Sunday 29 April 2012

Ngobrol Dengan Orang Gila.... Ternyata Nyambung Juga!

Kupikir, merasakan perasaan bimbang ataupun galau adalah hal yang manusiawi...

 *

HARI ini aku super galau. Entah kenapa. Yang pasti, rasa gagal memenuhi kuota tulisan yang sudah kutargetkan semalam karena ketiduran dan merasa dicuekin sama seseorang itu berperan besar. Tambahan, sebagai cewek remaja, kemungkinan hormon PMS-ku juga turut serta dalam membuat perasaanku berkecamuk. Aku, jujur saja, bahkan menangis karena buntu ketika menulis. Aku! Seorang Dilla Nanditya! MENANGIS!? Yah, bukan hal baru juga, sih.

Dan, meskipun beberapa hari ke belakang ini aku sudah sering bepergian dengan ibuku (mulai dari diajak, minja diajak, sampai ngancem supaya diajak), tapi entah kenapa aku merasa... terperangkap. Pengap. Terkungkung. Serasa seperti gelas yang kepenuhan. Gunung berapi yang menggelegak. Aku butuh menyalurkan semua emosi ini. Masalahnya, ke mana? Berusaha menuangkannya pada tulisan, sulit. Aku seolah kehilangan kata-kata. Jadi aku memutuskan melakukannya melalui olahraga.

Aku memutuskan untuk berjalan-jalan. Dalam arti harafiah.

Sebelum pergi, aku pamit pada nenek, dan, seperti biasanya, nenek melarang serta mulai menceramahiku tentang "menjaga kewanitaan", "mendingan diam di rumah dan baca buku", serta "zaman ini sudah gilak". Perasaan yang selalu kurasakan ketika berbicara dengan nenek kembali timbul; desakan kuat antara ingin marah dan menangis berperang keluar, tapi berusaha kuredam. Berusaha berargumentasi tanpa terlalu keras, akhirnya aku menyerah dan langsung pada poin utama yang ingin kukatakan. "Nek, aku butuh uang. Nenek punya sepuluh ribu (rupiah)?"

Nenek masih ngedumel dan berbicara tentang bahayanya bepergian di zaman seperti ini dan aku cuma diam, menunggu. Akhirnya nenek memberiku uang sepuluh ribunya, selembar lima ribuan, selembar dua ribuan, dan tiga lembar seribuan. Kuambil uang itu dan berkata, "Makasih, nek."

Muka nenek masih bertekuk.

Aku mendesah dan masuk ke kamarku untuk membereskan tas, menyiapkan apa saja yang perlu kubawa. Selalu gini deh. Kalau aku mau pergi-pergi, nenek selalu argumennya begitu. Nenek mengajukan argumen soal perempuan yang, um..., diperkosa sampai lima dan delapan orang di angkot membuat beliau ngeri; aku gak berani bilang bahwa aku gak akan naik angkot tapi jalan kaki. Aaaaahh...... rumit.

Laptop [check]
Charger laptop [check]
Jaket ganti [check]
Payung [check]
Bekal minum [check]
Hand sanitizer [check]
Perlengkapan menulis (minus kertas) [check]
Sisir [check]
Cermin [check]
Eyeliner [check]
Maskara [check]
Lip balm [check]

Pembaca mungkin akan bingung kenapa aku sampai bawa eyeliner dan maskara segala. Lip balm, sisir dan cermin masih bisa dimengerti. Tapi eyeliner dan maskara? Well, sebenarnya seharusnya aku gak cuma bawa itu tapi perlengkapan make up yang lengkap dan juga baju ganti sih. Tapi kalau dipikir-pikir aku kan pergi untuk melepas stress, bukan untuk membuntuti orang. Jadi aku cuma bawa eyeliner dan maskara (untuk membuat perubahan minimal pada penampilan... siapa tahu aku dibuntuti orang). Huh. Jangan remehkan para gadis.

Kusandang Aleron, tas ransel hitamku, dan pergi ke depan. Aku memakai sepatu dan membuka pintu. Hup. Kulangkahkan kakiku ke luar dari ambang pintu. Bismilahi rahman nirrahim... Aku bergumam, "Assalamualaikum," sebelum menutup pintu dan menguncinya. Jgrek. Rapi. Aku keluar dari pekarangan rumah dan menutup pagar sampai rapat. Sip. Huplah. Aku mulai berjalan. Dan dimulailah perjalanan Dilla the Explorer!

