Monday 18 March 2013

I LOVE SIMPLE PLAN K BYE.

Pertama-tama, gue mau ngasih tau, kalau-kalau lo gak tau, Simple Plan itu band asal Perancis-Kanada beranggotakan 5 orang: Pierre Bouvier sebagai vokalis, Jeff Stinco sebagai lead guitarist, Sebastien Lefebvre sebagai backing vocal/guitarist, David Desrosiers sebagai backing vocal/bassist, dan Chuck Comeau sebagai drummer. Emang, mereka gak seterkenal Justin Bieber, One Direction, dan yang lainnya, tapi mereka gak sekadar jual tampang atau dance doang. In fact, mereka gak nge-dance sama sekali. Iyalah, gimana caranya mau dance sambil maen drum!? -_-

Kenapa gue suka banget sama mereka, karena mereka gak cuma nyanyi soal cinta, cewek, patah hati, dsb. Iya, ada lagu mereka tentang itu, tapi mereka juga nyanyiin tentang bullying, gimana bangkit dari keterpurukan, korban PHP, maki-maki mantan, bahkan tentang fans mereka, Astronauts. Pertama kali gue denger mereka itu sekitar tahun 2008 kalau gak salah, tahun yang sama ketika gue mulai nulis. Lagu pertama mereka yang gue denger itu judulnya Welcome to My Life, ceritanya tentang seseorang yang hidupnya tuh miserable dan bilang bahwa, "Lo tuh gak tau gimana rasanya jadi gue. Jadi selamat datang di hidup gue." Dalem banget. Dan tau gak? Kalau aja radio di kamar gue saat itu gak muter tuh lagu, mungkin lo gak bakalan baca ini sekarang. Karena gue mungkin udah gak ada di dunia ini. Jadi, you see, alasan pertama yang bikin gue suka sama mereka karena, ya, kebetulan atau bukan, mereka menghentikan niat gue untuk bunuh diri. Kenapa gue mau bunuh diri? Karena gue muak. Muak di-bully, muak diejek, muak dianggap setara sama sampah, muak diabaikan, muak sama hidup gue sendiri. Tapi terus gue denger lagu itu. Gue nangkep beberapa lirik yang, rasanya, kok gue banget. Dan gue cari di Google siapa penyanyinya. Udah ketemu liriknya gue terjemahin bermodalkan Google Translate. Dan gue nangis. Gue nangis baca terjemahan ancurnya Google Translate. Bukan, bukan karena sebegitu ancurnya gue sampe frustrasi untuk mengerti. Justru karena gue ngerti gue nangis. Gue mikir, ternyata bukan cuma gue! Dan sejak saat itu gue cinta sama Simple Plan.

Lo gak perlu bilang bahwa Simple Plan itu gak sempurna. Gue juga gak pernah berpikir bahwa mereka sempurna. Faktanya, gue malah seneng mereka gak sempurna. Bayangin kalau mereka sempurna, pasti gak bakal sekocak mereka sekarang. Rata-rata imej sempurna kan sinonimnya sama jaim. Lagian kalau mereka sempurna, rasanya gak asik deh. Justru yang gak sempurna yang keren. Gue bukan tipe fans yang nganggep idolanya paling keren, paling sempurna, paling hebat di antara yang lainnya. Nggak. Buat gue mereka keren iya, tapi yang begitu kan opini objektif. Gue bukan tipe orang yang ngotot kalau menurut gue A maka orang lain kudu ngikut A. Gue gak peduli kalau orang-orang bilang Simple Plan jeleklah, gak mutulah, apalah, biarin aja. Itu opini mereka, dan gue hargai itu. Gue gak bakal marah kalau mereka berpendapat begitu. Gue baru bakal marah kalau mereka maksa gue untuk sependapat sama mereka. Begitulah.

Simple Plan juga gak kayak kebanyakan band lain di mana vokalisnya mendominasi (contoh: Paramore, Maroon 5, dll) dan orang-orang bisa jadi cuma tau nama vokalisnya doang, gak tau nama personil yang lain. Mungkin karena mereka dari awal udah deket banget dan personilnya tuh GILA-GILA SEMUA jadi pada EKSIS SEMUA. Dan yang paling gila dari mereka semua adalah David, disusul oleh Pierre. Sementara yang paling jaim itu Jeff disusul oleh Chuck. Sebastien? Dia mah di tengah-tengah :'D

Selain itu, mereka juga peduli sama human trafficking dan cancer serta gak cuma ngomong, mereka aktif dalam menggalang dana untuk charity mereka. Ada yang disebut sebagai SP Crew, yaitu fans yang bisa meet and greet sama mereka setiap kali mereka akan manggung dan ikut soundcheck. Untuk menjadi seorang SP Crew, kita harus bayar $1, dan itu akan didonasikan ke badan amal mereka. Mereka itu orang-orang yang down to earth, dan maksudku bukan moto-moto diri mereka main sama anak kecil (oke ini nyepet JB) terus disebar di Internet. Aksi Simple Plan itu jarang dipublikasikan ke umum, paling di forum pribadi aja. Itu yang bikin aku suka dan bangga sama mereka. Jadi gak NATO alias No Action Talk Only gitu.

Nah, sekarang, lo boleh bilang gue fangirl lebay, alay, kampungan, atau apapun. Gue akui, gue nangis waktu mereka konser di Jakarta tahun lalu, nangis waktu perayaan setahun mereka konser bulan Januari tahun lalu, dan nangis waktu tau mereka diundang ANTV untuk ngisi acara HUT mereka tapi gue gak bisa nonton live. Gue akui itu. Tapi waktu tadi nonton dari TV, meski gue merasa nelangsa tapi gue gak nangis, gue malah jejingkrakan sambil nyanyi bareng Pierre dan yang hadir di sana. Tapi gue sebel waktu lirik Perfect ditayangin di layar di belakang Pierre. Ketauan banyak fans karbitan yang hadir. -__-

Jadi intinya gue cinta Simple Plan, gitu. :')

Sunday 17 March 2013

Penulis Pemula

PERINGATAN!
KONTEN DAPAT MEMUAT BANYAK HAL TENTANG PENULIS, BAGI ANDA YANG BENCI PENULIS DAN MENULIS DISARANKAN UNTUK TIDAK MEMBACA. apasih. 

Untuk postingan ini saya ingin konsekuen menggunakan kata 'saya', jadi tolong doakan saya berhasil (._.)9

Saya sering mendengar statement 'penulis pemula', entah di Twitter, Facebook, grup Facebook, Friendster... kecuali Friendster. Tapi statement tersebut sering sekali diucapkan. Entah oleh orang yang merasa dirinya penulis pemula, penulis senior yang menyemangati penulis pemula, atau orang awam yang maki-maki penulis sebagai penulis pemula. However, dua kata tersebut sering sekali dikeluarkan. Dan pertanyaan saya adalah: Jadi penulis pemula itu apa?

