Wednesday 25 June 2014

Holiday Journal

Day 4
Ready to kill myself out of boredom.

Day 5
Found something to do, but it was done quickly;
Feel tickled that half population of Indonesia are pure idiots that even "real" idiotic people seem smarter than they are;
Wish to kill that half population.

Tuesday 17 June 2014

Friendship = Friendshit?

THIS WORLD IS KA-RAY-ZEEE!

First of all, AKU GAK PERNAH MINTA DILAHIRKAN SEBAGAI MANUSIA! Ini nggak adil! Aku udah hidup selama lima belas tahun sepuluh bulan delapan hari sebagai manusia dan AKU GAK PERNAH MINTA! Tau-tau aja aku udah lahir sebagai manusia. Ini nggak adil! Gimana kalau aku cuma kepengin jadi BEBEK LUCU di kolam SEMPIT dengan LUMUT-LUMUT di pinggirnya?

Second of all, HOLIDAY IS HERE! HUZZAH!! Libur telah tiba, libur telah tiba, hore! chacha HORE!!

Well technically aku baru secara resmi libur Jumat nanti setelah raporku dibagikan, tapi hei, nggak ada remedial whatsoever jadi apa gunanya ke sekolah? Terutama karena kecenganku nggak bersekolah di sekolahku dan kalaupun iya dia pasti lebih milih nganggur di rumah atau hunting foto-foto.

He's a photographer.

Ahhhhhhhhhhh x3

Suara barusan ambigu. Lupakan.

O-kay. So here goes the real blogging. Was that not real smh.

I'm a princess, I'm a cute little princess~

Let's get things started! I have this friend yang menganggapku sahabatnya (:v). Well, dia nggak buruk-buruk amat, and in fact I kinda loves her (aww). But seeing my history with friendship, aku belum pernah lagi menyebut orang sahabatku kecuali mereka yang nyebut duluan. Jadilah kami bersahabat. She's fun to hang out with karena dia lucu dan entahlah, kami sama-sama 'aneh'. Jadi kurasa aku menyukainya karena aku merasa ia mengerti aku. Mungkin memang begitu. Aku merasa aku juga mengerti dan mengenalnya, tapi manusia kan makhluk fleksibel. Meheh.

Right now, I'm not going to complain about her. She's amazing and funny. YET I already know that it's coming.

Karena satu dan lain hal, kami bersebrangan. Yah, bukan hal baru sih. Kami bersebrangan dalam beberapa hal, TAPI kami selalu bisa ngobrol dan ngomongin masalah itu. Mungkin karena alasan jarak? Karena kami udah dua minggu nggak ketemu, dan obrolan terakhir kami itu agak-agak hehehe. Jadi kurasa karena itu.

Omong-omong, apa sih sahabat itu? What is this 'best friend' thingy every bitch crazy about? Dan kenapa di setiap tulisanku aku harus bertanya? Aw man.

So I looked it up on Google, and it says:

best friend
Web definitions
  1. the one friend who is closest to you
    http://wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn?s=best friend
Jadi sahabat adalah seorang teman yang sangat dekat dengan kita. Aw fuck does that mean I have no bestie? :c

Sementara menurut http://nuranuraniku.blogspot.com/2012/01/apa-arti-sahabat.html, "seseorang yang selalu ikut merasakan seperti ketika mendapat kesulitan, kesedihan, masalah maupun di kala mendapat kebahagiaan."

Which is kind of not fair. Tunggu dulu! Jadi kalau aku yang merana gegara hilang duit, dia juga harus ikut merana demi menjadi seorang sahabat? Dan waktu dia merana gara-gara diputusin pacarnya, aku juga harus ikut merana karena aku sahabatnya? Wtf man.

Manusia punya cara yang unik dalam membuktikan persahabatan.

Also there is some weird conclusion that kalau kamu udah berteman dengan 'sahabat'mu selama lebih dari tujuh tahun, kalian akan berteman selamanya dalam suka dan duka hingga maut memisahkan. Tunggu dulu! Siapa yang memutuskan begitu? Dan kenapa pula harus tujuh tahun? Gimana kalau aku maunya enam tahun aja? Atau sembilan? Yang pasti bukan kedua angka itu digabungkan. Err.

Hei, tau gak, aku punya rencana: di hari ulang tahunku yang ke-69 nanti aku mau ketawa aja seharian sampai puas. Wait what. Nvm.