*

Aku meninggalkan lapangan Gasibu dan menyusuri jalan Aria Jipang sampai Prabudimuntur (terima kasih peta), lalu berbelok ke jalan Ir. H. Juanda, menyeberangi jalan Diponegoro, melewati Dukomsel, sebuah hotel (aku gak ingat namanya), Pizza Hut, Disc Tara, Hanamasa, dan Superindo, menyeberangi jalan Terusan Sultan Tritayasa, kembali ke jalan Juanda (waktu nyeberang aku sempat belok sedikit, jadi katakanlah aku udah masuk ke jalan Tritayasa). Teruuuuuuuusss.................... Berjalaaaaaaaaaaann................ Dengan penuh semangaaaaaaatt.............. Hingga......

Tep.

Persis sebelum belokan ke jalan Sultan Agung (buat yang gak terlalu hafal, di situ ada semacam tempat hijau berbentuk segitiga dengan patung raksasa tiga pria pekerja), aku berpapasan dengan seorang pria yang berusia sekitar 25-30 tahunan, berpakaian dan bepenampilan dekil dan kotor. Satu kata dengan cepat melintas di benakku, "Orang gila."

Jalan aja Dill, jalan, kalem aja kalem. Jangan liat orangnya.

Tapi terlambat. Tanpa sengaja aku bertemu mata dengan orang gila itu, dan dia langsung mendekatiku.

Ya Allah, tolong jangan biarkan dia ngapa-ngapain aku ya Allah. Janji deh nanti aku bakal rajin shalat, infaq, shodaqoh, dan berusaha secepat mungkin khatam Al-Quran tapi tolong ya Allah, toloooooo--alamaaaaaaaaaaakk.................. dia dateeeeeeeeeeeenngg...........................!!!!

Jantungku berdebar keras, telapak tanganku berkeringat, lututku bergetar, mataku melebar dan mulutku berbusa (oke, ini tuh degdegan + takut apa kejang-kejang kesurupan?). Dan.... orang gila itu.... mengajakku berbicara.

"Teh," panggilnya dengan cara bicara seperti anak kecil di bawah usia sepuluh tahun, "Teteh liat ibu gak?"

"Hah?" aku cengok. "Ibu?"

"Iya, Teh. Mama."

"Uhh," dengan begonya aku nanya, "emang kenapa?"

"Dean tadi kepisah sama ibu," katanya, "tadi kan Teh Nita katanya nganter ibu ke WC."

Uh. Ada campuran antara rasa kasihan dan bingung. Kasihan, karena dia keliatan bener-bener kayak anak yang kepisah dari keluarganya. Dan bingung, karena cara ngomongnya agak mirip orang kumur-kumur, untung masih jelas kedengeran dia ngomong apa. "Eeehh.... Iya, tadi Teteh anterin, tapi habis itu Teteh kan mau pergi, jadi ibu nyuruh Teteh buat nyari kamu, supaya kamu aja yang ngedatengin ibu."

"Ibu di mana, Teh?"

Mampus gue. "Umm....."

"Di WC yang di situ bukan, Teh? "

"Di mana?"

"Teteh gimana, sih? Itu tadi yang deket tenda kupat tahu."

Nahlo. Anak--orang--ini ngira dia lagi di festival perayaan atau apa? Yah, ikuti permainannya ajalah. "Iya! Di situ! Kamu tau jalan ke sananya, kan?"

"Teteh mau ke mana?"

"Eeeeng, Teteh mau ketemu sama temen Teteh dulu. Dean sana ke ibu, jangan nakal ya." <--buset dah, apaan neh??

"Mau ketemu siapa, Teh?"

"Yaaah.... umm... pokoknya adalah, temen Teteh."

"A' Reza ya Teh? Teteh pacaran mulu, ih."

"Huss! Anak kecil udah sana aja ke ibu!"

"Ya udah, Dean pergi dulu ya Teh," dia menarik tanganku dan menciumnya--SERIUSAN DICIUM PAMIT LOH! ANJRIIIITT..... "Samlekum..."