Kalau kita lihat dari judulnya saja, 'penulis pemula'. Hm. Berarti seorang penulis yang belum siapa-siapa. Masih baru dan hijau. Mungkin belum menelurkan karya yang berarti. Amatiran. Kemudian, apakah penulis pemula dikategorikan sebagai penulis pemula karena hal-hal di atas? Hal itu bisa menjadi agak rancu, menurut saya. Contohnya begini, saya sudah menulis semenjak tahun 2008, tapi saya masih bukan siapa-siapa. Saya baru pernah menamatkan satu buah novel--novel tipis dengan sekitar 100 halaman saja--dan ketika saya kirimkan ke penerbit ternyata ditolak, tapi saya masih bukan siapa-siapa. Saya memang masih hijau, tapi saya sudah lama dan sering menulis, tapi saya masih bukan siapa-siapa. Sementara seorang teman saya pernah berkata kalau sudah menulis selama itu berarti bukan lagi penulis pemula, tapi saya masih bukan siapa-siapa. Tapi karena saya mau sok merendah saya masih bukan siapa-siapa maka saya dengan sok rendah hati akan mengkategorikan diri saya sebagai penulis pemula. Oh, tunggu, saya memang penulis pemula. -_-

Secara objektif, penulis pemula adalah seseorang yang, tidak peduli sudah berapa lamanya ia menulis, masih belum membuahkan sebuah karya yang bisa diakui. Kalau ia hanya menulis cerpen atau novel untuk konsumsi pribadi dan tidak pernah dipublish dan tidak mendapat pengakuan, seribu tahun pun ia menulis maka bagi saya ia tetap seorang penulis pemula. Ambillah contoh yang bukan dari lini menulis, grup band FUN. misalnya. Mereka telah sekian tahun malang melintang di dunia musik tapi di Grammy Award kemarin mereka dinobatkan sebagai Best New Artist. Dari sana saya mengambil kesimpulan seseorang baru akan melewati fase 'pemula' setelah karyanya diakui oleh massa. Apakah saya sudah melewati fase tersebut? Belum, karena karya saya baru diakui oleh saya yang keceh semata.

Setelah itu, saya berpikir lagi, bukankah dikatakan bahwa ilmu apapun yang dimiliki oleh manusia, seberapa pun hebatnya, dibandingkan ilmu yang Allah swt. miliki hanya seujung kuku jari? Sementara menulis pun merupakan sebuah ilmu yang dapat dipelajari. Jadi kalau begitu di mata Tuhan bahkan penulis sekaliber John Grisham juga penulis pemula, dong? Berarti statement penulis pemula dapat disandangkan kepada SEMUA penulis? Arguable. Tapi, lupakan saja itu untuk sementara, karena kita membicarakan hal ini antar manusia. No offense, God. #apasih

Baiklah, kembali lagi. Terlepas dari hal pengakuan, saya tidak mengerti kenapa seringkali seorang penulis pemula dengan tanda kutip underestimating dirinya sendiri. Katanya ingin menjadi penulis, tapi belum apa-apa sudah mengeluarkan alasan, "Tapi aku kan penulis pemula..." sementara penulis-penulis senior lainnya sudah sering mengatakan bahwa tidak penting mau penulis pemula atau bukan, media cetak dan penerbit terbuka untuk siapa saja. Penulis-penulis pemula dengan tanda kutip ini seolah tidak pernah membaca nasihat-nasihat atau petuah-petuah penulis senior tentang statement ini. Terus saja mereka mengeluh tentang mereka yang menjadi seorang penulis pemula dengan tanda kutip dan selalu memproduksi alasan alih-alih karya. Serius mau jadi penulis gak sih? Seringkali saya berpikir begitu. Lama-lama saya bosan juga bacanya, akhirnya mereka saya cap penulis pemula dengan tanda kutip yang caper. Kasihan ya.

Berbicara memang bagus, tapi kalau hanya berbicara tidak akan membawamu ke mana-mana. Saya boleh jadi seorang penulis pemula, tapi saya tahu bagaimana cara ngacapruk yang baik dan benar, dan kerena itu saya ngacapruk dalam karya-karya setengah jadi saya. Memang boleh? Ohoho, siapa bilang tidak boleh? Penulis senior Primadonna Angela pernah berkata bahwa, ketika menulis, apa yang benar untuk penulis lain belum tentu benar untuk dirimu sendiri. Ketika kamu menulis, kamu bebas untuk melakukan apapun yang kamu suka. Mau menulis sambil jongkok, menulis menggunakan bahasa super baku, menulis satu kalimat main tiga jam... oke, yang terakhir memang sangat tidak baik, tapi maksud saya adalah jangan terpaku pada penilaian atau cara penulis lain dalam menulis. Yang menulis kan kamu, jadi ya terserah kamu. Tentu setelah selesai tidak langsung dikirimkan, tapi masih harus diedit lagi, direvisi lagi. Ketika kamu menciptakan sebuah karya, anggaplah seperti membesarkan seorang anak. Ketika mengurus anak, tidak ada tuh istilah orangtua pemula, orangtua senior. Semuanya sama, ingin agar anaknya--dalam hal ini, karya--tumbuh menjadi seseorang yang hebat. Kalau kamu memoles karyamu sebagus mungkin, maka apresiasi serta pengakuan orang pun akan positif. Lain halnya kalau kamu membuat karya dengan asal-asalan karena merasa kamu adalah penulis pemula; pengakuan dari massa pun akan asal-asalan. Dan pengakuan seperti itu, yang kutahu, tidak akan membuatmu melewati fase penulis pemula dengan tanda kutip.

Jadi, pembaca yang budiman dan budiwati (?), termasuk yang mana kalian? Penulis pemula, atau penulis senior?

Menulis atau Menjadi Penulis?

Seringkali timbul pemikiran jika menulis harus menjadi penulis, atau apa bedanya menulis dengan menjadi penulis?

Sesungguhnya setiap orang bisa menulis. Tidak dibutuhkan bakat luar biasa untuk bisa menulis. Menulis marupakan sebuah keterampilan yang bisa dipelajari. Ada deskripsi, ada definisi, ada teori yang artinya merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Maka, menulis merupakan keterampilan yang bisa dipelajari. Paradigma jika menulis hanya bakat, berkah, atau hanya bisa dilakukan segelintir orang adalah keliru, menurut saya lho.

Apa sesungguhnya hakekat menulis? Sederhana saja, menuangkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan. Seorang anak kecil yang menulis: "Aku mencintai mama" sudah melakukannya. Maka, sering kali dikatakan menulislah dengan hati karena ada rasa di sana. Yang menulis menuangkannya dengan penuh perasaan dan yang membaca akan menikmati dengan penuh perasaan. Ada tali batin antara yang menulis dengan yang menikmati tulisan. Seorang ibu yang membaca tulisan anaknya di atas akan menitikkan air mata haru dan bahagia karena dicintai anaknya.

