beberapa jam lagi? "Michael," panggilku, "apa maksudnya?"
        Angin berhembus kencang, dan pulpenku tergeletak begitu saja. Dengan agak panik aku mengguncang-guncang pulpen itu. "Michael? Michael!"
        Kaca salah satu jendela pecah, dan pulpenku--Michael--menulis lagi.
        Waktu empat puluh hariku habis, katanya, aku menunggumu selama tiga puluh sembilan hari dan kau baru datang pada hari terakhir.
        "Michael, maafkan aku. Aku bahkan baru tahu ada cara ini selama beberapa jam terakhir."
        Kau membuatku menunggu. Aku menunggumu, berharap kau datang. Dan saat kau datang, kau tertawa seolah-olah semuanya baik-baik saja.
        "Demi Tuhan, Michael! Tak ada yang baik-baik saja! Aku merindukanmu. Aku depresi kehilanganmu, dan baru kemarin aku mengetahui permainan ini!"
        PERMAINAN?
        "Ah, maksudku..."
        JADI BAGIMU SEMUA INI PERMAINAN?
        "Bukan, Michael!"
        DI MATAMU PUN, KEBERADAANKU HANYALAH SEORANG SAHABAT LAMA YANG TELAH MENINGGAL! KAU MELUPAKANKU, UNNI!
        "Michael!"
        AKU BENCI KAU! KAU, UNNI. GADIS CENGENG YANG EGOIS DAN MUNAFIK. KAU INGAT SIAPA YANG MEMBERIMU NAMA?
        Angin berhembus makin kencang, dan satu kaca jendela lagi pecah. "Aku tahu, kau. Tapi aku..."
        BENAR! AKU! TAPI KAU MELUPAKANKU!
        "Michael, aku tidak bermaksud..."
        Lebih baik kau mati.
        Hanya itu. Lalu tak ada apa-apa lagi. Angin berhenti berhembus dan semuanya hening. Menelan kekecewaan, aku membereskan semuanya dan keluar dari rumah itu. Saat aku menyebrang, tiba-tiba kudengar seseorang berteriak, "Awas!"
        Lalu suara klakson terdengar, cahaya, teriakan, dan benturan di tubuhku. Aku bisa merasakan daraku mengalir keluar dan samar-samar melihat orang-orang berlarian ke arahku. Aku juga melihat seraut wajah yang begitu familiar padaku, menyeringai penuh kebencian. Ah, Michael, maafkan aku...