Aku masih sempat bergumam, "Kumsalam," sambil melihat "Dean" pergi dan berbelok ke Sultan Agung. Terus tau-tau aku udah nyender ke pohon. Sumpah itu pertama kalinya aku ngobrol sama orang gila... atau mungkin dia cuma orang iseng? Entahlah. Aku ngeliatin tangan kananku. Agak kotor dan berdebu. No offense, tapi begitu semua kepingan kesadaran terkumpul, aku langsung nuangin hand sanitizer ke tangan dan berkata riang pada diri sendiri dalam hati, "Teh Nita, Teteh harus bersih, rapi, dan wangi yaaa... Kan mau kencan sama Aa Rezaaa....."

Mantep.

*

Aku masuk ke dalam BIP dan berjalan lurus menuju Times. Iseng aja sih, toh aku gak akan bisa beli buku apapun dari Times (di Times kan buku-bukunya impor, gila aja). Aku masuk ke lorong rak-rak buku anak-remaja. Ngiler ngeliat Dork Diaries #2: Party Time.

Kemudian aku mengganti jaket pink-ku dengan Tommy, jaket hitam-ungu yang kusimpan dalam tas. Lepas jaket, lipat, tahan di kaki, buka tas, ambil Tommy, pakai Tommy, masukin jaket pink, mas-mas penjaga lewat.

Hening.

Aku ngeliatin si mas-mas penjaga. Masnya ngeliatin aku. Kita saling tatap-tatapan, kemudian si masnya dengan dramatis bilang, "Sayang, itu kamu!?"

Dengan dramatis aku memeluknya, "Ayaaaaanngg........"

Dan dia bales meluk aku, "Belahan jiwaku telah kembali!"

YA, NGGAKLAH.

Dengan cepat aku meresleting Aleron dan menyandangnya di bahu, lalu bertingkah senormal mungkin. Yang, dalam kasus ini, artinya sama dengan: "Umm, bukunya bukan di sini, kalinya? Eh? Oh ya bener, di bagian sana."

Sangat mencurigakan itu mah.

Ukh. Buru-buru aku beranjak dari situ, dan sebelumnya aku sempat melirik si mas yang masuk ke lorong di mana aku keluar sebelumnya. Yeah. Cek aja buku-bukunya. Aku kan inosen banget.

Lanjut naik ke atas, aku liat-liat film yang ada di 21, tapi gak sampai masuk, karena aku males kalau tasku musti diobrak-abrik sama satpamnya. Mending kalau humoris dikit. Ini mah kagak. Jadi aku putar arah ke Heartwarmer, liat sekilas, keluar lagi. Terus turun satu lantai, masuk ke TGA setelah sebelumnya bilang sama penjaga tempat penitipan barang bahwa aku bawa laptop jadi jangan dititipin. Dipersilakan masuk. Nah, kalau di sini, baru.... aku masih gak minat nyuri buku #antiklimaks

Liat-liat sebentar doang, gak adalah sepuluh menitan di sana. Terus aku turun lagi, kali ini ke McD. Antri. Dilayani langsung oleh sang manajer. "Selamat siang, selamat datang. Mau pesan apa?"

"Es krim cone-nya," jawabku. "Um, bedanya yang reguler dengan 4 Oz apa?"

"Kalau yang 4 Oz lebih besar ukurannya, mbak."

"Oh, oke deh, mau pesen yang 4 Oz aja."

"Berapa?"

"Satu."

"Ada lagi yang mau dipesan?"

"Nggak. Itu aja cukup, makasih."

Manajernya ngeliatin aku sambil agak mengerutkan kening dan cemberut. Cuma sebentar, tapi ketangkap olehku. Ha! Gak rela dia! EGePe banget! Duit, duit gue! Lagian aku lagi berhemat. Huuuuuuhhh.............

Keluar dari BIP, aku melanjutkan perjalanan menelusuri jalan Merdeka, berhenti sebentar di depan Gereja Sidang Jemaat untuk mengistirahatkan kaki, menyeberang di depan BalKot alias Balai Kota, dan berbelok ke jalan Perintis Kemerdekaan. Keren nih. Aku bisa bikin buku panduan wisata. Random. Oke. Balik lagi. Dari Perintis Kemerdekaan, aku belok ke Wastukencana dan berjalan di trotoar yang berada di sisi kanan jalan. Di seberang sana, di sisi kiri jalan, ada beberapa orang anak yang kira-kira sebaya denganku, terdiri dari dua cewek dan tiga cowok, jalan bareng-bareng. Satu anak cowoknya ngeliat aku, dan dia mempercepat jalannya. Aku, merasa ditantang dan gak terima dikalahin gitu aja, nambah speed jalanku. Eh, dia juga nambah kecepatan. Akhirnya kami jadi kayak lomba jalan cepet gitu deh, meski lintasannya terpisah sekitar tiga meter jauhnya. Tapi kemudian aku berbelok di jalan Aceh, dan berakhirlah lomba kami. Aku, dengan senang hati beranggapan berdasarkan jarak terakhir kami, menjadi pemenangnya. Horee!

