Monday 27 May 2013

Possessed

"So, did you said that you're... crazy or something, Mr....?"

"Nathaniel," I said. "Just Nathaniel."

"Alright, Nathaniel. I want to know, how come you concluded that you are.... crazy?"

I inhaled, "Look. I've seen things other people didn't see, I've heard sounds other people didn't hear, and I literally talk to... things that didn't there. Twice. If I'm not crazy, then what the hell am I?"

"Things?" the psychologist look interested. "What do you mean by things?"

I shook my head. "I shouldn't came here in the first place."

"No, wait, Nathaniel," the psychologist held my shoulder right before I stood up. "Don't go. I was just asking. If you don't want to answer, that's alright, but we probably couldn't figure out what condition you're actually in."

Condition, I sighed, yeah right. "I don't do drugs if that's what you mean by 'condition'."

"I don't say anything about drugs." He shrugged.

And now he's testing my patience. "I. Don't. Do. Drugs. And I don't have any 'condition'," I spit the word out, "I've told you, I am crazy. Now give me the cure, or therapy, or anything that could get this shit rid off of me."

He seem to realized the changes of my mood. "Sit down, Nathaniel," he calmly said.

"I don't wanna sit down! I want something that makes me normal again!"

He opened his mouth but I said again, "Do you have whiskey or something?"

"Whiskey?" he looked confused. "For what?"

"For me to drink, of course, you moron!"

"You haven't tell me your age but I can tell that you're underage. And as for you, I can only put you on the bipolar category. You're not crazy, Nathaniel. You just have some trouble on controlling your--"

Anything he wanted to say is a thing I probably will never heard, because the next thing I know was that my fist is already on the air, floating, when the psychologist spitted some pearls with red liquids and something pink on them. Second after I realized they're not pearls; they're his teeth with bloods and gums.

"Holy shit," I murmured. "Holy shit."

"Nathaniel," he said. Bloods stains his face. They're out from his lips, his nose, and even his cheek. I sees a ring with little beads on it on my ring finger. "Nathaniel."

As bloods drained from my face my feet walks straight to him. He inched backward with a hand trying to stop the bleeding from his nose and lips. "Wait, Nathaniel."

My hands grabbed his collar. "Nathaniel, control yourself."

How did he managed that voice to always sounds mild like that? However, I found myself dragging him into the walls and banging his head onto them, hardly. Once. Twice. Three times. I can't stop myself. I don't want to stop myself. It was like possessed by something that isn't me. He grunts. I rammed his stomach with my knee. Blood came out of his mouth. I threw him onto the wooden table, it breaks. "Nathaniel," he kept trying.

The I that isn't me heard him but somehow ignored him. I saw a little girl with brown hair. The same girl I've always seen. The same girl I talked to twice and no one sees her.

Kill him, she said, he doesn't believe in you. He doubted you. He doesn't deserve to be alive.

She sounds convincing. "But I can't kill him," I heard myself saying.

Oh, of course you can, she smiled at me, all you have to do is to break his neck. As easy as opening a can. He doesn't deserve your mercy, Nate.

"Nathaniel?" his voice is just a low grunt now. "Nathaniel, who are you talking to?"

Here, let me show you.

She walks straight into me and suddenly my hands moved. I kneel right in front of him and something on my face must've frightened him, because I saw terror filled his face. I grabbed his cheeks; right hand on right cheek and left hand on left cheek. When he finally realized what I was going to do, it's too late. With a loud crack, he died.

And I finally get back the control of my body.

But I guess it was too late.

Way much too late.

Ke Malaysia Butuh Visa Nggak?

Nggak, tapi masih tetap butuh passport. Hal ini didasari atas perjanjian antar negara ASEAN di mana warga negara salah satu anggota ASEAN (mis: Singapore) apabila hendak bepergian ke luar negeri yang masih anggota ASEAN pula (mis: Filipina) dibebaskan dari kewajiban menggunakan visa. Khusus warga negara anggota ASEAN di antara negara ASEAN saja. Wow, coba kalau PBB memberlakukan hal yang sama ya. #digampar

Judgemental Adalah*)

Keadaan di mana seseorang menilai/mengecap orang lain dengan keras atas kesan pertama yang dilihat. Bisa juga menempelkan istilah/julukan kurang baik pada seseorang yang tidak begitu dikenal. Penilaian subjektif keras yang tidak mengindahkan objektivitas. Penghakiman satu sisi. Merasa dirinya benar atas pendapatnya pada orang lain.

Apakah Anda salah satunya?