Sederhana ya? Dan indah.. karena ada rasa yang terjalin di sana. Jadi menulislah dengan sepenuh perasaaan, maka akan bisa dinikmati dengan sepenuh perasaan oleh pembacanya. Lalu, bagaimana jika ingin semakin terampil menulis? Juga mudah, pelajari semua kaidah, pahami semua teori dan definisi, pahami semua batasan teori lalu berlatih. Karena semakin sering seseorang berlatih, maka akan semakin terampil ia dalam mengolah kata.

Dari pemaparan di atas, bisa diihat jika menulis sesungguhnya bermula dari keinginan, kemauan atau minat. Dari situ akan timbul rasa suka yang akhirnya cinta. Seseorang yang menikmati apa yang dilakukannya akan merasa bahagia. Kebahagiaan bisa berbagi, bisa menularkan motivasi dan wawasan atau sekadar berbagi rasa sudah sangat luar biasa. Maka, semua akan menjadi candu yang membuatnya ingin menulis... menulis dan menulis...

Bahkan ide bisa dicari, bisa ditemukan. Bahkan imajinasi bisa diolah. Bahkan ada teknik menemukan ide dan mengolah ide hingga meski ide sama namun bisa ditulis berbeda. Sudut pandang yang beda, pemikiran yang beda tentu akan melahirkan tulisan yang beda meski ide sama. Dari sana akan semakin tergali segala ide, akan terbiasa menemukan hal-hal baru yang ingin dituangkan dalam tulisannya. Dari sana lalu akan lahir berbagai karya yang tidak biasa atau bahkan bisa jadi luar biasa. Menyenangkan ya kedengarannya?

Ternyata, berbagai penelitian di dunia membuktikan jika menulis merupakan terapi yang bisa menyembuhkan diri sendiri. Seseorang yang terbiasa menulis selama 15 menit dalam sehari, akan mampu membuatnya membuang segala energi negatif dalam dirinya. Sesuatu yang tidak disadari jika segala hal negatif bertumpuk setiap hari dalam diri manusia, menyimpan sesal, kesal, amarah, dendam, iri, rendah diri dan lain sebagainya. Jangan malu jika perasaan-perasaan negatif itu pernah hinggap dalam diri kita karena memang manusiawi sekali. Semua orang pernah mengalaminya. Memang hidup ini selalu indah? Nah, jika apa yang tersimpan dalam bawah sadar tidak dikeluarkan, dia akan menggerogoti fisik dalam bentuk berbagai penyakit.

Maka, menulis ternyata terapi yang bisa menyembuhkan diri sendiri. Seseorang yang terbiasa menulis akan lebih sehat, awet muda dan berpikir lebih positif. Segala energi negatif yang tersimpan di alam bawah sadar akan keluar dengan sendirinya. Karena tulisan itu tidak mati, tulisan itu juga mengandung tumpahan emosi. Menulis bisa menjadi katarsis dalam diri manusia yang mampu menyembuhkan segala hal yang menyumbat dalam dirinya. Luar biasa ya?

Karena itu, menulis lebih pada kenikmatan diri. Menikmati sebuah kegiatan yang membuat kita merasa nyaman, tenang dan bahagia. Lalu berbagi dengan keluarga, kerabat dan lingkungan sekitar. Menularkan segala kebahagiaan. Sungguh dunia cerah ya? kita jadi lebih mampu mensyukuri apa yang kita punya. Bahkan seorang anak yang terbiasa menulis sejak kecil akan mampu tumbuh menjadi pribadi yang lebih kreatif, terlepas apapun profesinya nanti.

Lalu, apa itu penulis? Penulis adalah seseorang yang menjalani profesinya dengan menulis. Jadi, sesungguhnya yang sudah terbiasa menulis itu ya penulis. Terlepas apakah dia menjalaninya hanya paruh waktu atau penuh. Terlepas dia menjalaninya hanya untuk kesenangan atau mencari nafkah. Semua sah-sah saja. Ada yang mengatakan, jika materi dan nama akan mengikuti bagi yang menulis dengan sepenuh hati. Memangnya penulis terkenal pernah tahu akan jadi terkenal? Memangya ada yang bisa meramal karyanya bakal meledak? Rasanya tak ada ya, hanya ada harapan dan doa yang tentu saja boleh dimiliki oleh setiap orang. Jadi kebanggaan dan kebahagiaan materi itu akan datang dengan sendirinya jika sudah menjadi rezeki.

Terlepas dari itu semua, kita juga harus memiliki target hendak menjadi penulis yang bagaimana, yang seperti apa? Mengarah ke genre apa? Hingga kita bisa beda dan punya ciri khas. Kita pun harus mulai membangun image diri ingin dipandang berkarya di lini mana? Semua itu akan berproses jika kita konsisten. Karena itu, proses menjadi sangat penting dalam menulis dan mengembangkan diri jika hendak menjadi penulis. Bergabung di sebuah komunitas menulis bisa memberi motivasi dan mengikuti pelatihan di sebuah training center jika ingin menambah ilmu dan memicu semangat. Jangan pernah puas, jangan pernah berhenti belajar, maka kita tak akan pernah berhenti berkarya.


Salam semangat...

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/komunitas/women-script-co/13/03/14/mjn3d4-menulis-atau-menjadi-penulis

Tuesday 12 March 2013

Lost and Found

I was walking a thousand miles
I was looking for something tonight
But I wasn't looking at where I'm standing
Then I don't know where I am

When the first time I look into your eyes
I saw everything that I needed
Then suddenly my brain turned into a maze
And you got my heart

I knew I was lost
I was couldn't find my way home
For I don't even know if there's any
And you found me

I finally realized that you are my home
You are all I wanted
You are the 'missing' thing
You are what I was looking for

Before I met you, I was lost
I was couldn't find my way home
But I don't even know if I have one
Then I met you, and you found me

You sent me home
And I know I will never see you again
But I know I will be okay
Because I was lost and found

New Face on the Blog!

Heyyy....

So I was renewing the face of my blog yesterday, and I want to know what do you think about it? Asal kalian tau aja, aku ngoprek-ngoprek tuh makan sekitar 3 jam. Gila kan -_-

Oh ya, dan kalau kalian jeli, kalian akan notice bahwa ada banyak badge dan widgets baru di blogku yang sekarang ini. Kalau dulu cuma gitu-gitu aja, sekarang ada badge Teams dan Novel Series serta widget dari Goodreads. Kalau mau tahu caranya, aku cuma copast link yang disediakan terus aku masukin ke Add Gadget -> HTML yang ada di bagian Template... atau Settings? Aku lupa. Ya pokoknya itulah. Template sih kayaknya. Kalau gak salah mah. Iya. Eh, Layout deng, aku barusan ngecek. Jauh banget ya ._.

Nah, karena ini pertama kalinya aku nambah-nambahin yang beginian, aku semacam plagiat deh ke blog salah seorang kenalanku. Daaaan kalau kalian cek kalian akan lihat super banyak kesamaan antara blogku dan dia, beda posisi doang ._. Hehehe, habis, aku juga gak tau sih mau diisi apaan aja. Jadi ya gitu deh.

See you next time!

