Sunday 23 December 2012

The Casual Vacancy review [FULL OF SPOILER] 18+

Judul buku: The Casual Vacancy
Pengarang: J.K. Rowling
Penerbit: Qanita (Indonesia)
Tempat/Tahun terbit: Inggris, 2012 (November 2012 - Indonesia)
Cetakan: I
Tebal buku: 593 halaman.

Bukan sebuah hal yang aneh jika Rowling akhirnya memutuskan untuk beralih menjadi penulis novel dewasa setelah kesukesannya dengan Harry Potter. Menurutku pribadi, akan sangat membosankan jika setelah sukses dengan satu serial, seorang penulis tetap bertahan pada genre yang sama. Dan, ya, aku mendukung keputusan Rowling untuk menulis cerita ini (meskipun aku baru tahu buku ini ada saat penerbit Qanita sedang dalam proses hendak merilisnya, sih).

The Casual Vacancy berbanding 180 derajat dengan Harry Potter. Tidak ada sapu terbang ataupun tanaman yang menjerit-jerit ataupun maniak pucat tanpa hidung yang terus menerus menghantui si Tokoh Utama. Bahkan, tidak ada tokoh utama dalam kisah ini. The Casual Vacancy menceritakan tentang sebuah kota kecil di Inggris yang bernama Pagford. Keseluruhan cerita bersetting di Pagford, meskipun sesekali kota lainnya, Yarvil, yang disebut-sebut sebagai saingan Pagford juga disebutkan. Belum lagi sengketa daerah bernama Fields yang berada di antara Pagford dan Yarvil. Orang-orang Pagford yang arogan tidak mau menanggung Fields dengan alasan sederhana: Fields itu perkampungan kumuhnya para gelandangan dan pecandu. Tapi, karena kisah berputar di sekitar Pagford, tak sekalipun pendapat penduduk Yarvil terkemukakan.

Kisah dimulai ketika sang tokoh utama sedang menjelang menit-menit terakhir kehidupannya. Barry Fairbrother tidak sekarat karena penyakit mematikan yang sangat mencurigakan. Barry hanya menderita sakit kepala hebat yang ia hiraukan karena sedang menyelesaikan artikelnya tentang salah seorang murid di sekolah St. Thomas yang sangat ia sukai, Krystal Weedon, yang, omong-omong, adalah seorang gadis bengal keras kepala yang tinggal di Fields bersama ibunya yang seorang pecandu dan pelacur serta adik laki-laki usia Taman Kanak-kanak yang pertumbuhan mentalnya agak terhambat. Ketika Barry akhirnya menyelesaikan artikelnya dan mengajak istrinya, Mary, pergi makan malam untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka, tiba-tiba saja Barry tumbang di depan restoran, meninggalkan istrinya bersama empat orang anak, serta sebuah jabatan kosong di Dewan yang akan segera diperebutkan oleh tiga orang pria, masing-masing memiliki ambisinya tersendiri.

Samantha dan Miles Mollison, yang menemani Mary di dalam ambulans menuju rumah sakit, adalah pasangan suami-istri dengan peran si istri sebagai "menantu yang dikacangin ibu mertua". Alasannya? Yang saya tangkap adalah karena Samantha menikahi putra kesayangan dari Sherly, serta Howard sebagai ayah mertuanya sangat genit pada Samantha. Howard lah yang menanam pemikiran untuk mengisi kursi kosong di Dewan pada Miles. Miles adalah tipe anak "one lovesick little puppy", selalu berusaha membahagiakan kedua orangtuanya meskipun itu berarti harus mencabut nyawanya sendiri. Well, untung saja Howard dan Sherly tidak segila itu--mungkin aku yang gila--tapi yang pasti, Samantha tidak menyukainya; baik ide tentang pengajuan Miles sebagai pengisi jabatan kosong atau perilaku Miles yang mengidolakan orangtuanya.
     Dalam lingkup kecil Mollison ini, ada juga Maureen yang sudah menjadi sahabat tulus Howard sejak lama dan sahabat karena terpaksa Sherly--Sherly menikah dengan Howard, kan.