Oke, jadi secara umum, sahabat adalah teman yang dekeeeett banget sama kita dan kenal kita luar-dalam (aw it tickles). Kemudian, sahabat juga selalu mendukung kita waktu kita lagi down dan berbahagia untuk kita waktu kita lagi up. Up up up. Up in my air balloon, air balloon, air balloon, ha!

Kalau kalian baca tulisanku yang lain (betapa manusia itu busuk!), kalian akan tau bahwa pada dasarnya aku agak-agak gak percaya orang bisa berbahagia untuk keberhasilan orang lain. Maybe it's just me, mungkin aku orangnya memang sepicik itu (ha!). But yu kno mai name not mai stori.

Sorry, that was some thug swag child comment I found on YouTube.

Oke, again, aku nggak bener-bener percaya bahwa orang bisa berbahagia atas kesuksesan orang lain. Well, mungkin bisa, kalau mereka tertarik pada hal yang berbeda dan bukan rival. Hei, anything could happen, right?

BAGAIMANA KAMU BISA MEMERCAYAI ORANG YANG KAMU ANGGAP SAHABAT!?

Don't get me wrong, ada orang-orang yang kupercaya di dunia ini (aku) yang kira-kira sama kecenya denganku (aku) dan bisa meng-handle segala keabsurdanku (ibuku -- meh). But... from a complete stranger? How'd you do that man, that's sick. Maksudku, kepercayaan memang dibangun selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, tapi kan ada tesnya juga, ada percobaannya juga. Dan percobaan ini hanya bisa dilakukan kalau kamu memutuskan untuk MEMERCAYAI orang asing itu, bahkan walau cuma sedikit. Me myself menganggap diriku pada dasarnya nggak begitu mudah percaya orang. Which is probably kind of weird, karena dalam waktu sepuluh menit bersamaku kamu udah bisa tau nyaris segalanya tentangku. But that's the thing, sementara orang lain mungkin karena nggak percaya sama orang lain jadi menutup mereka, aku malah ngoceh (karena (1) itu cacat sejak lahir dan (2) I'm just fucking awesome), namun kalau kamu memerhatikan, mungkin kamu akan menyadari bahwa aku nggak secara spesifik bercerita tentang sesuatu pada A yang tidak kuceritakan pada B.

I don't trust people equally, makanya dalam curhat aku nggak bikin strata siapa dapat curhat tingkat apa. c:

Dan kalau dipikir lagi, all these friendship shit are so weird. Itu semacam diskriminasi, kalau kamu mau membuang waktu nggak berharga dari kehidupan menyedihkanmu itu untuk memikirkannya. Kamu ketemu banyak orang terus kamu ketemu satu orang yang you're just like, "I like this bitch. I'm gonna do shit with this bitch." then BAM! sebuah persahabatan terbentuk.

WHAT. IN. HELL.

Yeah mengingat keanehan dan serta carut marut masalah pertemanan ini, menurutku memang pantas hal-hal tentang pertemanan dan persahabatan disebut friendship shit (like, you know, as in "shit" for the replacement of "things" because my generations is full of thug assholes) yang kalau disingkat...

F
R
I
E
N
D
S
H
I
T
.

Have a good day, M'Lord and M'Lady.

Satu Kata: Manusia.

Membuang identitas diri jauh-jauh;
supaya orang menerimamu
Menutup keyakinan dan ideologi dalam boks tua;
karena mereka bilang itu tidak benar
Menyerahkan yang berarti dunia bagimu;
demi mendapatkan ilusi tentang dunia
Mengabaikan hati nuranimu;
karena itu tidak awam

Mereka menelanjangi diri mereka;
demi sekadar share di media sosial
Mereka membuat diri mereka lapar;
karena berat badan mereka di atas empat puluh kilogram
Mereka menghabiskan uang maya;
untuk membuat kagum orang yang bahkan tidak peduli

Kalian bersedia mengikuti;
asalkan banyak orang lain mengikuti
Kalian bersedia digiring;
seperti ternak menuju rumah jagal
Kalian bersedia tenggelam;
demi sebuah pengakuan semu
 
DAN KALIAN MENYEBUTKU GILA.

Friday 13 June 2014

Bukan Untuk Para Fanatik

Apa itu Tuhan?

Bukan siapa, tapi apa.

