Post kali ini terkait pada masalah Ujian Nasional. Mengingat segala perkara, maka aku gak akan menentang kalau UN tahun ini disebut sebagai UGN alias Ujian Gagal Nasional. Kualitas LJUN yang jelek, soal yang tertunda, soal yang salah kirim, pemfotokopian soal dan LJUN, dan lain-lain. Belum lagi MenDikBud yang tampak seolah menganggap bahwa perkara ini bukanlah hal besar. Uhh, hellooooo, maaf ya pak, tapi mengingat sistem pendidikan di Indonesia, mungkin ini bukan masalah besar buatMU tapi ini masalah besar buat KAMI. Para pelajar. Kalau kakak-kakak kelas kami, siswa-siswi kelas XII SMA/SMK saja mengalami perkara seperti itu, apa yang menjamin bahwa kami, siswa-siswi kelas IX SMP dan adik-adik kelas kami, siswa-siswi tingkat VI SD tidak akan mengalami hal yang sama? Tidak? Nah.
Saya jauuuuuuuuuuuuuuuhhh lebih mendukung UN dihapuskan. Lalu bagaimana siswa-siswi SD dan SMP melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi? Well, berlakukan saja sistem yang sama seperti siswa-siswi SMA/SMK mau melanjutkan ke PT: testing. Jalur masuk tes sebenarnya memang sudah ada, tapi hanya khusus untuk sekolah dan kelas RSBI/SBI, sementara program reguler tetap menggunakan NEM. Setelah status RSBI/SBI dihapuskan, maka jalur tes juga dihapuskan. Tetapi bukankah akan lebih baik jika menggunakan jalur tes? Dengan NEM, saat kami hendak memasuki SMP/SMA/SMK yang kami inginkan, kami tergantung pada jawaban A, B, C, atau D. Oke, baiklah, jalur tes juga sama saja. Tapi bandingkan begini: seorang siswa SMP ingin masuk ke SMAN favorit di kotanya, tetapi nilai NEMnya tidak mencukupi. Terpaksa ia memilih sekolah lain.
Masih belum mengerti?
Dengan sistem NEM, kami para pelajar benar-benar tergantung pada hasil akhir ujian kami nanti. Bisa dibilang, kami tidak bebas memilih sekolah mana yang ingin kami tuju. Sementara dengan sistem testing, kami bisa memilih sekolah mana pun yang ingin kami tuju. Sistem testing mempersilakan hingga pelajar pelanggan ranking kesatu dari bawah sekalipun untuk mencoba; pintunya terbuka lebar. Tetapi lain halnya dengan NEM, di mana kami "dipaksa" untuk memilih sesuai angka yang tertera pada kertas yang kami terima, sekitar satu-satu setengah bulan setelah kami melaksanakan Ujian Nasional.
Saya memang bukan orang pendidikan, saya hanyalah seorang siswi kelas IX SMP biasa, tapi itu menjadi kelebihan bagi saya. Okelah orang-orang kementrian rata-rata telah merasakan UN atau yang dulu lebih dikenal sebagai EBTANAS. Mereka telah melalui apa yang sedang kami lalui. Tapi itu nggak menjamin mereka juga lebih tahu, kan? Coba pak MenDikBud sebagai contoh. Sekali waktu saya mendengar ada yang mengomentarinya tampak tak berpendidikan. Saya setuju. Ternyata setua apapun Anda tidak menjamin pendidikan Anda. Dia (MenDikBud) jelas tidak memahami posisi dan perasaan para pelajar Indonesia. Tidakkah ia mengerti bahwa kami merasa tertekan? Bahwa setelah sekian perkara yang terjadi terkait Ujian Gagal Nasional tahun ini, para pelajar SMA setidaknya berharap bahwa ia akan menanggapinya dengan serius? Tapi apa yang mereka--kami--dapat? Emosi.
Sekali lagi, saya sebagai seorang pelajar yang akan menghadapi Ujian Semoga Tidak Gagal Nasional tingkat SMP dalam 10,5 jam lagi berharap bahwa UN benar-benar akan dihapuskan. Ujian Nasional tidak lantas menjadi acuan dan patokan potensi anak, malah bisa menjadi sebuah penghambat kreativitas. Mengapa kami harus dibatasi oleh jawaban A, B, C, atau D setelah segala pengorbanan kami selama tiga, bahkan enam tahun? Baiklah kalau ilmu ekstakta memang tak bisa diganggu gugat. Tapi ilmu bahasa, yang notabene selalu berubah tiap masanya? Bagaimana jika kami memiliki pendapat lain? Indonesia itu bangsa yang mengutamakan hasil alih-alih usaha, padahal yang penting itu usaha, bukannya hasil. Hasil bagus memang membanggakan, tapi kalau usahanya jelek gimana? Orang dewasa mengeluhkan pelajar yang sering mencontek, tapi kalau pelajar tersebut mengerahkan kemampuannya dengan jujur dan mendapat nilai jelek, diomeli lagi. Kami para pelajar berada di posisi terjepit. Padahal kalau dipikir, jika seseorang memang berusaha dengan kemampuannya pribadi dengan jujur, jikalau hasilnya jelek ia akan terus berusaha memperbaiki diri. Sementara kalau ia mendapat hasil bagus dengan mencontek, ia tak merasa perlu memperbaiki diri. Apa yang perlu diperbaiki? Ketika mencontek, kita mengandalkan kemampuan orang lain. Artinya kita buta pada kemampuan diri sendiri. Kalau kemampuan sendiri tidak diketahui, bagaimana mau memolesnya?
Nah, sistem NEM adalah sistem yang mengutamakan hasil. Mau diberi paket sebanyak apapun kalau memang kami mengejar hasil kami pasti akan mencari cara untuk mencontek. Mencontek tidak hanya sekadar mendapat kunci jawaban lho. Dengan mencatat rumus secara diam-diam untuk nanti digunakan juga sudah termasuk mencontek. Sementara sistem testing mengutamakan usaha. Selain itu, karena sistem testing soalnya dibuat oleh sekolah masing-masing dapat meminimalisir tersebarnya kunci jawaban ataupun bocoran lainnya. Bagaimana dengan mencontek rumus? Yah, kalau memang anak itu berniat masuk ke sekolah itu, ia akan belajar, kan? Karena di testing yang utama itu usaha, bukan hasil.
Pilih bibit bangsa yang jujur dan terus berusaha memperbaiki diri atau bibit bangsa yang licik dan buta pada potensi diri?
Tulisan yang dahsyat. Ibu suku 'style'-mu Nak. Keep on moving...!!
ReplyDeleteTerima kasih Bu :D Ibu mendukung UN dihapuskan?
Deleteandi say : hm...gw suka gaya loe nulis
ReplyDeleteHehehe, thanks. Gue juga suka komentar lo :D
Delete