Andrew Price/Arf bersahabat dengan Stuart Walls/Fats. Sukhvinder Jawanda bersahabat dengan Gaia Bawden. Andrew naksir Gaia dan Stuart mem-bully Sukhvinder. Tak ketinggalan, Krystal Weedon, si gadis Fields yang sering dipandang rendah orang lainnya. Kelima remaja ini kisahnya diceritakan berselang-seling, dan masing-masing memiliki masalahnya tersendiri.
     Ayah Andrew, Simon Price, adalah salah satu dari tiga pria yang mencalonkan diri untuk mengisi kursi kosong Dewan peninggalan Barry Fairbrother. Simon mengira bahwa Barry mendapatkan uang suap selama menjabat di Dewan, dan karenanya menginginkan hal yang sama (kayaknya sih gosip, tapi tau deh, Simon gak mau percaya padaku). Simon adalah orang yang short tempered dan ringan tangan dalam arti negatif. Ia sering menghajar kedua putranya, si Muka Piza (Andrew) dan juga adiknya, Paul atau yang sering ia ejek sebagai Pauline. Istri Simon, Ruth, adalah contoh payah seorang istri. Ia mendewakan suaminya, mengesampingkan segala keburukan Simon dan masih berpikir bahwa jika ia dapat berlaku memuaskan bagi Simon, maka Simon saat itu juga akan berubah jinak. Bah.
     Stuart yang juga akrab dipanggil Fats atau Stu bertingkah menyebalkan dengan lidah tajam yang sering ia asah dengan rokok sebagai amunisinya. Fats juga suka memisahkan hal-hal antara yang autentik dengan yang tidak autentik. Singkatnya, ia ingin bertindak sebagai seorang yang autentik, but actually he's just a pain in the ass. Entah kenapa, membaca kisah Fats membuatku sekilas melihat diriku sendiri, hanya saja ini versi cowok dengan tingkat kesinisan yang ekstrem. Lagipula kesamaannya hanya pada lidah tajam, sih. Ayah Fats, Collin Walls, juga mencalonkan diri menjadi pengisi kekosongan di Dewan. Fats suka mengolok-olok orang lain, dan ayahnya tak luput dari olok-oloknya. Collin menderita OCD (Obsessive-Compulsive Disorder), suatu penyakit kejiwaan yang, yah, rasanya sulit dijelaskan di sini. Fats juga suka mengolok-olok Sukhvinder, dari mengatainya lesbian sampat hermafrodit (karena Sukh memiliki kumis tipis, tapi apa salahnya sih? Mentang-mentang Sukh berkulit gelap, dasar rasis). Melihat ke balik semua itu, nyatanya Fats hanyalah seorang remaja yang haus akan perhatian. Begitulah.
     Sukhvinder, kutebak, adalah seorang gadis keturunan India, apalagi nama ibunya Parminder dan nama ayahnya Vikram, serta nama keluarga Jawanda. Selain itu, Parminder mengenakan Sari saat menghadiri upacara pemakaman Barry. Sukhvinder juga memiliki kesamaan denganku: kami sama-sama suka menyilet tangan kami. Tapi silet-menyilet bagiku hanya tinggal masa lalu, lagipula aku tak pernah melakukannya sesering dan sedalam Sukhvinder. Aku dulu melakukannya hanya ingin tahu seperti apa "rasanya", Sukhvinder melakukannya sebagai pelarian dari masalahnya (mengalihkan perhatian pikirannya pada luka-luka itu, ngerti kan). Sukhvinder mengalami penekanan dari Fats dan ibunya sendiri. Fats selalu mengejek penampilannya dan Parminder selalu membanding-bandingkan Sukhvinder dengan kedua saudaranya yang lebih berprestasi darinya. Sukhvinder selalu dianggap ibunya sebagai kegagalan. Temannya hanyalah tiga orang dari kelompok dayung yang Barry bentuk semasa hidupnya; kedua putri kembar Fairbrother dan Krystal Weedon. Saat Fairbrothers menutup diri semenjak kepergian ayah mereka dan Krystal sibuk mengurus urusannya, Sukhvinder akhirnya bergaul dengan Gaia.
     Gaia, menurutku pribadi, hanyalah remaja egois berparas cantik yang bisa kumengerti perasaannya. Ibu Gaia, Kay Bawden, pindah ke Pagford untuk mengejar kekasihnya yang ternyata tak benar-benar mencintainya. Ditambah lagi, pekerjaan Kay sebagai petugas sosial mengharuskannya sering pergi meninggalkan Gaia. Gaia terpaksa pindah (entah dari mana, Birmingham kalau tidak salah...), meninggalkan lingkungan dan teman-teman yang sudah akrab, terpaksa beradaptasi lagi dari awal; hanya untuk dicuekin ibunya yang sibuk ke sana-kemari dan harus berhadapan dengan pacar ibunya yang tidak ia sukai. Mungkin Gaia egois, karena begitu tidak ingin berbaur dengan Pagford (mengesampingkan persahabatannya dengan Sukhvinder karena mereka sama-sama dari golongan terkucilkan), tapi sebenarnya aku setuju dengan Gaia yang menyebut ibunya payah dan bodoh karena begitu dimabuk cinta sampai-sampai mau dengan nekatnya mempertaruhkan pekerjaan dan pindah, padahal belum tentu kekasihnya menginginkannya di sana. Sialnya, Kay itu wanita baik yang berdedikasi juga, jadi mari kita salahkan saja kekasihnya yang plin-plan itu, ya.
     Sementara Krystal... dia adalah siswi sekolah yang sering mendatangkan denyut menyakitkan di kepala para guru, bahkan guru BK-nya, Tessa Walls (ibu Fats) seringkali harus mengurut urat sabarnya saat berhadapan dengan Krystal. Apa yang kau harapkan? Krystal merokok, minum-minuman keras, dan kleptomaniak (kebiasaan mencuri barang-barang kecil yang disukai). Tapi Krystal, meskipun sangat keras, juga menyayangi adiknya, Robbie, dan mati-matian berusaha menjaga agar ibunya, Terri, tidak kembali terjerumus pada obat-obatan setelah dua kali keluar-masuk panti rehab. Ini ketiga kalinya Terri menjalani rehabilitasi, dan kalau ia gagal, maka Robbie akan diambil darinya oleh yayasan sosial. Jadi bisa dibilang sebenarnya ada modus yang menyangkut keegoisan Krystal sendiri dalam usahanya itu. Krystal sendiri menyukai Barry Fairbrother, meskipun penduduk Pagford menilainya keji ...perek, pelacur, murahan... Alasan Krystal menyukai Barry adalah karena Barry melihat apa yang orang lain tidak lihat dalam diri Krystal ...tukang bikin onar, pengganggu ketenangan... Sayang sekali Barry pergi sebelum bisa menunjukkian sisi itu pada orang lain.

Sejujurnya, The Casual Vacancy sama sekali tidak dianjurkan bagi orang-orang yang belum siap mental. Aku tidak menyebutkan angka, karena aku sendiri baru berumur 14 tahun. Alasannya sederhana, ada kekerasan yang mencakup pada mental serta seksual dalam cerita ini. Kakek Krystal dulu sering melecehkan Terri secara seksual. Obbo, pengedar yang sering memberikan narkotika pada Terri, sempat memerkosa Krystal. Collin yang menderita OCD sering membayangkan hal-hal yang menyangkut kekerasan dan BDSM, serta terpengaruh bayangan-bayangan itu dan bertanya-tanya apakah itu nyata atau hanya khayalan. Pertama kali menemukan bukti nyata bahwa TCV benar-benar bacaan untuk dewasa sempat membuatku syok, tapi aku meneruskan untuk membacanya sampai akhir karena terlalu penasaran pada akhirnya. Meskipun begitu, emosi-emosi yang tokoh-tokoh TCV rasakan tidaklah begitu asing bagiku untuk mengerti. Pun tindakan-tindakan mereka yang agaknya di luar akal sehat. Sengaja dalam review ini aku lebih menekankan para karakteristik remaja-remaja yang banyak diulas dalam TCV karena entah kenapa aku merasa pernah mengalami apa yang mereka rasakan. Dianiaya keluarga sendiri seperti Andrew, mencerca orang lain seperti Fats, dibanding-bandingkan dan diberi tekanan berat seperti Sukhvinder, dan merasa diabaikan, tak diperhatikan serta out of place seperti Gaia. Krystal? Banyak teman-temanku yang sepertinya. Mereka merokok dan ada yang sudah melakukan tindakan asusila. Entah kenapa, membaca kisah tentang Krystal membuatku lebih memahami dan memaklumi mereka. Itu aja sih.

Kalau kalian membiarkanku melantur lebih banyak lagi, ini gak akan jari review melainkan tempat aku curcol dan ngacapruk. The Casual Vacancy adalah semua karya yang brilian dan meskipun mengangkat topik yang agak berat (medis, politik, bullying, broken home, perselingkuhan dalam satu novel), otak saya yang ajaib bisa dengan mudah mengikuti kisah ini. Empat bintang dari lima bintang. Sama sekali tidak dianjurkan bagi mereka yang berusia di bawah 20 tahun, 18 tahun deh minimal. Salut untuk Rowling.