*) Penjelasan dalam blog ini pun didasari subjektivitas pemahaman dasar semata. Apakah penjelasan ini termasuk judgemental atau bukan, tergantung dari sisi mana Anda melihatnya.

Tuesday 21 May 2013

Hex Hall Series Review

Sekarang setelah aku selesai membaca seluruh serinya, bisakah kita memulai review untuk ketiga bukunya?

Pertama-tama, Rachel Hawkins benar-benar mendapatkan esensi dari tiap karakter. Mereka begitu hidup, dan setiap latar yang dijabarkan begitu nyata sampai-sampai rasanya sedetik kau menunduk membaca kata-kata yang tertera lalu saat kau mendongak kau bisa melihat mereka, di sekelilingmu, melakukan... yah apalah yang mungkin mereka lakukan. Kau dibawa masuk ke dalam cerita dan tidak dengan cara yang murahan. Dengan cara berkelas. Dan dengan berkelas, maksudku adalah tanpa kau sadari. Author lain banyak yang bisa membawa pembacanya ke dalam cerita, tapi sekadar membawa. Terkadang dengan cara yang sulit, yaitu memberi terlalu banyak detil sehingga pembaca merasa terpaksa masuk ke dalamnya. Mau nggak mau aku membandingkannya dengan karya Cassandra Clare. Baiklah, aku mengaguminya. Membuat sebuah novel dengan sekitar 500-700 halaman tidaklah mudah, tapi tulisan Clare tidak begitu meninggalkan bekas kecuali fakta bahwa tema yang ia angkat cukup segar. Baru. Belum begitu pasaran. Baiklah, sudah banyak kisah tentang penyihir, shape-shifter, dan lain-lain, tapi Rachel Hawkins, seperti yang kubilang, benar-benar membawanya keluar dari buku. Kurasa kau harus menjadi seorang pembaca yang telah membaca, yah, sedikitnya lima puluh hingga seratus novel untuk bisa mengerti dan membandingkan. Bukannya aku bermaksud sombong. Oh, terserahlah, aku memang bermaksud sombong.

Kedua, seperti yang sudah kubilang, karakter dan kisah Rachel Hawkins membekas. Karakter-karakternya tidak dangkal (sekali lagi, aku tidak bisa tidak membandingkannya dengan Cassandra Clare). Mereka terasa begitu nyata dan hidup sampai-sampai aku bisa terbawa masuk dalam pemikiran Sophie si tokoh utama tanpa aku melepaskan pikiranku sendiri. Aku merasakan jengkel pada Archer, terpukau pada Jenna, dan mengagumi Cal serta James Atherton. Begitulah. Rachel Hawkins terasa seperti Sophie yang telah berpetualang dan menuangkan ceritanya ke dalam buku (tahu kan, seperti Laura Ingals Wilder dalam Little House in the Prairie). Dan itu adalah keunggulan buku ini. Dan maksudku adalah segala hal dalam buku itu.

Bahasanya ringan, mudah dicerna, tapi mengena. Aku bisa dibilang mengidolakan Sophia Alice Mercer-Atherton-Brannick sekarang. Aku ingin memiliki kesinisan dan kejenakaannya, karena jujur saja, sinisnya Sophie itu bukan sinis yang nyinyir. Yah, well, bukan sinisku. Pokoknya Sophie itu hebat. Seandainya dia ada berada di dekatku mungkin dia harus menggunakan sihir demon-nya untuk membuatku tetap berada dalam jarak aman sekitar tiga meter darinya karena kalau tidak aku akan menjulurkan lidah, meneteskan air liur, bahkan mungkin mengejar ekor.

Oh, baiklah, aku suka anjing tapi bukan berarti aku mau menjadi anjing. Jadi terima kasih Sophie.

Buku-buku ini bisa selesai dalam satu hari, seandainya saja aku tidak begitu takut untuk bertemu dengan ending dari Spell Bound. Bukan, bukan karena aku tahu bahwa tokoh yang paling kucintai akan mati. Um, mungkin sebagian besar karena itu. Tapi karena Hex Hall terlalu keren untuk dilepaskan. Aku tidak pernah membenci berpisah dengan sebuah buku - seri - sebesar ini. Aku benar-benar tidak rela.

Aku mencintai Hex Hall. Dan Sophie. Dan Cal. Dan Jenna. Dan sir James. Dan Elodie. Dan mungkin Archer, meski aku benci mengakuinya. Yah, kebenaran memang terkadang menyebalkan. *rolls eyes*

[Baca review Spell Bound-ku di sini!]

Being Vampire Sucks?