Aturan Dasar Dalam Dunia Kepenulisan

  1. Biasakan menggunakan tombol caps lock! Bukan berarti semuanya harus dengan huruf kapital SEPERTI INI tapi jangan tergantung dari auto correct dari MS Word. Hal ini biasa dilakukan oleh para penulis pemula (sama juga saya dua tahun lalu) yaitu selalu mengandalkan auto correct dari MSW. Nama tokoh kalau ada di tengah kalimat diawali huruf kecil. Nama tempat juga. Camkan ini: HAL ITU SAMA SEKALI TIDAK DIPERBOLEHKAN. Kecuali, tentu saja, ingin terus menjadi seorang penulis amatir yang tak mengerti (kadang malah tak peduli) aturan main dalam tulis-menulis. Kalau cuma untuk diri sendiri sih tak apa, toh yang membaca cuma kita ini. Tapi kalau untuk dipublish DAN juga dengan baik hati mengajarkan orang lain menulis dengan benar, mulai dari diri sendiri. Nama tempat, misal Jakarta, Bandung, Surabaya (bolehlah naik dengan percuma... tuut tuut tuut =D) harus diawali dengan huruf kapital. Nama orang, misal Dilla, Rizki (nama sepupu gua tuh), wajib diawali dengan huruf kapital. INGATLAH! Gunakan jarimu bukan hanya untuk komen gak penting dan update status di facebook tapi juga untuk mengetik dengan benar. Kenalkan minimal satu jarimu pada tombol caps lock! Karena kalau tidak, selamanya kamu hanya akan tergantung pada auto correct yang tak selalu ada di semua media tulis.
  2. Bedakan kata depan dan kata awal! Seriiiiiing sekali menemukan orang yang masih juga tak bisa membedakan mana kata depan dan mana kata awalan; terutama kalau dari kata "di". Buat penulis yang belum jadi penulis ternama macamnya Triani Retno, Iwok Abqary dan kawan-kawan, itu wajar aja. Menurutku yang belum jadi apa-apa sudah bisa membedakan itu hebat, tapi bukan berarti yang tidak bisa itu bodoh. Sebenarnya ada satu cara gampang kok, untuk membedakan mana kata depan dan kata awal, yaitu: Kata depan yang merujuk pada tempat/keberadaan sementara kata awal merujuk pada kata selain tempat. Gampang kan? Misalnya saja kita bertanya ada di mana maka kata "di" dan "mana" dipisah karena "mana" merujuk pada tempat. Nah, kalau kata "urus", "ajar", dsb., itu berarti disatukan menjadi "diurus", "diajar", "disayang", dan sebagainya. Kata depan: Di mana, di sana, di rawa, di rumah, di Jakarta (dan nama kota/negara lain juga), dan sebagainyaKata awal: Diajar (kalau pakai "h" maknanya jadi beda, hati-hati!), dirawat, disayang, ditonton, dilewatkan, dan sebagainya
  3. Jangan pakai singkatan! Nah, ini dia. Ini nih masalah kalian para penulis-penulis yang umumnya berasal dari MSN, facebook, friendster dan situs lainnya dan juga para texter. Kalian terbiasa menyingkat, tapi hal itu sebenarnya tidak diperbolehkan. Catat itu: tidak diperbolehkan. Kecuali kalian lagi SMSan dan dihitung perkarakter. Nah itu sih aku juga sering disingkat. Sayang pulsa! Jadi hentikan menulis hati2 atau jalan" atau memangx/'/a. Apa sulitnya menulis kata ulang? Apa sulitnya mengorbankan beberapa mili detik untuk menulis kata "nya"? Rugikah kalian? Sakitkah kalian? Matikah kalian kalau menulis tanpa singkatan? Nggak! Kecuali nulis SMS tanpa singkatan terus jatah makan malah dipake beli pulsa! Yang itu sih DL--Derita Loe. Dill, kenapa ngomongnya ngelantur? Fokus Dill! *PLAKK* Oke, gua udah fokus. Intinya jangan pernah berani-beraninya kamu menulis singkatan ketika menulis cerita yang rencananya akan menjadi sebuah cerpen di majalah, resensi buku di koran, atau bahkan novel tebal di toko buku, karena selama kamu masih menulis dengan singkatan, hal itu GAK AKAN PERNAH TERJADI!
  4. Inget spasi! Aturan dasar menulis adalah setelah tanda baca seperti titik (.), koma (,), seru (!), titik dua (:), dan tanya (?) dikasih jarak satu entakan spasi! Ada dua contoh kalimat:-Jadi,dia mendekati benda misterius itu dan menjerit kaget.Astaga!Benda itu ternyata kalung peninggalan neneknya yang sudah meninggal dan konon,benda itu terkutuk.Apa yang telah membuat benda itu ada di sini?Rina juga ingin mengetahuinya.-Jadi, dia mendekati benda misterius itu dan menjerit kaget. Astaga! Benda itu ternyata kalung peninggalan neneknya yang sudah meninggal dan konon, benda itu terkutuk. Apa yang telah membuat benda itu ada di sini? Rina juga ingin mengetahuinya.Mana yang lebih enak dibaca? Yang pertama atau yang kedua? Orang normal pasti pilih yang kedua. Orang gak normal..., gak tau deh. Yang pasti, pembaca menginginkan cerita bagus yang juga enak dibaca. Terkadang ada orang yang meskipun matanya berkunang-kunang lantaran si penulis menulis tanpa kenal spasi tetap bertahan karena ceritanya yang ia sukai. Tapi sampai kapan ia bertahan? Sampai kapan ia tetap membaca tulisan tanpa spasi itu hanya karena cerita? Bisa saja cerita itu ditulis dengan tema umum. Tak sulit mencari cerita sejenis dengan garapan lebih menarik dan spasi yang membuatnya lebih enak dibaca. Seorang penulis tanpa pembaca ibarat lagu tanpa lirik. Menyedihkan.
Untuk sekarang segitu aja yaaaa.... Sisanya nanti lagi, oke? Ciao! Au revoir! Bye! Dadah!