Friday 14 December 2012

Backpacking ke Malaysia, Butuh Passport + Visa?

Tadi aku ngecek statistik audience dan ternyata ada dua orang dari Malaysia yang singgah ke blog-ku. Uwuwuwuwu thank youuuuu.......... Selama ini belum pernah ada dari negara tetangga yang mampir, yang terdekat adalah dari Jepang dan aku yakin dia kesasar ke sini. Yaah, oke, orang-orang Malaysia ini juga mungkin kesasar sih, tapi yang pasti belum pernah ada yang main-main ke sini. Malaysia, Australia dan Singapore. Jadi semacam seneng gitu deh :D

BTW, lihat nama Malaysia, aku ingat cerita ibuku tempo hari. Jadi saat itu ibuku lagi ada di cabang Bank BJB di Simpang Dago. Nah, ada tiga anak cewek dari SMAN di Bandung (gak usah disebut nama sekolahnya ya :>) lagi di situ juga. Sebut aja cewek A, B, C (karena kebetulan emang gak tau namanya xD). Nah kira-kira gini percakapan mereka.

Cewek A: Eh, nanti mah ya, aku habis lulus SMA mau jadi backpacker lho!
Cewek B: Ai kamu, gak akan kuliah?
Cewek A: Nggak ah, da aku mah udah ada perjanjian sama ibu aku, nanti begitu lulus aku mau langsung backpacking ke Malaysia. Penginapannya di sana kan murah-murah, ada yang lima puluh ribu-seratus ribu
Cewek C: Gak takut sendirian?
Cewek A: Nggak! Tapi pasti rame kalau sama kalian. Ikut yuk?
Bapak-bapak yang Baca Koran: Passport-nya gimana, Neng?*
Cewek A: *mengabaikan bapak itu dan bicara pada teman-temannya seolah menjawab bapak tadi* Iiih, nggak ai kamu, kalau ke Malaysia mah deket jadi gak usah pake passport!
Cewek C: Oh yaudah kalau gitu mah mending ke New York atau Paris aja, kan di sana si "eta" sama si "eta" lahir (wah, yakin mbak? Ada tampang bulenya gak tuh?)
Cewek B: *beranjak mendekati teller bank* Mbak, kok saya gak dipanggil-panggil?
Teller Bank: Tunggu sebentar lagi ya mbak.
Cewek B: *balik lagi* Huh, emang ini mah bank kecil jadi pelayanannya lama (yaeyalah mbaaaaak lha wong teller cuma ada satu yang ngantri banyak, mana ada yang lagi ngurus pajak, lagi! Jelas aja lama)
Cewek A: Ya pokoknya mah aku sama ibu aku udah bikin perjanjian, nanti bakal disiapin uang Rp7.000.000,00 buat aku backpacking (hello? Rp7.000.000,00 doang? Tau Rupiah Indonesia teh nilainya di mata dunia kecil, udah gitu masih modal minta ke ortu sok-sokan mau backpacking. Duuuuh mbak ini kok kayaknya menggampangkan banget ya?)
*Akhirnya si Cewek B dipanggil dan meninggalkan bank. Ada satu hal yang bikin ngakak, udahlah mereka tuh ngomongnya sotoy banget, ngejelek-jelekin bank, duit yang diambil cuma Rp50.000,00 pula! Haiyaaaaah kenapa gak ke ATM aja sih? Kan gak terlalu malu-maluin tuh kalau ngomong gituan. Ngakak!*

*Untuk kalian yang kiranya gak tau, ada perjanjian antara negara ASEAN yaitu kalau satu negara ASEAN mau berkunjung ke negara ASEAN yang lain, tidak membutuhkan Visa, tapi passport tetap dibutuhkan

Sebuah Kecelakaan di Jumat Pagi

Maling zaman sekarang itu udah makin pinter, mereka udah ngerti taktik "pengalihan perhatian".

 Hari Jumat pukul tujuh pagi. Aku masih tertidur dengan pulasnya, bermimpi tentang suatu hal yang nampak berwarna agak kabur saat tiba-tiba saja...

KROMPYAAANG...!

...Terdengar suara sesuatu yang pecah. Awalnya, kupikir, ah, mimpi... tidur lagi deh... ketika aku sadar bahwa a) itu bukan mimpi dan b) nenekku jatuh, kah!?
Aku langsung berpikir bahwa nenekku sedang mengatur piring dan sebagainya kemudian terpeleset dan jatuh. Jadi aku lempar selimut dan berlari keluar kamar, bersamaan dengan suara ibuku yang juga keluar dari kamarnya sendiri. Sementara aku clingukan di dalam setengah mengantuk--aku tidur jam sepuluh dan terbangun jam setengah tiga dan baru bisa tidur lagi jam empat, oke?--ibuku keluar dan melihat sebuah motor matic lari dan dikejar oleh dua motor matic lainnya. Ibuku kira, itu tabrak lari antara motor dengan gerobak penjual apalah--nasi goreng, ketoprak... pokoknya yang suka keluar pagi-pagi.

Tapi gak ada gerobak di mana pun. Seorang dari Taman Budaya (yang letaknya persis di depan rumah) bertanya, "Ibu gak apa-apa?"

Ibuku--dengan polos dan, ugh, bodohnya; tapi karena ibuku sendiri belum ngeh dan baru tidur jam lima dimaafkan deh--malah berjalan keluar ke teras, "Saya gak apa-apa. Itu tadi apa ya, Pak?"

Aku, sebagai anak yang baru ngeh bahwa kaca jendela pecah--itu tuh sumber suaranya--dan ibuku dengan unyunya bertelanjang kaki di antara serpihan beling langsung bilang, "Ibu! Awas itu kaki!"

Dan barulah ibuku ngeh bahwa yang pecah adalah kaca jendela rumah. Awalnya kami kira dilempar oleh sesuatu. Ternyata itu dicungkil. Dicongkel. Dibuka paksa. Apapun itu namanya. Menggunakan linggis, yang paling mungkin. Karena gak mungkin pake manggis. Oke aku melantur.

Makin banyak orang di depan rumah yang datang, mula-mula tiga orang dari TaBud, kemudian dua orang supir ojek yang berpapasan dengan tiga motor matic--tiga, jadi mereka berkomplot, cuh--yang beberapa saat sebelumnya, saat orang-orang rumah masih pada tidur dengan nyenyaknya, sempat berhenti di depan rumah. Dan tahu tidak? Lampu-lampu sudah dimatikan oleh nenekku, begitu pula gorden yang cuma dibuka setengah, itu gaya nenekku banget. Tapi sementara aku dan ibuku langsung keluar, nenekku dan kakakku masih di kamarnya masing-masing. So ignorant uye.