Karena, you see, kalau pertanyaannya adalah siapa, maka itu akan menjadi terlalu mudah. Setiap agama akan dengan bangga dan lantang menyebutkan siapa Tuhan mereka, kemudian orang-orang akan saling mencela karena merasa Tuhan mereka lah yang lebih baik, lalu perdebatan tiada akhir akan dimulai.

Sebenarnya, ada pertanyaan lain: apa Tuhan memang benar-benar ada?

Tapi kemudian, para teis akan menatapku dengan pandangan tak percaya lalu untuk sesaat gencatan antaragama akan diadakan supaya mereka semua bisa menyatukan kekuatan untuk memburuku. Jadi mari lupakan pertanyaan yang satu itu sebentar.

Apa itu Tuhan?

Apakah Tuhan merupakan sesuatu yang menciptakan seluruh dunia beserta isinya? Sejak aku belajar agama untuk pertama kalinya, itulah yang selalu dikatakan oleh guru-guruku, orang-orang di sekitarku. Semua yang ada di sekitar kita adalah ciptaan Tuhan.

Tapi bagaimana dengan hal-hal yang dicipatakan oleh manusia? Apa itu juga ciptaan Tuhan?

Ya, karena Tuhan menciptakan manusia dan karena kehendakNya lah manusia dapat menciptakan benda-benda tersebut.

Jadi, segala hal yang ada di sekitar kita adalah ciptaan Tuhan. Dunia, galaksi, dimensi, planet-planet dan bintang-bintang, langit dan bumi, rumah-rumah, alat-alat elektronik, mug, dan manusia.

Kalau begitu, apa itu artinya Tuhan menciptakan penyakit? Jawabannya adalah iya, karena Tuhan yang menciptakan segalanya, ya kan?

Lalu mengapa ada orang-orang yang sakit namun kemudian sembuh sementara lainnya tidak? Apa memang sudah takdir mereka untuk meninggal karena penyakit itu? Tapi selama sakit, mereka menderita. Apakah Tuhan yang memberi mereka penderitaan itu? Ya. Kenapa? Untuk "membalas" sesuatu yang telah dan pernah mereka lakukan? Bukankah itu fungsi adanya konsep neraka? Tapi neraka baru akan melakukan tugasnya saat manusia itu sudah mati, jadi kenapa nggak langsung mematikan mereka aja? Kenapa harus menambah penderitaan mereka dengan penyakit? Apakah Tuhan mempermainkan manusia, kalau begitu?

Apa itu Tuhan?

Apakah Tuhan merupakan sesuatu yang memberi kita kehidupan, seperti yang selalu nenekku katakan? Sehingga kita harus menyembah Tuhan untuk menunjukkan rasa terima kasih kita. Tapi kalau Tuhan adalah sesuatu yang memberi kita hidup, nyawa, apakah itu artinya aku Tuhan saat memasukkan baterai ke dalam mainan yang membuatnya hidup? Karena, bukankah karena aku mainan itu bisa menyala dan bisa bergerak? Dan aku yang mengatur gerakannya. Bukankah itu artinya aku Tuhan? Bukankah itu artinya mainan itu seharusnya menyembahku?

Dan kenapa pula kita perlu menyembah Tuhan?

Kukira Tuhan itu Maha Besar, Maha Kuat. Bukankah itu artinya tidak perlu makhluk hina seperti manusia untuk memuji dan memujanya supaya Ia bisa bertahan hidup? Supaya Ia tetap ada? Untuk apa kita menyembah Tuhan? Jika Tuhan memang seperti yang selalu guru-guruku ajarkan, bukankah seharusnya kita menyembahNya atau tidak, tidak akan memberikan pengaruh yang berarti bagiNya?

Tapi... bukankah Tuhan tidak ada apa-apanya tanpa manusia?

Dewa-dewi zaman dahulu mendapatkan kekuatan mereka karena manusia menyembah mereka, kan? Manusia meyakini mereka ada, menyembah mereka, menjadikan mereka lebih tinggi derajatnya, mereka yang bahkan tidak pernah manusia lihat wujudnya.

Kalau begitu, bukankah dalam beberapa dekade atau abad ketika akhirnya orang-orang tidak cukup banyak yang memercayai Tuhan masa kini, maka Tuhan itu sendiri akan menghilang? Ia tidak lagi memiliki kekuatan agung yang kini orang-orang takuti, karena tidak ada yang percaya padaNya. Bukankah begitu cara konsep kepercayaan bekerja? Sesuatu menjadi nyata saat cukup orang percaya.