Perlukah Memakai Jasa Penerbit Indie Itu?

Well, aku emang bukan orang yang berpengalaman dalam dunia tulis-menulis profesional, alias udah kondang nama, alias karyanya dibaca ribuan orang, alias... alias... lupakan alias! Aku gak peduli soal alias karena aku seorang Grimmnias! *yang gak tau, itu sebutan buat fans Christina Grimmie*
     Setelah aku melakukan penelitian sejauh dari rumah ke pasar Simpang, aku sudah mengumpulkan cukup banyak bukti dan sanggahan serta dukungan pada penerbit indie. Pertanyaannya sekarang: perlukah memakai jasa penerbit indie itu? (iya, emang judul note-nya sama. Dasar gua emang kagak kreatip #tutup muka pake bantal)
     Jika pertanyaannya seperti itu, pasti akan timbul jawaban "Ya" dan "Tidak", tapi aku secara pribadi memilih "Tidak". Tapi kita gak lagi ngomongin diriku sendiri, Querida, kita akan membahasnya bersama.

Apakah penerbit indie itu?
     Yep, sebelum kita membahas jasa penerbit indie, lebih baik kita kenalan dulu dengan penerbit indie. Penerbit indie adalah jasa penerbit yang berbeda dengan "Penerbit Umum", begitu istilahku. Penerbit umum adalah semacamnya GagasMedia, GPU, Dar! Mizan, dan lain-lain. Jika penerbit umum memberikan waktu "tunggu" pada penulis yang mengirimkan karyanya pada mereka--waktu tunggu yang berkisar dari sekian minggu sampai sekian bulan--maka penerbit indie tidak punya waktu tunggu... sejauh pengetahuanku. Kalau kita mengirimkan karya ke penerbit indie, selama kita bisa bayar, ZAP!, pasti karya terbit. Tanpa waktu tunggu. Bisa milih pakai editor yang bakal ngubek-ngubek benerin naskah kita (gak akan berubah kok, paling kalau ceritanya agak loncat urutannya diperbaiki, tapi gak dikurangi atau ditambahi) atau gak usah. Pasti terbit kok, pasti. Pasti mejeng di toko buku. Tapi konsekuensinya, kita gak akan kenal sama orang penerbit umum. Ya eyalaaaaah, masa ya eyadun? Kecuali kalian memang udah berteman duluan. Tapi maskudku adalah gak ada tuh namanya telepon semriwing di pagi buta dari penerbit minta kita merevisi naskah. Euhmm... Kalau penerbit indie tuh berkisar antara: Kirim karya -> diterima -> bayar jasa -> buku dicetak -> kirim ke toko buku-toko buku -> dapet royalti. Tapi kalau penerbit umum: Kirim karya -> dikasih waktu tunggu -> dikonfirmasi diterima atau nggak. Kalau nggak, berarti berhenti sampai di sini #nyanyi -> buku (mungkin) akan diminta untuk direvisi beberapa kali -> dicetak -> terbit -> dapat royalti.
     Secara segi finansial, penerbit umum menguntungkan karena hanya mengharuskan kita bayar ongkos kirim pada mereka. Gak nembus sepuluh ribu deh, kalau pake warnet (ngirim email ber-attachment naskah sih cuma beberapa detik, atau menit kalau lemot. Sisa dari sepuluh ribunya bablas internetan yang lain) ataupun kirim lewat pos. Sementara penerbit indie mengeruk rekening dalam-dalam (dompet kan gak aman) dan bisa nembus sekian juta, walaupun ada juga yang cuma berkisar sekian ratus ribu. Ngerti kan kenapa aku yang pelajar melarat ini milih penerbit umum ketimbang indie? :>