Akhirnya, setelah memastikan tidak ada yang hilang (lagian jendela depan kan ada selotnya, makanya begitu dipaksa dibuka kacanya pecah. Tapi selain itu, ada teralisnya juga, gimana mau masuk coba?) akhirnya kerumunan kecil itu bubar. Ibuku masuk ke kamarnya, mau meminum obat, dan barulah, "Dek, tasku mana?"

"Hah?"

Aku dan ibuku mencari-cari tas hitam polos itu. Gak ketemu. Sekarang, pertanyaannya, gimana mereka bisa masuk ke kamar ibuku kalau dari depan saja sudah gagal?

Pertanyaan itu terjawab saat ibu mendorong jendela kamarnya untuk memastikan bahwa jendela itu juga tidak pecah. Nggak, nggak pecah kok. Mulus malah. Tapi karena jendela kamar ibuku tidak berselot, tidak berteralis, hanya dilindungi gembok kecil mungil yang bahkan olehku saja bisa dengan mudah dibongkar, jendela kamar ibuku sudah bobol. Terbuka. Dan, meskipun terhalangi oleh boks-boks yang ditumpuk di sudut kamar hingga tidak memungkinkan apapun selain kucing masuk, celah antara kusen dengan boks itu cukup untuk sebuah tangan menjangkau masuk ke dalam dan mengambil tas yang selalu ibuku taruh di bawah jendela. Ceroboh? Mungkin. Tapi jendela kamar itu tidak pernah dibobol sebelumnya, dan sampai tadi pagi rasanya aman-aman saja. Sekarang sih rasanya sudah tidak aman.

Adakah laptop di dalam tas itu? Tidak. Yang ada apa? Passport dengan visa yang sedang mati-matian diurus untuk ayah tiriku pergi ke Amerika tanggal dua Januari nanti dalam rangka bekerja--catat, dua Januari dan sekarang passport-nya hilang--obat-obat ibuku, kotak P3K, kunci motor, kartu ATM, dan hal-hal remeh yang sebenarnya kegunaannya bisa besar seperti tisu basah dan senter. Dan jangan lupakan dompet uang recehan ibuku yang kalau dihitung-hitung mungkin isinya bisa sampai belasan ribu atau bahkan dua puluh ribu lebih. Mungkin bukan jumlah yang cukup besar, tapi kan cukup tuh buat satu porsi nasi Padang. Atau untuk isi bensin motor.

Ibuku menyuruhku berkeliling komplek, berharap mungkin setelah melihat bahwa tidak ada benda berharganya (ini harapan, oke? Dan apa gunanya passport ayah tiriku bagi mereka? Dan apa gunanya Amlodipine--atau entah bagaimana mengejanya--untuk mereka, kecuali ada di antara mereka yang berdarah tinggi juga?) mereka akan membuang tas itu. Aku pergi, tahu bahwa kalau memang mereka naik motor, pasti akan sulit untuk mengecek tas itu saat berkendara dan karenanya mungkin baru akan dicek saat mereka berhenti di suatu tempat atau mungkin sudah sampai tempat tujuan mereka.

Agak jauh dari rumah, aku duduk.

Aku berpikir, Kalau aku malingnya, ke mana aku akan pergi?

Rumahku ada di atas tanjakan dan di bawah tanjakan itu persimpangan ke kiri atau ke kanan. Kiri, mengarah pada masjid, TK, dan warung. Ramai di pagi hari. Menurut saksi mata supir ojeknya sih, mereka berpapasan dengan motor-motor itu di tanjakan ini. Gak mungkin mereka mengambil arah kiri, karena di sana warung tempat ibu-ibu berbelanja. Maling-maling itu, aku yakin, bukan tipe maling yang bisa bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa, terutama setelah ada saksi mata. Mereka akan memacu motornya, yang akan menimbulkan kecurigaan. Jadi mereka pasti mengambil arah ke kanan, kan? Kanan mengarah pada Jl. Terusan Dago Pojok yang notabene lebih sepi. Jadi mereka pasti ke sana.

Dari jam tujuh aku mencari dan berkeliling, aku baru kembali ke rumah jam setengah sembilan. Aku coba ke arah warung nihil. Ke Pojok juga nihil. Dan karenanya, aku tahu, mereka gak akan membuang tas ibuku di daerah sini. Well, oke, aku udah tau dari awal, tapi gak ada salahnya mencari. Gak ada salahnya berusaha, bahkan meskipun usaha itu sia-sia.

Sempat terpikir, bahwa pemecahan kaca jendela depan adalah pengalihan perhatian. Bahwa sebenarnya, setelah observasi beberapa hari (karena tidak ada maling yang spontan mencuri dari suatu rumah tanpa observasi apapun, maling nekat itu namanya, dan maling nekat biasanya tanpa komplotan), mereka tahu bahwa pagi hari, biasanya rumah kosong. Yah, sayang sekali karena hari ini di rumah formasi lengkap. Nah, begitu tahu ternyata di rumah tidak kosong, akhirnya rencana mereka untuk masuk dari jendela kamar ibuku yang tanpa pengaman apapun itu diganti menjadi mengambil barang apapun yang pertama teraih, which, by the way, tas ibuku. Sementara satu orang membobol kamar ibuku, yang lainnya membuka (atau memecahkan, tergantung dari sudut pandangmu) kaca jendela depan. Ibuku keluar dari kamarnya, perhatian semua orang terpaku pada kaca itu, sementara si satu orang yang membobol dari samping ini bisa kabur. Tapi dia gak akan bisa kabur dari depan, kan? Jadi dia memutari rumah dan kabur dari belakang. Seingatku, pagar yang ada di kebun belakang memang ada yang sudah rusak. Saat aku lihat, ternyata sudah diperbaiki. But guess what? Kebun tetangga pagarnya tidak diberi pengaman apapun (semacam rantai berduri atau beling) dan sangat mudah dipanjat keluar.

Teori itu melahirkan pertanyaan baru, Bukankah kalau begitu, si satu orang yang mengambil tas ini akan terpisah dari teman-temannya? Dan mereka yang bertugas mengalihkan perhatian tidak perlu gelisah dan memacu motornya cepat-cepat setelah melewati rumah ibuku, karena mereka tidak membawa barang bukti apapun. Oke, kecuali linggis. Tapi mereka bisa mengelak dan bilang bahwa mereka pekerja bangunan atau apalah.