Jadi bukankah saat tidak lagi cukup orang percaya pada Tuhan, Tuhan tidak nyata?

Apa itu Tuhan?

Wednesday 11 June 2014

Ladida

Kosong
Ada yang hilang
dan menyesakkan

Lenyap
Lubang mengaga
Tidak terlihat

Mungkinkah
Untuk merasakan
apa yang tidak ada?

Sumpal
Dengan sesuatu
Apapun

Isi tempat kosong ini
Jangan biarkan terus tak berisi
Sebab nantinya
Aku akan hilang.

Tuesday 10 June 2014

My Second Cup o' Tea

I'm free now
Free to live without my fears
I believe now there's a reason why I'm here
...
I'M FREE NOW
I'M FREE NOW (\ ‾O‾)/

 APA KALIAN TAHU AKU SEKARANG UDAH BEBAS DARI UJIAN KENAIKAN KELAS KEPARAT ITU!!!?????

Aku tau! Dan aku bangga! Dan aku... nggak begitu bahagia sih, dan nggak begitu lega juga. YA INTINYA BODO AMAT! Gue udah beres UKK!!

Baru dua hari yang lalu kan aku ngepost? Yaudah berarti gak banyak yang perlu diomongin :v

Pagi tadi aku langsung dihadang matematika.

GAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHH.

Kemudian sementara orang ngobrol atau ngapalin rumus aku sibuk nangis sambil moto-moto isi catetan emteka.







Tapi sebagus apapun resolusi kamera gue (standar sih, 3mpx lah), tetep aja nggak bisa ngeboost kecerdasan gue dalam matematika.

Kalau-kalau matamu nggak bisa liat fotonya dengan jelas, lemme tell ya; itu cuma diisi enam belas soal dari empat puluh. 1-5, 22, 26-27, 31-36, dan 39-40. Ikr I'm awesome.

Terus, kutipan lagu yang kutulis di awal post? Itu lagu yang aku nyanyiin begitu keluar dari ruang UKK. KARENA, BUNG, KENYATAANNYA, EMANG BEBAS! GAK BAKALAN ADA REMEDIAL! ...katanya.

Oh he-eh, aku juga bikin tato-tatoan hari ini bermodalkan gel pen dan favorites di Twitter. Butuh, soalnya kutipannya aku simpen di favorites. :v





Itu kutipan dari Allen Ginsberg. Rencanaku adalah, ini bakal jadi hadiah ulang tahun untukku, dariku di ulang tahun ke-21. Soalnya, ibuku baru ngasih aku izin untuk bikin tato kalau umurku udah dua puluh satu tahun. Kan asyik, kalau pas hari ulang tahunku yang biasanya biasa aja, dengan kado ucapan atau duit atau makanan atau suvenir, kali ini itu kadonya merajah tubuh.

Semahal apa, sih? Paling juga beberapa ratus ribu, ahahaha. :'D

Sekarang juga musikku setelah sempat berkelana ke EDM, soloist (Shakira, Austin Mahone, Lily Allen, dll), dan sedikit K-Pop (Miss A -- itupun cuma satu lagu; Hush dan kumiliki baik lagu dan videonya karena mereka cantik), akhirnya kembali ke ranah awal: band.

Sejauh yang kuingat, lagu-lagu pertama yang kudenger dan kukoleksi selalu band -- baik lokal maupun internasional. Dan band yang dapet sial kehormatan itu kali ini adalah... jengjengjeng...


Kemungkinan ini post paling banyak fotonya lmao.

Udah kenal SWS sejak lama, tapi baru beberapa minggu belakangan ini download album-album mereka secara full (sebelumya terpisah dan cuma single), dari With Ears To See And Eyes To Hear di mana aku meringis di beberapa lagu (ternyata SWS juga pernah mengalami masa ketika genre post-hardcore mereka nggak jelas gimanaa gitu), Let's Cheers To This yang udah lebih baik daripada WETSaETH, EP If You Were A Movie This Would Be Your Soundtrack yang punya dua lagu versi akustik dari WETSaETH, dan album paling baru, Feel. Phew, itu album dengan judul tersingkat mereka.