Well it's true that vampire sucks. I mean, we suck bloods, okay. Not the other 'sucks'. Being a vampire is pretty cool, actually. Not to mention all the speed, strength, accelerated healing, immortality, even the power to control other people. If my memory's right then it's called Mesmer. Well I'm young and a new vampire (though it's almost, like, three years) and no one has ever taught me all of that. I'm still, well, me.

Probably all my 'power' is actually on a sleep mode right now. You know, like in the films, and they'll be awaken when something really dangerous is happening to me. Which actually happened already but none of the super power is came out to protect me. When I was at the Thorne Abbey, this crazy woman, Lara Casnoff tried to kill me but, well, probably because Mrs. Casnoff, her sister and the less mentally ill one, saved me I'm still like human being.

Umm, except the fact that I drink blood.

Hey, don't get me wrong. I still eat human food. And while I was at Hecate, they forced me to sleep from 9pm to 5am. So I kinda lose my vampire sleeping pattern. I still get obsessed over hot news and gossip and fashion, though while I was at Hecate no Internet, not even a cell phone is allowed. That school is probably dope in some way but very DUH in every other way.

I guess the only thing sucks about being vampire is that I can no longer walks under sunshine. Not without my blood stone. If I ever did, KABOOM, Jennifer Talbot is only in memory. And it really worries me. I haven't want to die yet. Err, okay, so technically, I'm dead. But I mean, what will Sophie be without me? I kinda like her best friend. Her only best friend. Okay, so she's surrounded by other cool people (shape-shifters, witches, warlocks [her boyfriend is a warlock], demon) and vampire is just a parasite. But come on, she loves me. She needs me. Or maybe it's all about me. It's me that need her to keep insane. Nah, don't think so.

So being a vampire is actually pretty cool. We're not actually monsters like what people think. Well, some of us are... but that doesn't mean that all of us are. You have to stop judging people, err, vampires you know. Or Prodigium. Oh whatever.

Jenna Talbot.

Monday 20 May 2013

Dorian Gray Film Review

Okay. Let me catch my breathe. Oh, nevermind. I don't know what category should I put this film in. Either awful or brilliant. I know this film is quite old, but, oh God.

Dorian Gray. Beautiful, young, and rich. Also innocent and naive. Met Lord Henry, a grown up man that taught him everything that soon he do. Dorian's other friend, Basil, already warned Dorian about Lord Henry's words, but for a young man like Dorian, who spent most of his life far from London and all of its scandals, what Henry said is quite... magical. Henry brought Dorian to the world he never know was exist. Or, he knew, but he just never really step into.

When the picture of Dorian that Basil painted is finally finished, Dorian grew jealous of the picture. The picture will stay... as what it is. The picture will never grow old, but Dorian, he will. Wrinkles, dark spots... someday he will lose all his beauty meanwhile the picture will always has it. Accidentally, Dorian made a deal with the devil. He will stay young forever, he will never age, instead the picture. Dorian will never change... physically, but the picture will. Everything that Dorian did will affect the picture of himself. The picture, which supposed to be just a decoration, will reflect Dorian's soul.

Scary?

Well then Dorian met this young and genius actress named Sibyl Vane, and they're about getting married. But, again, Lord Henry shove all his thought about love and marriage to Dorian, and the next thing we know, well, he broke his engagement with Sibyl, and the other day, Sibyl is dead.

Oh, believe me, Dorian didn't kill her. Although... maybe it's because of him Sibyl killed herself.

Dorian's picture looked quite cruel, now.

Day by day, years has passed, but it's true that Dorian trade his soul for youth. He really never age. But the picture grow rotten and ugly. And... the picture started to haunted Dorian. And not just the picture. Every time someone sees the picture, Dorian had to kill them. He already killed Basil. Technically, he killed two people by now. And Sibyl's brother, Jim, already swore that he will kill Dorian if he harmed his sister too. So Dorian, even though looked perfect, is actually living under his fear of the picture, his guilt of Basil and Sibyl, and Jim. Poor boy.

When finally Lord Henry has a kid, and she grew into a very beautiful young woman, Dorian fell in love with her. But Dorian had to protect her from himself. He changed, indeed. But I guess it's just too late. Lord Henry finally find out Dorian's secret of never getting old. He finally knows what Dorian truly is. Dorian is a monster he made, something that has a life he always talk about, a thing that living a life the way he wanted but too afraid to live his life that way.

In the end, Dorian is dead. He tried to destroy the picture, but they exchange. The picture became young and beautiful again. And that disgusting old man who was on the picture took Dorian's place. Dorian's filthy soul is finally one again with the body. And the picture... well... the picture is just a picture again. Just a reflection of Dorian's past.