Sunday 10 March 2013

Menyesal Jadi Orang Indonesia

Oke, Indonesia memang terkenal karena banyak hal. Salah satu negara terkorup dunia, pemandangan yang indah, polusi yang bertebaran, makanan yang wuenak, banyaknya rakyat miskin... tapi dari itu semua, belum pernah ada yang benar-benar bikin saya menyesal jadi orang Indonesia. Malu, kadang iya. Tapi menyesal? Belum pernah.

Sampai saat ini.

Jadi ceritanya simpel. Aku lagi ngoprek GoodReads, terus nemu banyak buku yang pengin aku baca, aku mark as To-Read. Habis itu aku mikir, kapan aku bisa bacanya? Secara Indonesia gitu lho. Orang Indonesia tuh paling males baca. Gak percaya? Lha wong dari kecil, dari SD mereka udah dididik untuk begitu. Orangtuanya jarang baca, ya anaknya juga jadi jarang baca. Coba deh, banyak tuh anak-anak sekolahan yang ngeluh soal teks yang harus mereka baca pas latihan atau ulangan mapel bahasa. Nah, karena minat baca rakyat Indonesia sedikit, yang kena imbasnya, ya, para orang yang suka baca kayak kami ini.

Kenapa kami bisa kena imbasnya?

Gampangnya begini:
   Semakin tinggi minat baca penduduk, maka semakin gencar penerbit menelurkan buku-buku bermutu tinggi dan menerjemahkan buku-buku luar, best selling maupun tidak. Tapi semakin rendah minat baca penduduk, ya penerbit juga gak rajin-rajin amat ngeluarin buku. Ngapain? Yang baca cuma sedikit, kok. Kalau kalian perhatikan ya, sering banget tuh buku luar masuk Indonesia udah berlabel best selling. Awalnya kupikir, iya lah, ngapain nerjemahin buku yang belum diakui? Kalau best selling kan berarti udah diakui bagus. Nah terus aku coba lihat buku-buku luar yang belum diterjemahin. Ternyata banyak, tuh, yang berlabel best selling juga. Dan bahkan meskipun nggak berlabel best selling, tapi penerbit dan agen-agen di sana (cont: Amerika) rajiiin banget ngeluarin buku. Dari berbagai genre. Fiksi/non-fiksi. Fantasi, teenlit, chicklit, young-adult, historical, apaaa aja.

Dan dari situ aku bikin semacam teori ngaco yang rasanya masuk akal buatku: Orang sana tuh hobi banget baca. Minat bacanya tinggi. Apa aja dibaca. Kalau gak ada kerjaan iklan papan reklame juga dibaca. Saking rajinnya petunjuk penggunaan dan Term of Service juga dibaca. Nah, makanya orang kalau mau jadi penulis di sana tuh gak sesulit di Indonesia. Karena minat bacanya tinggi, selain mereka udah punya pengetahuan yang banyak tersimpan dalam otak, agen penerbit dan penerbit juga welcome banget sama para penulis pemula di sana. Klasifikasinya jadi gak berbelit-belit gitu. Sementara di Indonesia karena minat bacanya rendah diusahakan sebisa mungkin naskah yang diterbitkan itu adalah naskah yang bener-bener bagus. Kalau bisa, dari lima naskah bagus dari genre yang sama pilih satu aja. Yang lainnya meskipun bagus, tolak. Kenapa? Supaya minat pembaca yang udah minim itu bisa tergugah. Lah, kalau nerbitinnya nggak pakai seleksi super ketat mana bisa? Ibaratnya lubang penerbitan luar tuh lebar, karena masyarakat pembacanya juga melahap apa aja yang dikasih. Kalau di kita tuh super sempit, karena masyarakatnya, bahkan yang suka baca, pilih-pilih. Udahlah sedikit, pilih-pilih pula. Beuki weh susah.

Dan itu yang bikin aku menyesal jadi orang Indonesia. Menyesal, kenapa minat baca masyarakatnya nggak tinggi, supaya kita bisa menerjemahkan buku-buku luar lebih cepat. Nih ya, di Jepang, satu buku di luar negeri terbit bulan Juni, pertengahan-akhir Juli paling telat Agustus udah terbit versi bahasa Jepangnya. Kita? Terbit tahun 2003 diterjemahkan tahun 2013. :|

Oke, gak seekstrem itu, tapi yang pasti bisa bertahun-tahun sebelum diterbitkan versi terjemahannya di sini. Aku mau aja cari buku aslinya, tapi satu-satunya toko buku impor yang kutahu di sini tuh Times, dan di Times harganya sebelas-dua belas sama harga buku terjemahan. Sementara temenku di Bali bilang dia nemu buku Darkest Mercy di Periplus seharga Rp10.000,00, coba! Bayangkan! Sepuluh ribu rupiah! PENGIN NANGIS GAK SIH!?

*Sigh* Yah, sekianlah uneg-unegku. Emang sih, sekarang juga remajanya mulai suka baca. Tapi yang suka bikin aku gregetan adalah, meski suka baca, mereka gak memperlakukan buku-buku itu selayaknya! Ditekuk, dilipat, ditarik sampe sobek, kenapa gak dibakar aja sekalian!? Oke, aku ngaku, aku juga gak rapi-rapi amat nyusun bukuku, tapi mereka gak pernah aku tekuk, gak pernah aku lipat, dan walau acak-acakan, selalu ada di rak buku (meski ditumpuk karena gak ada space lagi). Buatku, kalau kita beneran suka membaca, dan gak hanya sekadar tren (oh, ya, sekarang emang lagi lumayan ngetren baca buku. Senggaknya di sini, meski gak sengetren "Cungguh, ciyus, miapah, WOW"), kita pasti juga akan menjaga buku-buku itu supaya tetap bagus, rapi, bersih, wangi... baju kali. Ya, yang pasti diperlakukan secara berperikebukuan. Tapi itulah orang Indonesia. Jaga barang sendiri aja suka gak keruan, apalagi barang pinjeman dari perpustakaan. Tapi semoga tren membaca ini akan terus bertahan sampai semua--SEMUA--remaja di Indonesia gemar membaca, AMIN. Dan kalaupun mereka nggak gemar membaca, aku akan tanamkan hobi membaca pada anak-cucuku, terus mereka turunkan lagi pada anak-cucu mereka, dan terus, dan terus, sampai menyebar, sampai semua keturunanku suka membaca. YEAY. AMIN.

Caw, ah.

Garuda Riders review

Judul Buku: The Adventures of Wanara Trilogy Book One: Garuda Riders
Pengarang: A.R. Wirawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tempat/tahun terbit: Jakarta, 2013
Cetakan: I
Tebal buku: 328 halaman


"Novel Garuda Riders mengajak kita berfantasi di bumi 'Indonesia'. Jangan protes jika kalian diajak berimajinasi liar dalam cerita ini."
-WAHYU ADITYA, Founder of Hellomotion


Satu milenium setelah Era Ramayana, ras asura dan keturunannya terus diburu. Mereka dibantai di mana-mana. Hanya di Alengka, negara leluhur para asura, mereka bisa hidup tenang. Namun, itu pun bukan jaminan. Sebab, sebuah organisasi bawah tanah bernama Raksasaghna telah lama bersumpah untuk melenyapkan seluruh keturunan Rahwana itu dari Tanah Varadwipa.