Ganti teori.

Masih sama, pengalihan perhatian. Cuma kalau di teori pertama pembobolan kedua jendela dilakukan bersamaan, maka kali ini pembobolan samping (kamar ibuku) dilakukan terlebih dahulu. Kemudian setelah si satu orang ini naik ke motornya dengan aman, yang lainnya membobol jendela dengan selot hingga selot itu patah dan jendelanya pecah. Si pengambil tas kabur diikuti teman-temannya (ingat di awal aku bilang bahwa, sebuah motor matic lari dikejar dua motor matic lainnya? Teman-temannya ada di belakangnya dan tampak seolah mengejarnya karena mereka harus memecahkan kaca jendela dulu.

Tapi teori manapun hanyalah spekulasi semata. Ayah tiriku marah (sebenarnya panik, passport itu kan mau dipakai bulan Januari, tapi kepanikannya melahirnya kemarahan frustrasi jadi, yaaa, sama saja). Kakakku sempat membantu mencari, tapi dia kembali lebih dulu dariku (dan pergi lama setelah aku juga. Aku gak berhak menilai, tapi menurutku dia sekali mencari, tidak mendapat apapun, lalu pulang). Yang paling parah adalah nenekku. Ibuku sudah bilang padanya untuk lapor pada Pak RT kemudian mencari Kang Ayat--orang yang suka bantu-bantu memperbaiki barang di rumah--untuk minta tolong soal jendela. Tidak cukup cuma mengganti kacanya saja, harus dengan kusen-kusennya. Soal lapor, entah dilakukan atau tidak. Yang pasti nenek katanya gak ketemu Kang Ayat (tapi aku ketemu dan udah bilang soal itu, jadi okelah) dan udah minta dicarikan kaca baru sama seorang supir ojek yang lumayan dekat dengan kami (yah, sebenarnya, semua supir ojek yang mangkal di belakang akrab sih, cuma yang ini bekerja sampingan jadi loper koran dan suka pinjam buku untuk dibacanya juga, jadi mungkin lebih akrab lah). Selesai. Tahu apa yang dilakukan nenekku setelahnya dengan tenangnya? Mengisi TTS dan masuk kamar lalu mengunci pintunya. Benar-benar tidak mau tahu soal kehilangan ibuku. Tapi kalau hal itu menyangkut kebutuhannya sendiri, merongrong terus bahkan sampai tengah malam pun tega. Uwowo self-centered ignorant [censored].

Yang pasti, sekarang ibuku lagi di kantor polisi mengurus surat kehilangan supaya ayah tiriku bisa bikin passport baru. Kakakku dengan tenangnya main game seolah tidak ada hal apapun yang terjadi sebelumnya. Dan nenekku.... ah sudahlah. Mereka berdua memang ignorant meski nenek sedikit lebih parah. Like grandmother like grandson. Gak usah dibicarain, daripada sakit hati dan pengen jambak rambut sambil ngejerit, "KALIAN KOK BISA SIH KAYAK GITU SEMENTARA IBUMU DAN ANAKMU LAGI RIWEUH KE SANA-KEMARI!? AI KALAU KALIAN YANG BUTUH MAH KUDU PISAN--" dan diikuti berbagai umpatan dari berbagai bahasa yang kutahu.

Mending diem.

Moral of the story? Kalau ada hal mencurigakan di rumah kalian, seperti kaca yang pecah atau kusen yang dipaksakan terbuka, jangan terpaku di titik itu. Ulangi, jangan terpaku pada hal itu. Coba pikir, maling, sepayah apapun, pada dasarnya cerdik. Mereka akan berusaha mencuri dari rumah dan membuat sesedikit mungkin kerusakan atau perubahan apapun agar orang-orang di rumah tersebut cukup lama sampai menyadari ada yang hilang (seperti ibuku). Kalau terjadi hal-hal yang jejaknya tampak jelas seperti itu, itu adalah pengalihan perhatian. Segera ke tempat-tempat lain di rumahmu yang kiranya mudah dimasuki orang. Bisa jadi tempat itu sudah bobol duluan. Yang paling penting, dalam situasi apapun, jangan pernah panik. Ibaratnya orang yang tenggelam, panik cuma akan menghambatmu, membuatmu gak bisa melakukan apapun. Think clear. Maling zaman sekarang gak cuma beraksi pada malam hari saat orang-orang tertidur. Ada juga yang beraksi pada siang hari, saat orang-orang bersekolah dan bekerja. Ada yang pada pagi hari, seperti dalam kasusku, di jam-jam saat anak-anak baru saja ke sekolah dan orangtua baru saja pergi bekerja, sementara yang tinggal di rumah paling sedang berbelanja. Sebisa mungkin pasang teralis di tiap jendela. Jangan biarkan barang berharga berserakan atau, yang tidak berharga, mudah dibuat tapi sangat penting yaitu kunci. Kalau ada orang yang sudah punya kunci rumahmu, gak perlu membobol apapun lagi. Dan seperti kata Bang Napi, waspadalah, waspadalah, WASPADALAH!

N.B: Kalau ada yang menemukan tas ransel hitam polos berisi dua tas FORVITA kecil berwarna kuning, tolong segera hubungi nomor 08112207636, terima kasih.

Monday 3 December 2012

City of Lost Souls - GoodReads Review (Resensi Menyusul Belakangan)

COOL.

The problem with this book is only that Sebastian--or Jonathan Christopher Morgenstern--didn't really changed. I was hoping that he would change, considering the Angel's blood in him. Well, he's the son of Lilith, that's true even though he's not a warlock. But still, he's a Shadowhunter, right? Well, okay, he hates them. Shadowhunters, I mean. The only reason he "brought" Jace with him was because he needed him. To lure Clary, I think. However when the Morgenstern's children stand together--the elder brother that got both Angel and Evil blood in him and the younger sister that was gifted by the Angel's blood in her that she could make runes--they're kind of creepy. Just a thought.

AND HOW JONATHAN TREAT CLARY OMGASDFGHJKLQWERTYUIOPZXCVBNM. He acts really like a brother! I mean, he saved her, going out with her... but in the end he wanted her. I mean, that kind of want like making out. Eww.