Aku menyeberang di jalan Aceh, melewati sekumpulan pengamen muda (yang usianya gak akan lebih dari enam belas tahun), dan salah satunya yang mungkin sepantaran denganku atau bahkan lebih muda dan sedang menghisap rokok, bergaya seolah bumi bergetar ketika aku berjalan. Aku ketawa. Dia nyengir. Aku berbelok ke jalan Merdeka. Yep. Intinya aku berjalan memutar.

Aku menelusuri jalan yang kulalui tadi (dari Merdeka ke Juanda), bedanya kali ini aku di sisi yang berlawanan (iyalah, kan aku mau naik). Gak ada yang spesial, kecuali satu kali saat aku bengong dan diklakson sama taksi dan dipelototin sama supir taksinya. Entah mengingatkan atau dia kesal aku menerobos jalurnya. Yaelah, jarak antara aku sama mobilnya masih ada setengah meteran lagi, lecet juga kagak. Tapi liat sisi positifnya. Pelototan si pak supir bikin aku sadar bahwa meski kaca taksi agak gelap, tapi masih bisa keliatan dari luar #eh

Aku menyeberang di depan Dago Plaza. Di sini ruteku agak berubah. Kalau tadi saat pergi aku melewati Prabudimuntur kemudian Juanda, kali ini dari Juanda aku berbelok di Dukomsel, ke jalan Diponegoro, melewati Gereja GKI Tamansari (lumayan banyak juga ya gereja di Bandung, saingan sama masjid, hahaha), dan terus mengikuti Diponegoro (artinya ketika di pertigaan, aku ngambil jalur kanan, karena kalau kiri itu udah masuk Aria Jipang), hingga berbelok ke jalan Gazeboo, dan berbelok ke Surapati. Sampailah aku di Lapangan Gasibu (nulis Gazeboo itu melelahkan) dan menemui ibuku yang sedang menghadiri acara Yamaha dengan Trans7 dalam launching motor matic baru Yamaha yaitu Mio J. Dengan sistem injeksi dan tampilan yang lebih menarik, Mio J adalah salah satu motor baru yang wajib dimiliki, atau setidaknya dikendarai. Tentu saja, karena Yamaha semakin di depan! <--Yamaha harus bayar aku sekurang-kurangnya Rp500.000,00 untuk mempromosikan produk baru mereka *evil grin*

Ibuku mengantarkan aku pulang, tapi sebelumnya kami--lebih tepatnya aku, karena ibuku udah makan di Gasibu--mampir ke Kantin Salman untuk makan. Aku ambil kue sus tiga, ibuku ambil bolu satu, kemudian aku ambil nasi satu setengah sendok, sayur capcay, dan.... uh... sayur dengan kwetiaw? Yah, pokoknya itulah. Dan satu sosis. Minumnya dua jus jambu. Buat aku dan ibuku ya, bukan buatku sendiri. Aku gak tau satuannya, yang pasti total jadi dua puluh ribu pas. Hore! ...Apa yang ku-Hore!-kan?

Dan dari sana, ibuku mengantarkan aku pulang dengan selamat sentosa gak kekurangan suatu apa, serta ceritanya pun berkahir bahagia... Eh, tunggu! Aku masih tetep gak bisa ngelanjutin novelku! Oke, kalau begitu, nilai kebahagiaannya dikurangi lima belas! Eh, nggak, dua puluh! Yah, begitulah. Life goes on.

*

Kupikir, merasakan perasaan bimbang ataupun galau adalah hal yang manusiawi... Dan itu berlaku pada setiap umat manusia, dari segala jenis usia. Yang membedakan tingkat rasa galau dan bimbang itu hanyalah bagaimana setiap individu menyikapinya...


-Bandung, 29 April 2012-