Lagu-lagu favorit dari masing-masing album? Umm nggak ada di WETSaETH, Do It Now, Remember It Later; If You Can't Hang; A Trophy Father's Trophy Son; dan All My Heart di Let's Cheers To This, SEMUA lagu di EP, The Best There Ever Was; Deja Vu; Sorry; dan Alone di Feel. Omong-omong tentang band dan foto, nih satu lagi:

  

Which just blew my mind.

Aku emang bukan penggemar acara kayak Indonesian Idol, X Factor, The Voice, dll. tapi perkataan Dave itu tuh kayak... bikin aku mikir juga.

Kebanyakan musisi baru sekarang kalau bukan ngetop dari YouTube maka jebolan kontes menyanyi. One Direction, Little Mix, Austin Mahone, dan yang lainnya. Yang, omong-omong, maafin nih ya, lagunya nggak begitu jauh dari pacaran, cewek/cowok, move on, yang begitu aja. Duh, alasan kenapa aku nggak begitu suka lagu Indonesia adalah karena pemusiknya rata-rata isi lagunya gitu-gitu aja, eh sekarang lagu luar juga sama. Tapi mungkin sebenernya nggak mayoritas begitu, cuma yang terkenal yang begitu. Yang lainnya under radar.

Yeah, Alexz Johnson, Simple Plan, dan SWS juga punya lagu yang kayak gitu, tapi cara mereka membawakan lagunya beda dan lebih sesuai buat telingaku. Lagu-lagu 1D, Little Mix, dan Austin Mahone beserta kawan-kawannya itu semacam cuma lagu one shot buatku. Sekali denger udah. Kenapa penyanyi/band favoritku bisa jadi favoritku, karena lagu mereka bukan lagu-lagu one shot. Hey, aku udah berkali-kali denger Alone masih aja eargasm.

DAN KENAPA KITA JADI NGOMONGIN BAND!?
 



Sunday 8 June 2014

Mungil, Lucu, dan... Lemah

Haiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.

Aku tahu aku udah hampir seminggu nggak nulis apapun, dan besok aku masih harus menghadapi neraka dunia ujian kenaikan kelas sampai Selasa. Rencananya siiihhh habis itu aku mau cuti sekolah tiga hari (persetan dengan remedial! nah bercanda) dan baru akan mendaratkan pantat besarku di sekolah Senin minggu depannya lagi, tapi dengan baik hati teman sekelasku mengingatkan bahwa Rabu kami masih punya agenda foto kelas.

Sialan.

Hei, kami udah pernah nyoba foto kelas sebelumnya, tapi yang datang cuma lima orang dari tiga belas (waktu itu belum ada murid pindahan, kan) dan bahkan satu dari lima orang itu udah pindah jurusan. Jadi itu bukan foto kelas yang relevan.

Menurut jadwal, aku masih harus berhadapan dengan penjaskes, sastra, bahasa Sunda, matematika, sejarah Indonesia, dan seni rupa. Tapi kurasa kita semua tahu apa yang akan kulakukan untuk mempersiapkan diri, jadi itu nggak perlu kubahas.

Omong-omong, kemarin aku baru aja ketemu sama seorang kawan lama yang tinggal di kota yang berbeda denganku. Ajay, panggilan kesayanganku untuknya. Aku punya banyak teman yang menyebalkan, tapi tidak perlu diragukan lagi dia adalah satu-satunya teman menyebalkan bermuka banyak yang kusayangi. Salah satu kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan dalam hidup singkatnya adalah membuka celah kecil bagiku untuk menyelusup masuk ke dalam jiwa terdalam dan terkelamnya (itu tempat yang menjijikkan bagi sebagian besar orang, tapi bagi kami yang memiliki jiwa sesat dan -- apa itu istilahnya -- kafir, itu adalah taman kota yang menyenangkan), lalu membiarkanku melihat seperti apa dirinya yang sesungguhnya -- sesungguh dan setulus yang bisa ia tampilkan.

Kami nongkrong di salah satu kafe di Bandung (dan seperti yang kita semua tahu, Bandung punya banyak BANGET kafe, resto, dan tempat nongkrong lainnya), dan sementara orang-orang yang datang ke sana, baik dengan teman, kekasih, maupun keluarga, sibuk mengobrol atau justru sibuk sendiri mengutak-atik gadget, kami berdua sibuk... membaca.