The part I hate most from this book is MaLec's broken up. Yeah, Alec was wrong for considering Camille's deal to make Magnus mortal. How could he do that without even talk to Magnus? I mean, he's the one that being the object there. But whatever. Alec's madly in love with Magnus and he's selfish enough for never want to separated from him even by death. So only two choices: Alec being immortal or Magnus become mortal. But Alec isn't selfish enough to try to stop Magnus from breaking up with him. He just kind of look at him until he's out of his sight. That's sweet and sad. From that scene Alec like saying, "Okay go ahead. Sorry I was being sneaky. You love me, I love you too. We broke up because of me, that's okay. None of this was your fault." Oooohh. I really hope that in City of Heavenly Fire they're getting back together. MaLec isn't Taylor Swift. They're not "Never Ever Getting Back Together". Talking about song, I was listening to music while reading this part. Guess what song comes out? I Still Love You by Alexz Johnson. Coincidence? Don't think so :')

Depapepe

Ouwoh aku lagi tergila-gila sama Depapepe nih uye.
Awalnya aku gak terlalu tertarik, soalnya setahuku mereka alirannya instrumental gitar akustik gitu. Bukannya nggak suka, cuma aku lebih suka sama lagu yang punya liriknya, jadi bisa dinyanyiin gitu. Tapi waktu beberapa hari lalu aku lagi ngobrak-ngabrik laptop ayah tiriku nyari sesepatu yang keren dan bisa masuk memory-ku (lagu/gambar/video) aku liat ada lagunya Depapepe. Karena penasaran yaudah aku puter, eh ternyata enak juga. Dan salah satu lagu itu ternyata lagu instrumental keren yang udah sering banget aku denger di kafe yang sering aku kunjungin di hari Rabu (kafe itu muter lagu klasik cuma pada hari Rabu, Alternative hari Selasa, Pop-Rock hari Kamis). Jadi begitu denger langsung aku samber deh. Eh gak taunya sekarang memory card-ku error minta diformat, jadi aja aku donlot sendiri -..-

Selain Depapepe, ada satu lagi lagu baru yang sering aku dengerin dari playlist-ku, yaitu Heaven by Natalia Kills. Tengkyu banyak buat kawanku Mudita Nanda yang ngirimin aku lagu itu. Entah koinsiden atau apa, tapi Heaven pas banget buat seseorang. Uwooo... I know heaven must be beautiful right now since they go you babe, since they got you babe.

Kemudian, aku sempat dengan begonya ngira kalau Sungha Jung itu salah satu personil Depapepe. Bego banget kan. Depapepe mah J-Pop sementara Sungha Jung itu K-Pop. Dan, oke, aku belum pernah dengerin satupun lagunya Sungha Jung. Aku udah tau mereka--Sungha Jung dan Depapepe--sejak lama, tapi sampe sekarang baru sempet dengerin Depapepe. Yah oke deh ntar aku coba cari Sungha Jung, siapa tau aku suka juga (meskipun setahuku dia bukan instrumental).

Ciao.

Sunday 25 November 2012

Berlarilah

Aku ingat ketika mulut mungilmu berkata,
“biarkan aku berlari”
dan kau menghentakkan kakimu ke tanah
dan bersikeras kalau kau mampu
          Kemudian aku akan menyanggah
          dan kau akan berkata bahwa
          aku terlalu tua untuk mengerti
          dan kubalas kau terlalu muda untuk memahami
     Sayang, biarkan mama menjagamu
     kau tak peduli
     kau hanya ingin berlari
     kau hanya ingin pergi
     entah bagaimana,
     keinginanmu itu menyakiti

Mama, aku ingin pergi
aku ingin melarikan diri
dari mimpi buruk mengerikan
yang selalu menghantui dalam
setiap malam yang mencekam
          Ma, aku tidak akan melupakanmu
          bagiku ketakutanmu tidaklah rasional
          makhluk terkutuk macam apa aku,
          dapat melupakan makhluk seindah dirimu?
     Seolah
     kau tak ada arti
     lebih bagiku
     tidak, mama
             
Aku berharap mama dapat mengerti
              Mama berharap kau mau mengerti
          bahwa kekanganmu terlalu menyesakkan...
     bahwa kekhawatiran ini menyakitkan...
              Aku hanya ingin mama mendengarkan
              Mama hanya ingin kau dengarkan
          keinginanku untuk bebas dan lepas...
     kenyataan dunia luar tak seindah yang kau bayangkan...

Aku ingat saat mulut mungilmu berkata,
“aku mau pergi. aku benci di sini”
lalu kau akan memberontak
menendang
menggigit
melawan
mencakar
          Kemudian kau tak lagi mungil
          dalam sekedipan mata,
          kau menghilang digantikan
          oleh sosok dewasa
     Kau masih ingin pergi
     kau masih ingin berlari
     sayang, bisakah kau menjaga diri?

Aku bisa, ma
aku tidak mengerti
kenapa kau meragukan
keyakinan yang kumiliki
seolah kau ingin aku goyah
lalu kau akan menyanggah
          Ma, aku mulai muak dengan pola ini
          aku berbicara
          kau berbicara
          aku menjelaskan
          kau menolak
          aku mendengarkan
          kau menuduhku tak mendengar
          kau tak mendengarkan
          kau tak mengizinkanku bicara
     Kau semakin tua
     dan semakin egois
     dan semakin keras kepala
     dan semakin mengurung
     jadi maafkan keputusanku, ma
     aku akan pergi
     aku akan menggeliat
     kemudian merangkak
     kemudian berjalan
     kemudian berlari
     dan akhirnya terbang
     menjauh
     darimu
     dari sangkar emasmu
     dengan satu kelupas emas
     yang kubawa tanpa sepengetahuanmu
     semata karena tak ingin melupakanmu
     tapi ingin lepas darimu

Sayang, mama terima suratmu
maafkan mama karena selama ini
telah membutakan mata
menulikan telinga
dan melepaskendalikan lidah
pergilah
          Pergi dan jangan kembali
          jangan kembali sebelum
          saat ketika kau tak lagi terkungkung
          lupakan mama, sayang
          kalau mama adalah beban
          tapi maafkan mama
          kalau mama tak dapat melupakan
          tawamu
          seringaimu
          celoteh riangmu
          argumenmu
          kekeraskepalaanmu
          kebaikanmu
          keburukanmu
          segala hal tentangmu
          maafkan mama karena
          mama tidak bisa menghapus
          kenangan
          dan rasa
          bahwa kau gadis kecil mama
     Jangan merangkak terlalu cepat
     mama takut kau akan melukai lututmu
     jangan berjalan terlalu cepat
     mama takut kau akan tersandung
     jangan berlari terlalu kencang
     mama takut kau akan terjatuh
     jangan terbang terlalu tinggi
     mama takut kau akan
     jatuh
     jatuh
     jatuh
     jatuh
     dari langit yang tinggi
     menembus lapisan bumi
     dan tak dapat bangkit kembali...
     dan mama tak akan ada di sana
     untuk membantumu bangkit
     karena keberadaan mama
     telah kau tolak sebelumnya

