Friday 14 December 2012

Sebuah Kecelakaan di Jumat Pagi

Maling zaman sekarang itu udah makin pinter, mereka udah ngerti taktik "pengalihan perhatian".

 Hari Jumat pukul tujuh pagi. Aku masih tertidur dengan pulasnya, bermimpi tentang suatu hal yang nampak berwarna agak kabur saat tiba-tiba saja...

KROMPYAAANG...!

...Terdengar suara sesuatu yang pecah. Awalnya, kupikir, ah, mimpi... tidur lagi deh... ketika aku sadar bahwa a) itu bukan mimpi dan b) nenekku jatuh, kah!?
Aku langsung berpikir bahwa nenekku sedang mengatur piring dan sebagainya kemudian terpeleset dan jatuh. Jadi aku lempar selimut dan berlari keluar kamar, bersamaan dengan suara ibuku yang juga keluar dari kamarnya sendiri. Sementara aku clingukan di dalam setengah mengantuk--aku tidur jam sepuluh dan terbangun jam setengah tiga dan baru bisa tidur lagi jam empat, oke?--ibuku keluar dan melihat sebuah motor matic lari dan dikejar oleh dua motor matic lainnya. Ibuku kira, itu tabrak lari antara motor dengan gerobak penjual apalah--nasi goreng, ketoprak... pokoknya yang suka keluar pagi-pagi.

Tapi gak ada gerobak di mana pun. Seorang dari Taman Budaya (yang letaknya persis di depan rumah) bertanya, "Ibu gak apa-apa?"

Ibuku--dengan polos dan, ugh, bodohnya; tapi karena ibuku sendiri belum ngeh dan baru tidur jam lima dimaafkan deh--malah berjalan keluar ke teras, "Saya gak apa-apa. Itu tadi apa ya, Pak?"

Aku, sebagai anak yang baru ngeh bahwa kaca jendela pecah--itu tuh sumber suaranya--dan ibuku dengan unyunya bertelanjang kaki di antara serpihan beling langsung bilang, "Ibu! Awas itu kaki!"

Dan barulah ibuku ngeh bahwa yang pecah adalah kaca jendela rumah. Awalnya kami kira dilempar oleh sesuatu. Ternyata itu dicungkil. Dicongkel. Dibuka paksa. Apapun itu namanya. Menggunakan linggis, yang paling mungkin. Karena gak mungkin pake manggis. Oke aku melantur.

Makin banyak orang di depan rumah yang datang, mula-mula tiga orang dari TaBud, kemudian dua orang supir ojek yang berpapasan dengan tiga motor matic--tiga, jadi mereka berkomplot, cuh--yang beberapa saat sebelumnya, saat orang-orang rumah masih pada tidur dengan nyenyaknya, sempat berhenti di depan rumah. Dan tahu tidak? Lampu-lampu sudah dimatikan oleh nenekku, begitu pula gorden yang cuma dibuka setengah, itu gaya nenekku banget. Tapi sementara aku dan ibuku langsung keluar, nenekku dan kakakku masih di kamarnya masing-masing. So ignorant uye.

Akhirnya, setelah memastikan tidak ada yang hilang (lagian jendela depan kan ada selotnya, makanya begitu dipaksa dibuka kacanya pecah. Tapi selain itu, ada teralisnya juga, gimana mau masuk coba?) akhirnya kerumunan kecil itu bubar. Ibuku masuk ke kamarnya, mau meminum obat, dan barulah, "Dek, tasku mana?"

"Hah?"

Aku dan ibuku mencari-cari tas hitam polos itu. Gak ketemu. Sekarang, pertanyaannya, gimana mereka bisa masuk ke kamar ibuku kalau dari depan saja sudah gagal?

Pertanyaan itu terjawab saat ibu mendorong jendela kamarnya untuk memastikan bahwa jendela itu juga tidak pecah. Nggak, nggak pecah kok. Mulus malah. Tapi karena jendela kamar ibuku tidak berselot, tidak berteralis, hanya dilindungi gembok kecil mungil yang bahkan olehku saja bisa dengan mudah dibongkar, jendela kamar ibuku sudah bobol. Terbuka. Dan, meskipun terhalangi oleh boks-boks yang ditumpuk di sudut kamar hingga tidak memungkinkan apapun selain kucing masuk, celah antara kusen dengan boks itu cukup untuk sebuah tangan menjangkau masuk ke dalam dan mengambil tas yang selalu ibuku taruh di bawah jendela. Ceroboh? Mungkin. Tapi jendela kamar itu tidak pernah dibobol sebelumnya, dan sampai tadi pagi rasanya aman-aman saja. Sekarang sih rasanya sudah tidak aman.

