Aku bukannya bilang bahwa aku nggak kesepian. Masalahnya aku belum menemukan orang yang bisa benar-benar klop denganku. Tahu kan, bisa jadi partner in crime atau berani mengatakan apa yang dia pikirkan bahkan meskipun itu bisa memicu pertengkaran atau orang yang bisa... yah... bertahan denganku.
Aku bukannya nggak mencoba, kau tahu. Aku sudah mencoba. Tapi entah aku selalu berakhir mengejar-ngejar dia seperti anak anjing yang menyedihkan atau aku justru tidak bertahan dengannya karena dia a) menyebalkan b) terus menempeliku ke manapun aku pergi c) aku tidak bisa menanganinya. Yang manapun... tetap saja menyebalkan.
Aku menginginkan teman. Dan mungkin bukan sekadar teman, tapi seorang sahabat. Sahabat yang akan selalu berdiri di sampingku dan mendukungku. Aku bukan tipe orang yang mudah berkata, "Oh, dia sahabatku. Dan dia. Dan dia. Dan dia. Dan dia." Sahabat seharusnya orang yang istimewa. Apa bedanya sahabat dengan teman jika kau memiliki banyak 'sahabat'?
Dan saat aku nyaris mendapatkannya... selalu ada orang lain. Egoku tidak membiarkanku menjadi nomor dua. Aku benci sekali saat aku menganggap seseorang penting dan bagi mereka aku bukanlah siapa-siapa. Kau tahu permainan ironi dalam hidup? Karena aku mulai berlaku seperti itu. Aku menganggap orang yang menjadikanku segalanya hanyalah satu dari banyak 'teman'ku. Tidak pernah ada yang memberitahuku bahwa mematahakan hati orang bisa semenyenangkan ini.
Mungkin hal itu menyenangkan karena didasari dendam. Didasari amarah dan kekecewaan. Begitu mengerikan sampai-sampai seolah aku melupakan kemanusiaanku. Tak terhitung berapa kali aku menyediakan diri untuk menjadi tumpuan, menjadi sandaran, menjadi telinga yang setia mendengarkan, dan mereka menepisku begitu mudahnya seolah aku hanya serangga kecil yang mengganggu. Aku mulai kehilangan keyakinanku.
Aku mulai kehilangan keyakinanku atas teman, sahabat, bahkan mungkin keluarga.
Aku mulai berpikir bahwa aku sendiri, dan akan selamanya begitu.
Aku mulai berpikir bahwa... aku memang tidak berharga.
Aku ingin, ingin sekali, tenggelam dalam kubangan ratapan itu. Merasa diri sampah yang layak diinjak-injak, mengasihani diri sendiri seumur hidupku. Tapi entah sayangnya atau untungnya, aku memiliki terlalu banyak ego dan harga diri yang terlalu tinggi. Aku menolak dan aku mulai bangkit. Aku tak peduli jika aku tak memiliki sahabat atau teman. Kuncinya bukan lagi bagaimana menjadikan seseorang teman dekatmu melainkan bagaimana membuat orang-orang tahan bersamamu. Aku manusia. Aku makhluk sosial. Aku tidak bisa - tidak boleh - membuat orang-orang menjauhiku. Aku harus menjaga kontak dan hubungan. Tapi pada akhirnya, mereka hanyalah tisu yang bisa kubuang seusai aku membersit hidung.
Bukankah begitu mereka memperlakukan aku dulu?
No comments:
Post a Comment