Ma, aku telah merangkak
aku telah berjalan
aku telah berlari
dan aku telah terbang
          Aku telah mendapat yang kuinginkan
          aku telah menggapai yang kucita-citakan
          apa yang tidak kumiliki kini?
          tapi tidak ada yang berarti
          tak ada siapapun yang bisa
          kuajak berbagi
     Ma, aku kangen mama
     dulu aku jengah dengan keberadaan mama
     kini aku mengiba agar bisa bersama mama
     ma, apa aku dimaafkan?
     karena bahkan setelah aku berlari,
     mimpi buruk itu tetap mengikuti
     aku lemah tanpa pertahanan
     kecuali keinginan untuk
     menyelamatkan diriku sendiri
     sekarang baru terpikir,
     apa mungkin mama juga dihantui
     oleh mimpi buruk yang sama?
     ma, kau tak pernah egois
     kau tak pernah keras kepala
     kau tak pernah mengurung
     kau melakukan segala hal untukku
     kau benar tentang kesalahanku
     kau hanya berusaha melindungiku
     maaf karena aku berusaha lari darimu, ma
     boleh aku buang segala kesuksesanku
     demi kembali kepadamu?

Sayang, mama terlalu tua
dan sudah terlalu renta
untuk mengejarmu
mama masih di sini
mama masih menunggu
kapan pun kau berlari
lengan mama selalu terulur
untuk menyambut dan memelukmu
          Tapi mama minta maaf
          karena ternyata mama memang
          tidak mau mendengarkan
          tidak mau mengerti
          duniamu yang serba cepat dan instan
          tapi sayang, sekarang mama siap
          untuk mendengarkan dan mencoba mengerti
     Jadi sayang,
     kapan pun kau mau
     kapan pun kau sempat
     mama sudi mendengarkan
     segala hal tentang
     duniamu yang penuh keajaiban
     dan gemerlap kesuksesan

Gomeen...!

Gomenasai! Maaf! I'm sorry! Sepertinya karena koneksi internet yang kacau, sebuah post berjudul, "Aku Bermimpi..." telah ter-post beberapa kali. Sekali lagi muaaaaafff banget, kesannya kayak aku blogger maruk yang pengin memperbanyak isi blog tanpa beneran usaha. Yang tadi itu adalah murni sebuah kecelakaan. Totally an incident. Semoga kalian nggak kapok main ke sini m(_ _)m

Aku Bermimpi...