Kalian tahu kenapa aku senang berteman dengan orang-orang yang suka membaca? Dan bukan cuma "suka" seperti yang dikoar-koarkan oleh kebanyakan remaja zaman sekarang dan aku tahu frasa barusan bikin aku kedengeran tua banget tapi persetan. Maksudku suka membaca adalah membaca dan menganalisis isi buku tersebut. Dalam bentuk sederhana dan soknya, aku suka berteman dengan orang-orang yang tau mana buku bagus dan nggak. Orang-orang yang, menggunakan bahasa khas Janet, intelek dan berpikiran terbuka. Atau istilah lain, orang-orang yang berotak.

Paragraf barusan memang sangat menghina, tapi terserahlah. Aku lagi nggak punya tenaga untuk bersikap manis dan berusaha menghargai opini orang lain. Seperti, kalau kamu penggemar Me And You Versus The World, no pun intended, to me you are lame. Payah dan nggak tau bacaan bagus.

Oke, jadi kenapa aku senang berteman dengan orang-orang yang suka membaca? Karena kami bisa nongkrong berdua (atau berkelompok; tergantung jumlahnya), nggak melakukan apapun selain membaca dan tenggelam dalam dunia masing-masing, tanpa ada satu orang pun yang merasa diabaikan.

Maksudku, lihat teman-temanku yang menjadi teman karena keadaan, kayak teman sekolah misalnya. Mereka yang nggak suka membaca atau punya kegiatan lain yang bisa bikin mereka tenggelam dalam dunia sendiri nggak akan terima kalau kuacuhkan gara-gara aku lagi baca buku. Mereka bakal terus-terusan berusaha mengajakku mengobrol dan itu teramat sangat mengganggu, like, I'm trying to read, find your own business, biach!

Yeah, ada juga yang nggak secinta aku terhadap kegiatan menerjemahkan tulisan menjadi imaji dalam otak, tapi dia bisa mengabaikan sekelilingnya, seperti aku mengabaikan sekelilingku, saat mendengarkan musik. Dan meskipun selera humornya payah, dia punya otak yang dipakai secara optimal, makanya kami berteman. Itu, dan karena dia menghormati privasiku saat sedang memegang buku yang terbuka. Kecuali buku pelajaran. Dia dengan senang hati akan menggangguku. Ya Tuhan terima kasih karena telah mengirimiku salah satu malaikatMu.

Jadi, Ajay dan aku duduk di satu meja yang sama, dengan meja yang tidak diisi apapun kecuali buku, plastik sampul buku yang dizhalimi, dan dua gelas mocha milkshake (thanks for the treat!). Lalu, hidung kami kelelep dalam buku.

Saat aku sudah setengah jalan membaca Rahvayana: Aku Lala Padamu karya Sujiwo Tejo dan Ajay sedang membuka komik ketiga atau keempatnya lah baru kami mulai mengobrol. Ajay bercerita bahwa di beberapa volume sebelumnya (komik yang ia beli nggak semuanya berjudul sama, sementara aku cuma beli Rahvayana dan Bumi karya Tere Liye -- ripiu menyusul yak :v), Ciel -- Black Butler -- mengalami hilang ingatan. Ingatan Ciel yang terhapus adalah sekitar empat tahun terakhir hidupnya, dan ia kembali pada memori ketika ia "dijual" dan sering disiksa -- ditusuk, dipukuli, dll. Pengalaman yang mengerikan, terutama bagi bocah berusia sepuluh tahun. Singkat cerita, dalam usaha memulihkan memori Ciel yang terhapus itu, ia jadi lemah dan sering menangis. Sementara sebagian besar penggemar Black Butler menganggap Ciel yang "baru" itu "lucu dan imut", Ajay justru menganggapnya menjijikkan.

Perlu dicatat, Ajay adalah seorang yang sangat skeptis, sinis, dan realistis menjurus ke pesimis. Aku nggak pernah berhasil jadi orang yang sinis, jadi kurasa aku agak mengaguminya untuk itu. Dan oleh karena kesinisannya, wajar Ajay bukannya bersimpati pada Ciel malah jijik. Well, Ciel memang selama ini terkenal karena arogansi, sinisme, dan sifat pesimistisnya. Belum lagi dia punya butler yang sebenarnya jelmaan iblis. Klop lah semua itu sebagai kebalikan dari bocah muda tak berdaya yang cuma bisa menangis kalau ada orang yang lebih besar darinya menghampiri.