Adakah laptop di dalam tas itu? Tidak. Yang ada apa? Passport dengan visa yang sedang mati-matian diurus untuk ayah tiriku pergi ke Amerika tanggal dua Januari nanti dalam rangka bekerja--catat, dua Januari dan sekarang passport-nya hilang--obat-obat ibuku, kotak P3K, kunci motor, kartu ATM, dan hal-hal remeh yang sebenarnya kegunaannya bisa besar seperti tisu basah dan senter. Dan jangan lupakan dompet uang recehan ibuku yang kalau dihitung-hitung mungkin isinya bisa sampai belasan ribu atau bahkan dua puluh ribu lebih. Mungkin bukan jumlah yang cukup besar, tapi kan cukup tuh buat satu porsi nasi Padang. Atau untuk isi bensin motor.

Ibuku menyuruhku berkeliling komplek, berharap mungkin setelah melihat bahwa tidak ada benda berharganya (ini harapan, oke? Dan apa gunanya passport ayah tiriku bagi mereka? Dan apa gunanya Amlodipine--atau entah bagaimana mengejanya--untuk mereka, kecuali ada di antara mereka yang berdarah tinggi juga?) mereka akan membuang tas itu. Aku pergi, tahu bahwa kalau memang mereka naik motor, pasti akan sulit untuk mengecek tas itu saat berkendara dan karenanya mungkin baru akan dicek saat mereka berhenti di suatu tempat atau mungkin sudah sampai tempat tujuan mereka.

Agak jauh dari rumah, aku duduk.

Aku berpikir, Kalau aku malingnya, ke mana aku akan pergi?

Rumahku ada di atas tanjakan dan di bawah tanjakan itu persimpangan ke kiri atau ke kanan. Kiri, mengarah pada masjid, TK, dan warung. Ramai di pagi hari. Menurut saksi mata supir ojeknya sih, mereka berpapasan dengan motor-motor itu di tanjakan ini. Gak mungkin mereka mengambil arah kiri, karena di sana warung tempat ibu-ibu berbelanja. Maling-maling itu, aku yakin, bukan tipe maling yang bisa bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa, terutama setelah ada saksi mata. Mereka akan memacu motornya, yang akan menimbulkan kecurigaan. Jadi mereka pasti mengambil arah ke kanan, kan? Kanan mengarah pada Jl. Terusan Dago Pojok yang notabene lebih sepi. Jadi mereka pasti ke sana.

Dari jam tujuh aku mencari dan berkeliling, aku baru kembali ke rumah jam setengah sembilan. Aku coba ke arah warung nihil. Ke Pojok juga nihil. Dan karenanya, aku tahu, mereka gak akan membuang tas ibuku di daerah sini. Well, oke, aku udah tau dari awal, tapi gak ada salahnya mencari. Gak ada salahnya berusaha, bahkan meskipun usaha itu sia-sia.

Sempat terpikir, bahwa pemecahan kaca jendela depan adalah pengalihan perhatian. Bahwa sebenarnya, setelah observasi beberapa hari (karena tidak ada maling yang spontan mencuri dari suatu rumah tanpa observasi apapun, maling nekat itu namanya, dan maling nekat biasanya tanpa komplotan), mereka tahu bahwa pagi hari, biasanya rumah kosong. Yah, sayang sekali karena hari ini di rumah formasi lengkap. Nah, begitu tahu ternyata di rumah tidak kosong, akhirnya rencana mereka untuk masuk dari jendela kamar ibuku yang tanpa pengaman apapun itu diganti menjadi mengambil barang apapun yang pertama teraih, which, by the way, tas ibuku. Sementara satu orang membobol kamar ibuku, yang lainnya membuka (atau memecahkan, tergantung dari sudut pandangmu) kaca jendela depan. Ibuku keluar dari kamarnya, perhatian semua orang terpaku pada kaca itu, sementara si satu orang yang membobol dari samping ini bisa kabur. Tapi dia gak akan bisa kabur dari depan, kan? Jadi dia memutari rumah dan kabur dari belakang. Seingatku, pagar yang ada di kebun belakang memang ada yang sudah rusak. Saat aku lihat, ternyata sudah diperbaiki. But guess what? Kebun tetangga pagarnya tidak diberi pengaman apapun (semacam rantai berduri atau beling) dan sangat mudah dipanjat keluar.

Teori itu melahirkan pertanyaan baru, Bukankah kalau begitu, si satu orang yang mengambil tas ini akan terpisah dari teman-temannya? Dan mereka yang bertugas mengalihkan perhatian tidak perlu gelisah dan memacu motornya cepat-cepat setelah melewati rumah ibuku, karena mereka tidak membawa barang bukti apapun. Oke, kecuali linggis. Tapi mereka bisa mengelak dan bilang bahwa mereka pekerja bangunan atau apalah.

Ganti teori.