Perlukah penerbit indie itu?
     "Naskahku ditolak!"
     "Padahal udah capek-capek bikinnya, tapi dilempar balik!"
     "Dasar penerbit gak bermutu! Masa gak bisa lihat karya masterpiece?" (nggak mbak, tapi kalo baju potongan one piece pasti kelihatan langsung #kabur sebelum kena gampar)
     "Musti nunggu tujuh bulan!? Tetangga sebelah keburu melahirkan!"
     "Penerbitnya lelet! Gak bisa lebih cepet apa nilai naskahku?"
     Oke, oke, tenang guys, just take it easy, Kalian marah karena naskah ditolak? Kalian marah karena musti nunggu lama sebelum mendapat kepastian naskah diterima atau tidak? Aku punya solusinya. PENERBIT INDIE!!
     *Sound fx: TERERERET TRET TEEEEETTT*
     Ehm-ehm. Kalau kalian jenuh pada penerbit umum yang kalian nilai tidak bermutu dan lelet kayak siput, maka larikanlah diri kalian pada penerbit indie. Gak ada cerita naskah ditolak, gak ada cerita nunggu tetangga sebelah melahirkan baru dapat kepastian soal naskah yang kalian kirim. Pasti terbit tanpa lama kok Cyiiiiiiinn...... Kayak yang udah dibahas sebelumnya, kalian cukup kirim naskahnya ke penerbit indie dan bayar ongkos jasa. Tapi harus diingatkan, dengan maraknya penerbit gadungan, sebaiknya kalian cari tahu dulu soal penerbit yang hendak kalian kirimkan naskah. Kenapa? Karena kalau asal kirim, bisa-bisa malah naskah kalian raib dan suatu saat muncul lagi dengan judul dan penulis yang berbeda tapi isi sama. ALAMAT! Itu naskah gue! Dasar sialaaaaaaaaaaannn.................!!!
     Beberapa situs penerbit indie: http://indiebook.wordpress.com/, http://halamanmoeka.blogspot.com/, http://www.indie-publishing.com/.
     FYI aja, aku mungut dari Google tuh, hehehe.
     Sekali lagi, jika kalian sudah muak pada penerbit umum yang tidak sesuai harapan kalian, kalian bisa menggunakan jasa penerbit indie. Tapi ini nasihatku: tantangan dan cobaan yang membutuhkan kesabaran adalah salah satu dari hal-hal yang membuat seseorang dewasa. Jika kalian terus melarikan diri dan mengambil jalan instan... well, kalian tidak akan menjadi dewasa.
     Jadi, perlukah memakai jasa penerbit indie itu?