Pada masa itulah, lahir bayi laki-laki dari tiga keturunan Era Ramayana, yaitu Rahwana (asura), Hanoman (wanara), dan Rama (mannusa). Bayi laki-laki itu bernama Naradja. Marsekal Badawang adalah orang pertama yang melihat potensi anak petani ubi itu. Ia pun berspekulasi untuk menarik Naradja menjadi salah satu pratarunanya di Akademi Angkatan Udara Kurmapati. Pilihannya tak salah, karena wanara itu kemudian memang tumbuh menjadi seorang penunggang garuda yang menonjol.

Namun, Naradja mengalami mimpi buruk tentang masa depan dirinya dan nasib Tanah Varadwipa. Hanya delapan elemaen dewa atau Hasta Brata yang mampu mencegah kehancuran Tanah Varadwipa di masa depan. Tanpa izin Akademi Angkatan Udara Republik Ayodhya, Naradja mengajak Laksmi, Lembu Kendil, Baning, dan Malore terbang ke berbagai negara mencari delapan elemen Hasta Brata dengan menunggangi garuda. Tak jarang, nyawa mereka menjadi taruhannya. Namun betapapun menggetarkannya petualangan itu, Naradja tak pernah tahu bahwa ada skenario besar dari organisasi rahasa Raksasaghna terhadap dirinya.

Pertama kali aku lihat buku ini di rak di lantai khusus novel Gramedia Merdeka Bandung, aku langsung jatuh cinta. Kupikir, "Gila, keren banget yang bisa punya ide untuk nyiptain nih novel! Ngegabungin modernisme sama pewayangan, saik bener." Kemudian aku melihat harganya dan keluar dari Gramedia dengan tangan kosong. Dari sana aku pergi ke Rumah Buku, nyari stok buku ini dengan harga yang lebih terjangkau dompetku. Tapi di RumBuk, alih-alih nemu Garuda Riders, aku malah nemu buku penutup seri Wicked Lovely; Darkest Mercy. Akhirnya aku beli itu, terus waktu malamnya aku ketemu ibuku dan ayah tiriku, aku bayarin makan kita bertiga yang totalnya sekitar 30 ribuan pakai uang 40 ribu. Ayah tiriku terus ngasih uang 100 ribu buat ngegantiin, langsung deh lari ke Gramedia buat beli nih buku. Hehehe, jodoh mah emang gak ke mana, ya.

Nah, awalnya kukira Naradja ini tinggalnya Alengka, ternyata dia tinggal di Ayodhya. Terus, kukira juga, ceritanya itu tentang gimana si Naradja ini berusaha menyelamatkan para asura yang diburu sama Raksasaghna, ternyata nggak. Cerita berpusat pada bagaimana Naradja dkk berusaha mendapatkan kedelapan elemen Hasta Brata. Cuma, di tiap-tiap negara, saat mencari elemen-elemen itu pasti polanya selalu sama. Pertama, mereka akan ketemu hewan aneh. Kedua, hewan aneh itu nyuruh mereka mendatangi hewan aneh lainnya. Ketiga, hewan aneh lainnya itu nyuruh mereka ketemu sama hewan aneh lain/dewi. Keempat, baru di hewan aneh terakhir atau dewi ini mereka mendapatkan elemen itu. Gitu terus diulang-ulang. Jadinya agak monoton dan petualangannya malah nggak kerasa. Apalagi dari penggambarannya, Naradja dkk lebih mirip berjalan-jalan seperti turis biasa daripada berpetualang. Jadi untuk adventurenya emang agak-agak kecewa, sih. Selain itu, meski awalnya digambarkan bahwa motif awal Naradja mencari elemen-elemen Hasta Brata itu untuk menjadikannya orang yang lebih bijak kalau-kalau ia menjadi seorang pemimpin atau raja seperti di mimpinya. Yep, Naradja telah bermimpi sebanyak tiga kali sepanjang buku ini mengenai dirinya yang menjadi raja. Awalnya, di mimpi pertama ia hanya melihat orang-orang yang mati bergelimpangan, di antaranya ayah dan ibunya. Ada sesosok wanara kera putih bermata merah dengan pakaian bagus seperti seorang raja dan mengenakan mahkota (kalau gak salah sih ._.) yang memerintahkan mereka yang masih hidup agar berlutut di hadapannya, karena ia adalah penguasa bumi ini. Di mimpi kedua persis seperti itu, hanya saja kali ini ia mengalaminya setelah masuk ke Akademi AU dan di antara mayat-mayat itu tergeletak juga mayat teman-temannya. Di mimpi ketiga, barulah ia melihat jelas bahwa wanara itu adalah dirinya. Jadi ia berusaha mencari Hasta Brata untuk "mendewasakan" diri dan tidak menjadi seperti mimpinya itu. Namun, seiring perjalanan ia justru mulai berubah, dari kera yang lincah dan ceria menjadi lebih serius, sombong, dan bengis. Di akhir buku ia bahkan membunuh salah satu musuhnya dengan bengis dan tanpa perasaan. Sebelumnya pula, Aveza Sasta Bhuja alias dewi kematian yang menjaga elemen api dan matahari telah memperingatkan Naradja bahwa ia bisa tetap menjadi seorang pemimpin tanpa Hasta Brata. Naradja bisa memilih: Kembali ke Ayodhya dengan damai atau mengambil elemen sambil membawa kutukan. Tapi Naradja justru menyerang Aveza Sasta Bhuja dan mengambil elemen-elemen itu. Dan dari situlah ia mulai berubah. Dan yang aku agak aneh adalah, saudara kembar ibunya yang terpisah sejak lama, seorang campuran asura-mannusa bernama Daruta begitu mendukung pencarian Naradja atas Hasta Brata, ia bahkan memerintahkan Naradja untuk menyempurnakan keris Hasta Brata lalu membalas dendam atas kakeknya, Bimata yang dibunuh Katunara, pada Raksasaghna sementara teman-temannya yang lain memintanya kembali ke Ayodhya. Jadi terlihat seolah Daruta justru mendukung "perubahan" Naradja, dan ini membuatku ambigu dalam menempatkan dia pada pihak baik atau jahat.

Tapi untuk sisi humor dan keremajaannya (perlu diingat, Naradja sendiri baru berusia 16 tahun) nggak mengecewakan. Di buku ini ada romansanya juga, dan seperti romansa di buku-buku lainnya, di sini tuh ada cinta segitiganya. Mainstream. Cuma ini antara wanara kera (Naradja dan Laksmi) serta wanara harimau bernama Malore. Jadi ceritanya Laksmi sama Naradja awalnya musuhan, tapi lama-lama jadi deket gitu. Nah Malore yang udah lama naksir Laksmi jadi makan ati. Kasihan. Yang mau patungan buat beli balon untuk Malore bisa hubungi saya.