Masih sama, pengalihan perhatian. Cuma kalau di teori pertama pembobolan kedua jendela dilakukan bersamaan, maka kali ini pembobolan samping (kamar ibuku) dilakukan terlebih dahulu. Kemudian setelah si satu orang ini naik ke motornya dengan aman, yang lainnya membobol jendela dengan selot hingga selot itu patah dan jendelanya pecah. Si pengambil tas kabur diikuti teman-temannya (ingat di awal aku bilang bahwa, sebuah motor matic lari dikejar dua motor matic lainnya? Teman-temannya ada di belakangnya dan tampak seolah mengejarnya karena mereka harus memecahkan kaca jendela dulu.

Tapi teori manapun hanyalah spekulasi semata. Ayah tiriku marah (sebenarnya panik, passport itu kan mau dipakai bulan Januari, tapi kepanikannya melahirnya kemarahan frustrasi jadi, yaaa, sama saja). Kakakku sempat membantu mencari, tapi dia kembali lebih dulu dariku (dan pergi lama setelah aku juga. Aku gak berhak menilai, tapi menurutku dia sekali mencari, tidak mendapat apapun, lalu pulang). Yang paling parah adalah nenekku. Ibuku sudah bilang padanya untuk lapor pada Pak RT kemudian mencari Kang Ayat--orang yang suka bantu-bantu memperbaiki barang di rumah--untuk minta tolong soal jendela. Tidak cukup cuma mengganti kacanya saja, harus dengan kusen-kusennya. Soal lapor, entah dilakukan atau tidak. Yang pasti nenek katanya gak ketemu Kang Ayat (tapi aku ketemu dan udah bilang soal itu, jadi okelah) dan udah minta dicarikan kaca baru sama seorang supir ojek yang lumayan dekat dengan kami (yah, sebenarnya, semua supir ojek yang mangkal di belakang akrab sih, cuma yang ini bekerja sampingan jadi loper koran dan suka pinjam buku untuk dibacanya juga, jadi mungkin lebih akrab lah). Selesai. Tahu apa yang dilakukan nenekku setelahnya dengan tenangnya? Mengisi TTS dan masuk kamar lalu mengunci pintunya. Benar-benar tidak mau tahu soal kehilangan ibuku. Tapi kalau hal itu menyangkut kebutuhannya sendiri, merongrong terus bahkan sampai tengah malam pun tega. Uwowo self-centered ignorant [censored].

Yang pasti, sekarang ibuku lagi di kantor polisi mengurus surat kehilangan supaya ayah tiriku bisa bikin passport baru. Kakakku dengan tenangnya main game seolah tidak ada hal apapun yang terjadi sebelumnya. Dan nenekku.... ah sudahlah. Mereka berdua memang ignorant meski nenek sedikit lebih parah. Like grandmother like grandson. Gak usah dibicarain, daripada sakit hati dan pengen jambak rambut sambil ngejerit, "KALIAN KOK BISA SIH KAYAK GITU SEMENTARA IBUMU DAN ANAKMU LAGI RIWEUH KE SANA-KEMARI!? AI KALAU KALIAN YANG BUTUH MAH KUDU PISAN--" dan diikuti berbagai umpatan dari berbagai bahasa yang kutahu.

Mending diem.

Moral of the story? Kalau ada hal mencurigakan di rumah kalian, seperti kaca yang pecah atau kusen yang dipaksakan terbuka, jangan terpaku di titik itu. Ulangi, jangan terpaku pada hal itu. Coba pikir, maling, sepayah apapun, pada dasarnya cerdik. Mereka akan berusaha mencuri dari rumah dan membuat sesedikit mungkin kerusakan atau perubahan apapun agar orang-orang di rumah tersebut cukup lama sampai menyadari ada yang hilang (seperti ibuku). Kalau terjadi hal-hal yang jejaknya tampak jelas seperti itu, itu adalah pengalihan perhatian. Segera ke tempat-tempat lain di rumahmu yang kiranya mudah dimasuki orang. Bisa jadi tempat itu sudah bobol duluan. Yang paling penting, dalam situasi apapun, jangan pernah panik. Ibaratnya orang yang tenggelam, panik cuma akan menghambatmu, membuatmu gak bisa melakukan apapun. Think clear. Maling zaman sekarang gak cuma beraksi pada malam hari saat orang-orang tertidur. Ada juga yang beraksi pada siang hari, saat orang-orang bersekolah dan bekerja. Ada yang pada pagi hari, seperti dalam kasusku, di jam-jam saat anak-anak baru saja ke sekolah dan orangtua baru saja pergi bekerja, sementara yang tinggal di rumah paling sedang berbelanja. Sebisa mungkin pasang teralis di tiap jendela. Jangan biarkan barang berharga berserakan atau, yang tidak berharga, mudah dibuat tapi sangat penting yaitu kunci. Kalau ada orang yang sudah punya kunci rumahmu, gak perlu membobol apapun lagi. Dan seperti kata Bang Napi, waspadalah, waspadalah, WASPADALAH!

N.B: Kalau ada yang menemukan tas ransel hitam polos berisi dua tas FORVITA kecil berwarna kuning, tolong segera hubungi nomor 08112207636, terima kasih.

No comments:

Post a Comment