"Dan aku tuh nggak ngerti, kenapa anak cengeng kayak gitu bisa orang anggap lucu," curhat Ajay berapi-api. "Kayak, selama ini Ciel tuh keren banget kaan, dan tiba-tiba jadi lemah kayak gitu. Di mana lucunya, coba?"

"Karena," kataku, jelas-jelas berusaha membuat diri sendiri terdengar bijaksana, "manusia itu memang udah kodratnya butuh untuk merasa lebih."

Dan itu benar. Manusia butuh untuk merasa lebih. Lebih hebat, lebih kuat, lebih menawan, lebih berpengaruh, dan lain-lain. Dalam kasus Ciel yang biasanya memosisikan dirinya di atas orang lain, sungguh suatu kepuasan tersendiri melihatnya tergelincir jatuh ke titik rendah karena suatu memori yang ia kubur dalam-dalam. Adalah satu kenikmatan untuk mengetahui bahwa ia -- meskipun fiktif, seorang earl muda, dan super sinis -- ternyata seorang manusia juga.

Menurutku pribadi, karakter Ciel itu super menyebalkan. Yeah, oke, aku nggak ngikutin manganya, tapi serius deh, dia itu nyebelin banget. Satu-satunya yang membuatnya adorable adalah karena sang mangaka menggambarkannya dalam figur moe super kawaii. Dan kalau kamu nggak ngerti istilah ini, yah... kamu payah.

Tapi yang lebih menyebalkan adalah orang-orang yang menganggapnya imut sewaktu berada di titik terendah hidupnya. Yah, pengalamannya sewaktu menjadi budak belian itu memang mengharukan dan aku menangis mendengarnya *sarcasm tone*, dan dimaklumi kalau Ciel jadi semacam trauma, tapi, hei, itu nggak seharusnya membuatnya jadi imut. Dan mungkin memang bukan hal itu yang membuatnya jadi imut, tapi kepuasan orang-orang untuk melihat bahwa Ciel kini levelnya berada di bawah mereka.

Kalau kalian nggak mengerti teoriku, sini deh kujelasin.

Seperti yang tadi udah kubilang, manusia butuh untuk merasa lebih. Manusia merasa butuh untuk diperhatikan, karena saat mereka diperhatikan, itu berarti orang yang memerhatikan -- katakanlah derajatnya -- berada di bawah si yang diperhatikan. Derajat yang kumaksud di sini nggak ada hubungannya dengan level ekonomi, sosial, ataupun hal lain. Tapi, ugh, gimana ya menjelaskannya. Ya pokoknya begitulah.

Ketika hal-hal kecil seperti anak kucing, anak anjing, dan hewan-hewan mungil lucu lainnya, kebanyakan orang (kecuali Ajay) akan spontan berteriak, "Imuuuutt!". Dan terlepas kalian menyadarinya atau tidak, itu dikarenakan hewan-hewan itu tidak berdaya dibandingkan orang-orang yang menganggapnya imut, therefore menjadikan derajat mereka lebih rendah.

Kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau pada hewan-hewan itu dan mereka nggak akan sanggup membalasmu dengan setimpal. Kamu bisa memukulnya, membantingnya, menendangnya, bahkan melindasnya, tapi mereka nggak berdaya. Mereka nggak bisa melakukan apapun untuk menghentikan itu. Mereka nggak bisa membela diri mereka sendiri. Mereka bukan tandinganmu, dan oleh karena itu, mereka lucu.

Udah mulai dapet gambarannya sekarang?

Jangan khawatir, kalian yang mengerti menurutku memang hebat, terutama karena pola pikirku yang cenderung berbelit-belit, tapi kalian yang tidak atau belum mengerti bukan berarti bodoh. Sebenarnya sih, menurutku kalian bodoh, tapi setelah secangkir teh yang nikmat, aku telah mendapatkan kembali energi untuk bersikap manis.

Sekarang, coba kita aplikasikan terhadap manusia. Mungkin kasusnya bukan "lucu" lagi sekarang, tapi masih berhubungan dengan kebutuhan manusia untuk merasa lebih.

Kamu payah dalam matematika.