Omong-omong, aku ngakak keras di halaman 226-227, yaitu ketika Naradja dkk berusama mencari kepingan Hasta Brata elemen samudra, mereka bertemu hewan aneh kedua yang bernama Makara. Terjadilah percakapan seperti berikut ini:

Naradja memimpin teman-temannya mengejar makhluk itu.
"Hai, Makara," panggil Naradja begitu jarak mereka cukup dekat.
Makhluk raksasa itu mencari asal suara. Sebelum hewan itu menoleh, Naradja lekas-lekas menghampirinya. "Halo, halo!" bisik Naradja di telinga hewan laut yang lebar itu.
Makara pun menoleh. Ia tampak bengong melihat Naradja dan kawan-kawan serta tirtaruda mereka.
"Saya Naradja. Ini teman-temanku, Lembu Kendil, Laksmi, Baning, dan Balore. Kami dari Ayodhya."
"Dari Ayodhya?" gumam Makara. "Terus aku harus bilang 'wow', gitu?"
Naradja tergelak. Tidak menyangka hewan raksasa ini gaya bicaranya seperti anak muda saja.
"Kami sedang mengumpulkan elemen Hasta Brata samudra. Tapi kami sama sekali nggak tahu persisnya di mana. Anda tahu?"
Makara berpikir dengan ekspresi yang dibuat-buat. "Duuuh, kasih tahu nggak ya? Kasih tahu nggak ya?"

Ya ampun, itu asli ngakak banget! Setelah sebelumnya mereka serius, tahu-tahu muncul yang beginian. Gimana gak surprised, coba xD

Di samping itu, bahasa yang digunakan cukup sederhana. Mungkin kalau nggak kepotong uprak seminggu lalu, dalam satu hari bisa selesai. Agak monoton sih, tapi akhirnya itu yang bikin nggak sabar nunggu buku keduanya terbit, Rise of Asura. Oh ya, satu lagi kekurangan buku ini adalah, meski mengangkat tema wayang, tapi untuk judul dan peta Tanah Varadwipa menggunakan bahasa Inggris, jadi berkurang deh nilai nasionalisnya. :/

Kukasih tiga bintang, ya. Satu untuk kovernya, dua untuk Naradja.

Sunday 3 March 2013

Kejadian yang Berulang

Seperti mimpi aku berlari yang kumimpikan dua kali, sebenarnya aku juga bertemu dengan orang yang sama dua kali; dua mimpi. Tidak, dalam mimpiku yang aku dikejar Pasukan Khusus ia tidak ada di sana. Tapi dua mimpi lainnya, dua mimpi sebelumnya. Aku tidak pernah melihat wajahnya. Ia selalu berupa siluet bayangan. Tapi ada sesuatu yang membuatku yakin dia adalah orang yang sama. Entah karena itu hanya mimpi atau memang mereka orang yang sama. Aku terlalu banyak mengulang kata orang yang sama.

Pertama kali aku bertemu dengannya, aku sedang berjalan-jalan di belakang Tea House yang berlokasi di belakang rumahku. Jalanannya beraspal, tapi pepohonannya masih rindang dan sejuk. Kemudian jalan yang beraspal itu mulai berubah menjadi tanah cokelat kemerahan yang basah karena hujan, membuatku harus berjalan lebih hati-hati. Seharusnya aku berjalan lebih hati-hati. Aku tetap berjalan dengan santai, seolah tidak takut tergelincir meskipun jalanan licin dan mulai menurun. Aku ingat aku mengenakan celana pendek, kaus, menyandang tasku Lima, dan mengenakan sepatu kets yang itu-itu saja. Jangan salahkan aku, aku memang cuma punya satu pasang sepatu kets.

Aku membawa peta, seingatku. Pohon-pohon mulai merapat hingga cahaya matahari yang menembus, meskipun cukup menjadi penerang, tampak remang-remang. Sesekali muncul rombongan turis petualang lainnya, tapi aku tidak pernah benar-benar masuk kelompok mereka. Mungkin aku ini alpha penyendiri.

Kemudian, jalannya bercabang.

Cabang yang ada di kiri tampak tidak terlalu menurun, tapi jalan cabang yang di kanan tampak menurun, jauh lebih curam daripada jalan yang kutempuh saat ini. Tour guide yang menangani sekelompok turis itu mengajakku ikut bersamanya ke cabang kanan, berkata bahwa cabang kiri itu, yang meskipun jalannya tampak lebih aman namun pepohonannya jauh lebih rapat hingga sangat gelap dibandingkan cabang kanan yang meskipun jalannya menurun agak curam tapi pepohonannya jarang, jauh lebih berbahaya karena ada sebuah lubang hitam mengerikan yang mengisap apapun yang ada di dekatnya. Aku menolaknya dengan halus. Dengan satu kedikan bahu ia dan rombongannya berlalu sambil mengingatkanku untuk terus berhati-hati. Oke, kubilang.

Jadi sementara mereka berjalan menuruni cabang kanan, aku menyalakan senter dan berjalan memasuki cabang kiri.

Dingin. Gelap. Seram. Begitulah cabang yang kutempuh ini. Tapi tidak sedikitpun aku merasa menyesal telah menolak ajakan tour guide baik hati itu. Belum.

Udara mulai berhembus dan menimbulkan suara aneh dan langkahku menjadi semakin ringan, tetapi kakiku semakin mantap menjejak di tanah yang dipenuhi oleh daun-daun berguguran agar tubuhku tak terbawa angin. Dedaunan yang gugur itu, however, tampak bergeming sama sekali. Seolah gravitasi yang terasa memberat dan udara yang bertiup semakin lama semakin kencang itu hanya berpengaruh padaku. Tapi aku tak memedulikannya. Belum memedulikan ataupun menyadarinya. Aku terus berjalan.

Lalu aku melihatnya.

Lubang hitam yang sangat besar.

Ia menempel di batang pohon yang tak kalah besar.

Diameternya mungkin mencapai ujung-ujung tanganku yang kurentangkan ke samping sejauh mungkin. Tapi jarakku masih agak jauh dari sana, jadi mungkin lubang itu jauh lebih besar.

Kemudian aku terjatuh.

Aku menjerit, mencakar-cakar tanah, mencari apapun yang bisa kujadikan pegangan sementara kakiku terseret masuk ke dalam lubang hitam yang tak terlihat apapun di dalamnya itu. Lubang itu adalah perwujudan nyata kehampaan yang mengerikan. Lubang itu mengisap apapun yang bergerak di sekitarnya, karena itu daun-daun itu bergeming, tak terisap oleh lubang hitam itu. Angin yang bertiup seolah hanya memengaruhi mereka yang bergerak secara nyata; manusia dan hewan. Itu sebabnya tak ada tanda-tanda makhluk hidup lain selain aku dan tumbuhan-tumbuhan yang sediam batu itu. Semua hewan yang pernah ada di sana pasti sudah terisap masuk sementara hewan-hewan lain yang jauh lebih cerdas sudah menghindar darinya.