Aku bermimpi berada di sebuah mall. Kukira aku sedang berada di sana bersama dengan teman-teman bimbelku, aku mengenakan kaus lengan panjang warna hitam yang pas di badanku, sabuk berwarna putih polos yang gaya, celana denim biru tua dan boots sebetis berwarna cokelat. Setidaknya seingatku begitu. Tapi kemudian terjadi kekacauan entah apa. Yang kuingat aku membanting tubuh seorang temanku ke dinding metal dan menuduhnya dalang di balik segala kekacauan ini. Kami terpencar. Gadis yang kutuduh mengejarku, dan salah seorang satpam mendapatinya sedang melakukan hal yang sama padaku seperti yang sebelumnya kulakukan padanya satu lantai dari tempat kami semula berada. Gadis itu kabur sebelum satpam itu dapat menjangkau kami dan aku, yang tahu bahwa meskipun di matanya aku tak bersalah akan tetap dibawa ke kantornya untuk mengorek keterangan kenapa kami berkelahi di mall, juga berlari pergi. Satpam itu mengejarku. Lantai mall itu licin, aku kesulitan berbelok, tapi toh entah bagaimana aku sampai di lantai dasar. Ada satpam lainnya, secara mengejutkan wajahnya mirip dengan pak Joko Widodo. Tapi aku tidak terkejut, heran, ataupun geli. Setelah dipikir sekarang, dalam mimpi bisa terjadi apa saja, kan? Aku ingat berpikir tentang satpam yang mirip pak Jokowi itu, “Padahal tiga tahun lalu masih ramah dan santai, sekarang kelihatan lebih siap dan siaga,” seolah aku mengenalnya. Bagaimanapun juga, aku masih tetap bermain kucing-kucingan dengan gadis tadi, dan aku ingin segera keluar dari tempat ini. Aku mulai berlari menuju pintu keluar tepat saat aku melihat gadis itu berada di seberang ruangan. Aku kembali bersembunyi di balik elevator sebelum ia melihatku. Gadis itu berjalan, tampaknya masih mencariku, dan jarak kami hanya tinggal beberapa meter lagi. Akhirnya aku nekat berlari melewati satpam “Jokowi” yang tampak siaga saat melihat gadis itu. Saat aku berlari melewatinya, satpam “Jokowi” tampak seolah memberiku jalan dan alih-alih menahanku, ia mulai mengikuti gadis itu. Aku berlari keluar. Aku tidak menoleh ke belakang tapi aku merasa seolah aku diikuti. Mungkin gadis itu. Aku tidak tahu kenapa aku berpikir begitu, kemungkinan besar karena ialah yang tampak begitu bernafsu ingin mendapatkanku. Secara ajaib pakaianku berubah menjadi kaus tanpa lengan, celana denim panjangku berubah menjadi denim pendek dengan warna biru yang lebih muda dan boots berubah menjadi sepatu keds yang nyaman digunakan berlari (meskipun aku tidak merasakan apapun dari fisikku, tidak bahkan saat gadis itu membenturkan tengkorakku ke dinding). Kemudian aku mulai berlari.
     Seingatku, ada cukup banyak mobil yang lalu-lalang, tapi saat aku melewati sebuah perempatan, mobil-mobil tampak berkurang drastis menyisakan hanya satu atau dua mobil yang terkadang lewat di jalan raya satu arah yang begitu besar. Kalian yang orang Bandung mungkin bisa membayangkannya sebagai jalan Merdeka, karena kebetulan dalam mimpiku jalannya memang tampak seperti jalan Merdeka, lengkap dengan gedung Balai Kota di kanan dan toko sport serta apotik dan bank dan gereja di sisi kiri. Aku awalnya berlari di trotoar, kemudian aku mulai berlari di tengah jalan dan... aku merasa sangat ringan.
     Ringan. Cepat. Gembira.
     Kau tahu saat kau bermimpi dan kau ada di sana seringkali rasanya kau seolah melihat dari mata dirimu sendiri dan terkadang berubah menjadi seolah melihatnya dari mata orang lain? Seperti menonton film?
     Saat tubuhku dibenturkan oleh gadis itu, aku merasa seolah aku melihat diriku berusaha dihajar oleh gadis itu.
     Saat aku melarikan diri darinya, aku merasa seolah akulah yang melarikan diri darinya.
     Saat aku berlari keluar dari mall itu, aku melihat tanganku yang mendorong orang-orang minggir dari jalanku.
     Kini saat aku berlari dengan ringannya, aku merasa seolah menonton diriku sendiri, dengan kamera memfokuskan lensanya padaku. Nyaris seperti menonton film Dredd, adegan ketika orang-orang menggunakan Slo-Mo. Hanya saja, yang tampak bergerak lambat adalah aku, sementara yang lainnya tampak seperti kelebat kabur dengan warna-warna yang seolah dipertajam. Menakjubkan. Aku bahkan seolah bisa melihat keringat yang menetes keluar dari pori-poriku. Rambutku yang berwarna hitam di atas dan cokelat kemerahan di bawah berkibar di belakang kepalaku. Sinar matahari mempertajam warna merah rambutku, dan, menjadikannya tampak seperti lidah api yang menyala. Sesaat, aku seolah melihat diriku sendiri bercahaya.
     Lalu aku berbelok ke kanan dan jalan mulai menanjak. Aku berlari melewatinya seolah itu bukan masalah, meskipun aku bisa melihat—dan merasakan—bahwa napasku pun sudah mulai terengah-engah. Tanjakan itu basah, seolah baru saja hujan. Saat nyaris berada di puncak tanjakan aku melihat bahwa jalan yang menantiku tampak rusak dan air berkubang di sana-sini, berwarna cokelat seperti tercampur dengan tanah. Aku menjejakkan kakiku, selangkah lagi sebelum sampai ke puncak dari tanjakan itu, dan aku melompat.
     Atau mungkin, lebih tepat kalau disebut aku melayang.
     Aku melayang dengan kemiringan sembilan puluh derajat. Mataku terbuka lebar, dan kali ini aku melihat langit biru diselingi warna putih. Jantungku seolah terhenti. Aku menutup mataku, dan membukanya lagi (kau bisa bilang aku berkedip, tapi kalau aku bilang, “Aku berkedip...” akan terasa berlalu dengan cepat, sementara kalau aku menutup lalu membuka mataku terasa lebih lambat), dan kakiku menjejak tepat di depan kubangan air besar yang mungkin bisa disebut sebagai samudera bagi seekor semut mungil. Aku berlari lagi. Masih dengan ringan dan bebas.
     Tidak ada lagi rasa dikejar-kejar seseorang. Aku menoleh ke belakang, dan melihat gadis itu—yang siluetnya entah bagaimana tampak seperti seorang lelaki tinggi dengan bahu yang lebar—telah menjadi bayangan hitam di belakangku, menyerah lelah mengejarku.
     Aku tetap berlari.
     Aku berlari hingga aspal digantikan tanah dan gedung digantikan pohon, sesemakan, dan sulur-sulur yang saling berebut berusaha mendapatkan sinar matahari. Ya, di sini gelap. Satu-satunya beton di tempat ini ada di sebelah kiri, tampak mirip dinding beton untuk menahan tanah longsor. Aku berlari seolah aku mengenal tempat ini. Mungkin aku memang mengenalnya. Aku merasa pernah melihat tempat ini sebelumnya, di mimpiku yang lain. Saat itu, seingatku aku merasa takut sekaligus penasaran, karena jalan ini katanya mengarah ke lubang besar yang seperti black hole. Dalam mimpiku yang itu, aku menemukannya, dan nyaris terhisap ke dalamnya. Sebuah sulur datang dan aku menggapainya, kemudian seseorang menarik sulur itu dan aku terbangun.
     Kali ini, aku tidak menemukan lubang hitam besar mengerikan itu. Aku juga tidak terbangun—setidaknya belum. Alih-alih, aku menemukan sebuah selokan besar dengan dua selokan yang lebih kecil di kanan-kirinya. Jadi beton yang tadi itu memang sebuah bendungan, tapi bukan untuk membendung tanah dari longsor melainkan air. Selokan-selokan itu tampak basah sehabis hujan, dan aku akhirnya berhenti berlari dan berusaha mengatur kembali napasku. Dedauan yang ada tampak hijau dan embun sehabis hujan tampak menjadi titik-titik berkilauan seperti berlian di permukaan daun yang berlilin.
     Selokan yang besar, yang berada di bawahku dan tampaknya memiliki kedalaman dua setengah meter mungkin adalah pintu keluar bagi air yang dibendung, mengarah langsung pada sungai yang meski tak terlihat olehku tapi aku bisa mendengar kecipak arusnya yang membentur batu atau membentur arus lainnya lagi. Aku tidak tahu orang gila mana yang mau memiliki rumah di samping bendungan, tapi selepas tembok yang membatasi tanah dengan pintu keluar bendungan, tampak sebuah pintu kayu berwarna cokelat di sebelah kiri.
     “Mau coba main?”
     Seorang gadis yang tampak seperti keturunan China menyibak dedaunan dan muncul di hadapanku. Ia tersenyum dengan bibir dan matanya. Aku kenal dia. “Mita?”
     Paramita hanya mencabut dua helai daun yang sangat besar itu, dan menyerahkan satu padaku. “Asyik lho kak berseluncur di sini habis hujan. Selokannya licin, dan sungainya gak terlalu dalam. Ikut?”
     (Untuk kalian yang bertanya-tanya bagaimana mungkin aku bisa ingat percakapan ini... aku tidak ingat. Tapi aku ingat bahwa Mita membicarakan hal ini, aku hanya tidak ingat bagaimana ia berucap dan kata-kata apa yang meluncur keluar. Tapi, ya, memang tentang ini.)
     Pintu yang berada di sisi bendungan terbuka dan nenekku berjalan keluar. “Dilla!” panggil nenekku, samar-samar aku ingat beliau tampak senang, “dari mana saja kau? Dicariin sama semua orang, ayo sini masuk!”
     Nenekku berjalan masuk dan membiarkan pintu terbuka. Paramita mengalihkan pandangan dari nenekku dan tersenyum kembali. “Jadi, kak? Ikut?”
     Aku tidak berbicara. Aku hanya menatapnya, kemudian kami meluncur melewati sungai.
     Lalu gelap. Dan beberapa detik berikutnya, aku terbangun.
     Dipenuhi rasa dingin rindu yang mendesakku untuk berlari.