Itu bukan pernyataan, tapi itu perintah untuk membayangkan dirimu sebagai orang yang payah dalam matematika -- meski kita semua tau kamu memang payah. Well, jadi, kamu payah dalam matematika tapi kamu butuh nilai bagus supaya bisa lulus. Apa yang kamu lakukan? Kamu akan meminta temanmu yang jenius dalam matematika untuk mengajarimu. Semacam tutor sebaya gitu deh. Temanmu, seperti yang sudah sepantasnya orang normal manapun rasakan, merasa bangga karena ada yang mengakui kejeniusannya dalam matematika (sebenarnya satu sekolah pun udah mengakui hal itu, tapi kan nggak pernah ada yang cukup). Pada saat itu, derajatmu (dalam bidang matematika) lebih rendah dari tutor sebayamu.

Malang bagi temanmu, kamu ternyata cepat belajar. Satu-satunya alasan mengapa kamu selama ini masih juga bego dalam bidang matematika adalah karena kamu belum nemu gaya belajar yang pas. Tapi gaya mengajar temanmu ternyata cocok denganmu, jadi kamu cepet mudeng. Meski awalnya hubungan kalian cuma guru-dan-murid, karena kamu sering memujinya tanpa sadar dengan meminta diajarkan matematika, kalian jadi teman. Hingga suatu saat, nilaimu mengalahkan nilainya. Derajatmu nggak lagi berada di bawah teman-mantan-tutormu, tapi kalian kini berada di level yang sama. Kemampuannya nggak lagi kamu puji, karena kamu udah nggak butuh.

Lihat, mungkin kamu ingin tetap berteman dengannya. Mungkin kamu cukup naif untuk berpikir bahwa setelah kamu menginjak-injak harga dirinya dengan mengalahkannya di cerdas cermat, nggak akan ada yang berubah. Mungkin kamu cukup tolol untuk berpikir bahwa dia akan tertawa, berkata bahwa dia nggak apa-apa kamu kalahkan, dan bahwa dia senang kamu menang. But he's not. Oke, atau, she's not.

Kamu nggak lagi menarik baginya karena derajatmu nggak lagi di bawahnya. Kamu nggak lagi lucu baginya karena kamu udah berdaya. Dia nggak bisa lagi ngeledek kamu karena kamu gagal mengerjakan tes matematika. Those days have passed. Sekarang kamu bisa mengimbangi kemampuannya, bahkan lebih. Mungkin dia memang nggak akan sepicik itu untuk terus berkubang dalam rasa mengasihani diri sendiri. Mungkin dia akan bangkit untuk mengejar kemampuanmu, tapi dia bukan lagi temanmu. Dan semua itu, karena kamu nggak lagi lebih payah daripada dia.

Dan itulah yang terjadi di seluruh dunia.

Mungkin kamu akan membantah, nggak kok, temanku nggak gitu. They're happy for me. Atau, kalau kamu ada di posisi si tutor matematika, bantahanmu adalah, aku nggak gitu, aku seneng kok temenku ngalahin aku, karena itu artinya kemampuannya udah meningkat.

Nggak masalah.

Mungkin memang ada orang-orang seperti itu. Mungkin memang ada orang-orang yang mau menerima kekalahan dengan lapang dada, bahkan senang saat dikalahkan. Tapi aku belum pernah benar-benar melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku belum pernah mengalaminya sendiri. Yang kualami adalah, aku mengajarkan temanku bahasa Inggris, dan kemampuannya melampaui aku.

Apakah kami masih berteman? Masih. Tapi dia nggak lagi sama di mataku. Dia bukan lagi temanku yang menghibur karena bahasa Inggrisnya berantakan. Dia udah nggak lucu lagi. Bahasa Inggrisnya udah rapi, grammarnya apik. Dia masih temanku, tapi di saat yang sama dia juga rivalku.

Dan rival selalu bersebrangan.

Menjijikkan, tapi memang begitulah adanya. Manusia butuh untuk merasa lebih. Lebih kuat, lebih berkuasa, lebih pintar, lebih menawan, dan lain-lain. Dan nggak peduli seberapa kuat kamu berusaha menekan rasa itu, rasa itu selalu ada. Di kedalaman hatimu yang paling dalam, yang nggak pernah berani kamu kunjungi karena kamu takut monster-monster itu akan keluar dan melahapmu habis.

Kedalaman hati yang, bagi sebagian besar orang menjijikkan, tapi bagi kami yang memiliki jiwa tersesat dan kafir, adalah taman kota yang menyenangkan.

"Kau lihat, Sebastian? Seperti inilah wujud manusia yang sebenarnya; busuk."