Yang mana membuktikan bahwa intelejensiku tidak lebih baik daripada hewan.

Meski pemahaman itu sudah merasuk ke dalam otakku, aku tak berhenti mencakar dan menjerit. Sampai akhirnya, ketika sebuah sulur tanaman berwarna cokelat yang tampak kokoh sekaligus lentur muncul.

Kau seharusnya tidak memercayai sebuah sulur yang mencambuk ke arahmu, terutama kalau kau tidak melihat orang yang mengendalikannya sejauh 10 meter dari jarak pandangmu. Tapi kau harus mengerti, aku panik dan tak ada pilihan lain. Selain itu, setengah dari betisku telah merasakan hawa dingin lubang kehampaan itu, yang mana sebenarnya adalah hal bagus karena itu artinya aku masih hidup, tapi akan segera menjadi tidak bagus begitu seluruh tubuhku masuk ke dalamnya. Mungkin saja aku terlempar ke Jupiter, atau bahkan Pluto. Aku tidak yakin Pluto bahkan bisa menampungku.

Jadi aku meraih sulur itu, dan sulur itu membelit tanganku. Sulur itu serta merta menarikku keluar dari lubang itu, dan menjauhkanku dari sana. Aku berusaha bangkit, tapi kecepatan sulur itu tidak mengizinkanku, jadi aku berbaring menelungkup terseret. Untungnya, tidak ada batu-batu yang tajam, hanya saja bagian depan tubuhku--selain wajahku--jadi super kotor. Tapi, pikirku, itu jauh lebih baik daripada terisap masuk ke dalam kehampaan.

Hingga akhirnya, sulur itu berhenti dan aku bertemu muka dengan orang yang mengendalikan sulur itu. Kata "penyelamat" rasanya terlalu berlebihan, tapi bagaimanapun juga, dia memang sudah menyelamatkanku dari lubang itu. Ia berdiri menghalangi cahaya, dan mataku yang telah terbiasa berada di hutan sana di mana cahaya sangat sulit merangsek masuk, menyipit. Aku kenal dia. Atau setidaknya kurasa aku mengenalnya. Ia membungkukkan badan, mengulurkan tangan. Saat ia berbicara, aku yakin aku akan menganga seandainya ini nyata. Kata-kata yang ia keluarkan sangat sederhana dan awam. "Kamu gak apa-apa?"

Saat mulutku terbuka untuk mengatakan sesuatu--entah menyebutkan namanya atau menjawabnya--aku justru terbangun, menggigil kedinginan.

*

Sementara aku berlari dari gadis yang mengejarku di mall tadi, beberapa mobil menyusulku. Aku ingat melihat jalan beraspal yang lebar itu sebagai jalan Merdeka. Seiring mobil-mobil yang tampak menyusut jumlahnya aku mulai berani untuk berlari ke tengah jalan. Kemudian aku berbelok ke kanan dan jalanan mulai menanjak. Tapi jalan yang menanjak ini tak lagi terlihat seperti bagian dari jalan Merdeka, karena jalan Merdeka tidak menanjak sama sekali. Tidak. Tanjakan ini justru terlihat seperti tanjakan yang ada di dekat rumahku, yang berada di samping tempat parkir Tea House. Lengkap dengan gardu dan gedungnya yang menjulang di atas. Tapi aku terus berlari. Pijakan kakiku bertambah kuat menolak jalan, lalu, ketika aku melihat bahwa sebuah kubangan air yang begitu lebar telah menantiku di atas, aku menambah kekuatan tolak kakiku lalu aku melayang.

Melayang, benar-benar melayang.

Aku melihat langit biru yang disisipi kapas-kapas putih yang tipis dan beberapa tampak empuk.

Aku sekaligus melihat diriku yang melayang dengan kemiringan 180 derajat di udara, yang, artinya, tubuhku seolah berbaring, tetapi di udara, kemudian dengan perlahan tampak menaikkan badan dan kembali pada posisi berdiri. Masih melayang.

Tanganku yang terentang lebar merasakan angin yang bertiup melalui sela-sela jariku.

Lalu aku mendarat.

BUGH!

Tidak dengan mulus. Aku juga tidak mengerti. Dengan posisi seperti itu seharusnya saat aku menjejakkan kaki di tanah, aku akan mendarat dengan mantap di kakiku. Tapi alih-alih seperti yang kupikirkan seharusnya terjadi, aku malah mendarat dengan bahu kiriku membentur aspal dengan nikmatnya. Aku berguling, berdiri, dan lanjut berlari.

Setelah aku berlari cukup jauh dari tanjakan itu, aku menoleh.

Lalu aku melihatnya. Gadis yang seharusnya mengejarku itu, siluetnya digantikan oleh seorang pria tinggi dengan bahu lebar.

Laki-laki yang juga waktu itu menyelamatkanku dari lubang kehampaan. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa begitu yakin. Aku hanya tahu bahwa aku tahu itu dia. Bahkan meskipun ia hanya berupa bayangan hitam yang berkacak pinggang lelah.

Tapi aku tak memiliki waktu yang dapat kubuang sia-sia. Aku terus berlari, hingga kemudian aku berbelok. Pepohonan mulai rindang, jalan beraspal digantikan tanah cokelat kemerahan yang basah sehabis hujan, lumpur agak menciprati kakiku. Dan aku berhadapan dengan dua cabang jalan yang pernah kulihat sebelumnya.

Cabang ke kanan tampak menurun agak curam dengan pepohonan yang tak serindang yang sekarang ini menaungi kepalaku dari sinar matahari yang menyengat. Sementara cabang ke kiri jalannya tampak tak securam cabang ke kanan--bahkan nyaris tak menurun sama sekali--tetapi pohon-pohonnya begitu rindang dan rapat sampai-sampai sinar matahari tak dapat masuk ke dalamnya.

Aku memasuki cabang yang kiri.

Bahkan saat itu, meskipun aku tahu aku pernah melewati jalan ini sebelumnya dalam mimpi yang lain dan terakhir kali aku memasuki jalan itu aku nyaris terisap masuk ke dalam kehampaan, aku seolah tidak memikirkannya. Maksudku, aku tahu aku memikirkannya. Tapi rasanya seolah aku yang berpikir dengan aku yang berlari memiliki pemikiran yang berbeda. Anehnya meskipun sama-sama aku, tetapi aku tidak dapat mengetahui apa yang ia pikirkan.

Baiklah, ini cuma mimpi. Aku maklumi itu.

Kali ini, aku tidak bertemu lubang itu.

Tapi alih-alih, aku malah bertemu sebuah bendungan air di mana ada orang yang cukup gila untuk membangun rumah di samping bendungan itu. Lebih tepatnya, membangun rumah bawah tanah dengan pintu yang ada di samping gerbang bendungan. Itu memang sebuah rumah bawah tanah, karena dari tanah di atasnya tidak terlihat bangunan beton apapun kecuali dinding bendungan itu. Aku mendengar suara kecipak air tapi pandangaku ke sungai terhalang oleh dedaunan yang begitu lebat. Selain air sisa hujan, bendungan itu tampak kering.