Ya, karena...
     ...Sudah semakin banyak penerbit indie yang menjamur. Ada yang menyediakan paket jasa--ongkos sekian ratus/juta, dengan editor atau tidak, dan lain-lain--ada juga yang tidak. Hal ini jelas mulai merugikan penerbit umum, ditambah kenyataan banyak penulis yang sudah mulai beralih pada penerbit indie. Tapi jika kita tilik lebih jelas lagi, kebanyakan penulis penerbit indie adalah penulis yang namanya belum pernah kita dengar, alias penulis baru. Kenapa mereka menggunakan jasa penerbit indie?
     "Karena jasanya lebih enak gitu, lebih cepat, gak perlu nunggu tanpa kepastian kayak dari penerbit umum."
     "Lebih enak aja. Gak perlu nerima resiko ditolak."
     "Murah, cepat. Gak lama lagi aku nyaingin Stephen King nih."
     See?
     Banyak orang menggunakan jasa penerbit indie karena lebih cepat, kocek yang diraih sudah tidak terlalu mahal, dengan banyaknya penerbit indie yang mulai memasang tarif murah di bawah satu juta rupiah. Dan penerbit indie tidak akan membuat kita menunggu tanpa kepastian, luntang-lantung, deg-degan nunggu kabar soal naskah kita. Beuh, pokoknya kalau nunggu kabar dari penerbit umum tuh udah nyaingin macan betina lagi PMS! Grawwwrrr.....
     Selain itu, penerbit indie sudah tidak lagi jarang seperti dulu. Kalau kita mengirimkan naskah, penerbit indie bisa memasarkannya secara online maupun offline--dikirim ke toko buku. Makin banyak jasa penerbit indie yang dipakai, makin banyak buku lokal dengan nama penerbit yang kadang asing di telinga kita, makin banyak buku yang sesuai dengan karakter penulisnya (kalau penulisnya ceroboh, pasti di buku banyak typo [kalau gak pakai editor. Kalau pakai bisa diminimalisir]. Kalau penulisnya maksa, bagian A dengan bagian B nggak nyambung. Kalau penulisnya keren... itu SAYA! #digebuk massa).
     Jadi, ya, perlu menggunakan jasa penerbit indie karena biayanya tidak lagi semahal harga mobil Kijang Innova (lebay), distribusinya tidak lagi terbatas, dan kita bisa memperlakukan naskah kita sesuai keinginan kita sendiri.

Tidak, karena...
     ...Masih ada banyak penerbit umum yang dengan tegas menyeleksi naskah kita. Berbeda dengan penerbit indie yang tidak punya saringan dan menerbitkan segala jenis genre buku, maka penerbit umum biasanya sudah mematok genre apa yang mereka terbitkan, dan naskah mana yang layak atau tidak. Itu tuh yang bikin lama. Maksudku, memangnya kamu pernah melihat buku dari Pink Berry Club (cabang Dar! Mizan) menerbitkan buku tentang pernikahan? Nggak tuh. Dan kenapa orang-orang memakai jasa penerbit umum?
     "Ongkosnya gak terlalu mahal, malah penerbit yang bayar mahal ke kita dalam bentuk royalti."
     "Isinya udah terjamin, gak usah takut yang namanya dicerca pembaca karena ceritanya aneh. Kan ada editor yang menyelaraskan."
     "Orang yang baca gak usah ragu untuk beli, karena nama penerbitnya udah sering didenger."
     Ya kan?
     Orang banyak menggunakan jasa penerbit umum karena nama penerbit yang sudah sering didengar, sudah gak asing. Paling mentok juga ada orang iseng bilang bahwa GPU--Gramedia Pustaka Utama--itu sebenernya minyak pijit--Gosok, Pijat, Urut. Eh, itu sih aku, ding. Hehe.
     Meskipun waktu tunggu yang diberikan kadang berasa lamaaa banget, kayak udah berganti milenium, dengan penerbit umum para penulis bisa mengetahui seperti apa kualitas tulisannya. Bagian yang tidak enak dibaca bisa direvisi. Dan itu berarti meningkatkan kualitas diri juga, sampai akhirnya menulis dengan sepenuh jiwa dan raga, bersatu membela bangsa dan negara. MERDEKA!!

     Jadi? Mau pilih penerbit indie atau penerbit umum saja? It's up to y'all. Yang pasti keep writing, don't ignore critics, and give the best from you. Because you know what? If there is a will, there is a way.

Note: Meskipun penerbit indie dan umum sama-sama menyediakan jasa editor, tetap edit sendiri naskahmu! Minimal sudah diedit satu kali sebelum dikirimkan ke penerbit, penerbit manapun yang kamu incar. Hal ini akan membantumu menemukan kesalahan yang sebelumnya luput dari pandanganmu sebagai penulis. Jadi selama mengedit, gunakanlah kacamata pembaca. Pakai yang minus atau plus atau silindris yang matanya sakit. Oceh?

Dari depan laptop di kawasan Dago Atas, saya Jessie J, melaporkan

Test

Hanya sekadar memastikan bahwa blog-ku siap dipakai :)