Tuesday, 21 May 2013

Hex Hall Series Review

Sekarang setelah aku selesai membaca seluruh serinya, bisakah kita memulai review untuk ketiga bukunya?

Pertama-tama, Rachel Hawkins benar-benar mendapatkan esensi dari tiap karakter. Mereka begitu hidup, dan setiap latar yang dijabarkan begitu nyata sampai-sampai rasanya sedetik kau menunduk membaca kata-kata yang tertera lalu saat kau mendongak kau bisa melihat mereka, di sekelilingmu, melakukan... yah apalah yang mungkin mereka lakukan. Kau dibawa masuk ke dalam cerita dan tidak dengan cara yang murahan. Dengan cara berkelas. Dan dengan berkelas, maksudku adalah tanpa kau sadari. Author lain banyak yang bisa membawa pembacanya ke dalam cerita, tapi sekadar membawa. Terkadang dengan cara yang sulit, yaitu memberi terlalu banyak detil sehingga pembaca merasa terpaksa masuk ke dalamnya. Mau nggak mau aku membandingkannya dengan karya Cassandra Clare. Baiklah, aku mengaguminya. Membuat sebuah novel dengan sekitar 500-700 halaman tidaklah mudah, tapi tulisan Clare tidak begitu meninggalkan bekas kecuali fakta bahwa tema yang ia angkat cukup segar. Baru. Belum begitu pasaran. Baiklah, sudah banyak kisah tentang penyihir, shape-shifter, dan lain-lain, tapi Rachel Hawkins, seperti yang kubilang, benar-benar membawanya keluar dari buku. Kurasa kau harus menjadi seorang pembaca yang telah membaca, yah, sedikitnya lima puluh hingga seratus novel untuk bisa mengerti dan membandingkan. Bukannya aku bermaksud sombong. Oh, terserahlah, aku memang bermaksud sombong.

Kedua, seperti yang sudah kubilang, karakter dan kisah Rachel Hawkins membekas. Karakter-karakternya tidak dangkal (sekali lagi, aku tidak bisa tidak membandingkannya dengan Cassandra Clare). Mereka terasa begitu nyata dan hidup sampai-sampai aku bisa terbawa masuk dalam pemikiran Sophie si tokoh utama tanpa aku melepaskan pikiranku sendiri. Aku merasakan jengkel pada Archer, terpukau pada Jenna, dan mengagumi Cal serta James Atherton. Begitulah. Rachel Hawkins terasa seperti Sophie yang telah berpetualang dan menuangkan ceritanya ke dalam buku (tahu kan, seperti Laura Ingals Wilder dalam Little House in the Prairie). Dan itu adalah keunggulan buku ini. Dan maksudku adalah segala hal dalam buku itu.

Bahasanya ringan, mudah dicerna, tapi mengena. Aku bisa dibilang mengidolakan Sophia Alice Mercer-Atherton-Brannick sekarang. Aku ingin memiliki kesinisan dan kejenakaannya, karena jujur saja, sinisnya Sophie itu bukan sinis yang nyinyir. Yah, well, bukan sinisku. Pokoknya Sophie itu hebat. Seandainya dia ada berada di dekatku mungkin dia harus menggunakan sihir demon-nya untuk membuatku tetap berada dalam jarak aman sekitar tiga meter darinya karena kalau tidak aku akan menjulurkan lidah, meneteskan air liur, bahkan mungkin mengejar ekor.

Oh, baiklah, aku suka anjing tapi bukan berarti aku mau menjadi anjing. Jadi terima kasih Sophie.

Buku-buku ini bisa selesai dalam satu hari, seandainya saja aku tidak begitu takut untuk bertemu dengan ending dari Spell Bound. Bukan, bukan karena aku tahu bahwa tokoh yang paling kucintai akan mati. Um, mungkin sebagian besar karena itu. Tapi karena Hex Hall terlalu keren untuk dilepaskan. Aku tidak pernah membenci berpisah dengan sebuah buku - seri - sebesar ini. Aku benar-benar tidak rela.

Aku mencintai Hex Hall. Dan Sophie. Dan Cal. Dan Jenna. Dan sir James. Dan Elodie. Dan mungkin Archer, meski aku benci mengakuinya. Yah, kebenaran memang terkadang menyebalkan. *rolls eyes*

[Baca review Spell Bound-ku di sini!]

No comments:

Post a Comment