Lalu aku bertemu dengan Mita dan nenekku.

Dan kau tahu bagaimana akhirnya.




Baiklah, itu cuma mimpi, kataku. Tapi tidakkah itu terasa... aneh? Terasa janggal? Ada begitu banyak kesamaan di dalamnya.

Pertama, keadaannya saat itu sama-sama sehabis hujan.
Kedua, aku menghadapi hal yang sama yaitu berjalan di atas jalan beraspal yang kemudian berubah menjadi tanah merah yang basah dan agak berlumpur.
Ketiga, aku menghadapi percabangan yang sama dan mengambil cabang yang sama.
Keempat, aku bertemu pria yang sama.

Aku tidak mau berharap, dan aku tidak berani berharap. Aku tidak mau berpikir, dan aku tidak berani berpikir. Siapa lelaki itu sebenarnya. Aku merasa aku mengenalnya, tapi perasaan itu adalah perasaan mengerikan yang lebih menakutkan daripada lubang kehampaan itu. Kau tahu yang orang-orang katakan, ya kan? Expectations lead to disappointment. Harapan mengarah pada kekecewaan. Aku muak dijatuhkan oleh harapan-harapanku sendiri.

Anggap saja ini satu lagi postingan random dariku.

Pelarian

Beberapa waktu yang lalu, aku kembali bermimpi aku sedang berlari.

Okay, okay, it was almost long time ago. Aku lupa untuk menulisnya, tapi, ck.

Mimpi pertamaku tentang berlari sudah kupost di sini. Kali ini, aku kembali dikejar-kejar oleh seseorang. Tidak, lebih tepatnya, beberapa orang. Hei, ingat waktu kukatakan bahwa setelah aku melompati tanjakan itu siluet gadis yang mengejarku berubah menjadi siluet seorang pria dengan bahu yang lebar? Aku agak menyesal lari darinya. Awalnya aku memang berlari dari gadis gila-entah-siapa, tapi kalau ternyata cowok kan...

Oke, kembali pada fokus.

Ceritanya bermula ketika aku sendirian di rumahku. Tidak ada nenek, ibu, maupun kakakku. Hanya sendirian. Yang kutahu pasti, ada orang-orang yang mengepung bagian depan rumahku. Mereka berseragam hitam-hitam dan membawa senjata, persis seperti orang-orang Pasukan Khusus. Aku mengemasi tas dan mengenakan sepatuku. Ketika mengemasi tas, aku tidak tahu kenapa, tapi aku memasukkan mukena ke dalamnya juga. Baiklah, jadi aku lebih religius dalam mimpi. Bermimpi saja terus.

Mereka mengepung bagian depan rumahku, tapi mereka tidak mengepung bagian belakang rumah, karena mereka merasa tembok dan pagar yang mengelilingi halaman belakang rumahku sudah lebih dari cukup, mungkin. Mereka salah. Aku membuka pintu belakang rumah dan menaiki tangga menuju halaman--lebih tepatnya kebun--belakang yang luas, ditutupi rumput liar, dan hanya Tuhan yang tahu ada apa di antara rerumputan itu. Aku memanjat pagar dan mulai berlari. Hampir keluar dari kompleks, aku berpapasan dengan patroli yang mencariku dan aku bersembunyi. Beberapa dari mereka yang berjaga di pintu masuk kompleks mengobrol dengan tukang ojek yang mangkal di sana, menanyakan apakah mereka melihatku. Aku tidak yakin bagaimana aku keluar dari kompleks itu, yang pasti aku berhasil keluar.

(Meski ini adalah mimpi yang kukunci erat-erat untuk kutuliskan di kemudian hari, mungkin pada saat aku terbangun pagi itu, sebelum aku menguncinya, beberapa memori mimpi telah melarikan diri duluan.)

Aku berlari dan terus berlari, melewati kompleks perumahan DDK, kampus dan masjid STKS, Hotel Sheraton, dan masuk ke warnet Hot Seat! di mana beberapa orang sedang berkumpul. Lucunya, meski seharusnya itu adalah warnet, dalam mimpiku beberapa orang itu justru sedang belajar mengaji. Aku ingat, ada dua orang dewasa dan beberapa anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet yang sudah usang dan agak kasar berwarna abu-abu. Aku masuk lebih dalam kemudian menunaikan shalat--entah shalat apa dan lebih entah lagi mengapa. Ada sisi diriku yang bertanya-tanya bagaimana bisa saat seharusnya aku melarikan diri, aku sempat-sempatnya shalat terlebih dahulu. Sebut aku kafir atau murtad, tapi seandainya itu benar-benar terjadi, aku tidak akan terpikir untuk membawa alat shalat.

Tapi aku mengerti kenapa aku shalat pada saat itu.

Karena meski hanya sebuah mimpi, aku merasakan kedamaian dan ketenangan, yakin bahwa Tuhan akan melindungiku. Orang-orang itu, mereka yang mengejarku, berkata mereka melakukannya demi kebaikanku semata.

Benarkah?

Seselesainya aku shalat, aku berkumpul dengan orang-orang yang sedang belajar dan mengajar mengaji itu kemudian mengobrol. Aku ingat mendengarkan perkataan ustadz yang mengajar itu dengan saksama (orang dewasanya berpasangan), aku ingat diberi petuah. Tapi aku tidak ingat apa yang dikatakannya. Nyatanya, aku tidak yakin beliau mengatakan sesuatu. Tapi, hei, namanya juga mimpi.

Para Pasukan Khusus yang mengejarku sampai di sana dan aku segera bersembunyi di balik sekat yang memisahkan tempat mereka belajar mengaji dan mushola. Para Pasukan Khusus menunjukkan fotoku dan mengatakan pernahkah mereka melihatku. Ustadz itu dengan tenang berkata tidak, dan sementara Pasukan Khusus itu masih berusaha menanyakan keberadaanku, aku menoleh dan melihat pintu keluar yang terbuka lebar. Aku berlari keluar, tapi aku tidak tahu apakah satupun dari mereka menyadarinya atau tidak. Itu tidak terlalu penting juga. Begitu aku keluar, aku disambut oleh pohon-pohon hijau yang rindang di pinggir jalan beraspal, seperti jalan tol Cipularang (pasti tahu semua deh). Aku berlari lagi. Meskipun tadi aku tidak mengambil tasku, tas itu kini berada di punggungku sekarang, membentur-bentur dengan rasa nyaman yang akrab dan memberiku perasaan aman. Jalanan mulai menanjak sedikit dan aku mengikutinya. Aku berlari di pinggir sementara satu-dua mobil menyusulku. Jalan itu berbentuk S setengah lingkaran yang ditumbuhi pepohonan di kanan-kirinya.

Lalu aku terbangun.