He was... a charming gentleman. But he's a fool, a pity soul. Deserves your sympathy. But he's an example of greed. You only young once, and you will grow old someday. Nothing could change that. Not even after you sold your soul. Because after all, everything you did will come back to you. Either against you or support you... how do we know?

Three and a half stars out of five.

Such a Good Bitch

Sleep all day, that sounds so good
Until you figured out what's coming through
A goddamn headache feels it could kill you
Would you still try although you knew?

If I were a singer I would be Lay-Z
Read it slow, hear it flow, and you'll get it
But I can't sing are you hear me singing?
Oh, pardon me, should be my bad

I don't know what I'm talking about
I mean, I know I'm a genius, but not this high
Swear I don't smoke nor I do drugs
Yea, maybe I drink a little but that's about it

Now I've started this but don't know how to end this
Couple of words lack of goodbyes should do it
But hell how I put those things into words is a mystery
Wait, will this help, my friend's sister's father's aunt's gold fish is drowning
So bye.

Sunday 19 May 2013

Ripiu Hex Hall dan Demon Glass

Pertama-tama, aku mau ngasih peringatan: Jangan harap aku bakal bersikap objektif. Bulan sedang mati dan karenanya objektivitasku pun surut bersama turunnya gravitas bulan. Objektivitasku memang seperti laut, karena mereka sudah kubuang ke laut semenjak aku menemukan cowok ini. Cowok yang gentle dan lembut dengan sihir penyembuh dan yang paling penting di atas segalanya dia itu berambut PIRANG!!! Hohoho yeah yeah yeah cowok pirang selalu yang terbaiiiiikkk....!

I
Am
Officially
In
TEAM CAL!!!

OH, OH, OH, OH, OH, WHOA YEAH YEAH, OH, OH, OH, WHOA WHOA YEAH.

Baiklah sebelum saya fangirling sampai tahap pantas masuk rumah sakit jiwa mending ditulis dulu review-nya sebelum mereka menyuntikku dengan sesuatu apalah itu atau menyetrumku di kursi listrik.

Hex Hall (Hex Hall, #1)
Goodreads average rating: 4.01 stars
My rating: 4.0 stars

Aku minat baca buku ini gara-gara ibuku lagi sakit kepala dan mengalihkan perhatiannya dari sakit sialan yang berdentam-dentam itu dengan membacakan buku ini untukku. Well, mungkin bukan dimaksudkan untukku, tapi aku ada di sana, di depannya, dan aku ini gadis manis yang agak manja dan egois jadi anggap saja ibuku membacakannya untukku, ya. Iya.

Ceritanya tentang gadis yang cerdas, lucu, dan sinis, Sophia - "Sophie! Tidak ada yang memanggilku Sophia!" - Mercer.  Baiklah, Sophie adalah seorang penyihir, dan dia selalu berusaha menggunakan sihirnya untuk membantu orang lain, tapi karena dia penyihir yang payah, sihirnya selalu kacau balau. Sihirnya yang terakhir di dunia manusia adalah saat di pesta Prom Sophie berusaha membantu seniornya yang jones alias jomblo ngenes. Seniornya ini menginginkan seorang cowok idola sekolah sebagai pasangan kencannya, jadi Sophie pun menyihir cowok itu. Tapi seperti biasa sihir Sophie bekerja terlalu kuat. Promnya kacau, dan Sophie dikirim ke Hecate Hex Hall, sekolah asrama khusus Prodigium - makhluk-makhluk kacau seperti peri, shapeshifter, dan penyihir, serta program baru: vampir - yang terisolasi. Sebagian yang ada di sana karena melakukan tindakan yang dapat membocorkan keberadaan Prodigium pada manusia - seperti tindakan bodoh Sophie - dan mereka dihukum bersekolah di Hex Hall sampai berusia 18 tahun. Sebagian lainnya yang memang didaftarkan ke sana untuk keamanan mereka bisa lulus - jika berkelakuan baik, tentu saja - pada usia 16 tahun dan masuk di umur sekitar 12-13 tahun, yaitu usia saat kekuatan seorang Prodigium mulai muncul.

Teman sekamar Sophie adalah vampir - satu-satunya di Hex Hall. Vampir merupakan program baru Hex Hall untuk menjadikan makhluk-makhluk 'aneh' itu bersatu. Sementara peri, shapeshifter, dan penyihir adalah malaikat-malaikat yang diusir dari Surga karena tidak memilih pihak manapun - baik pihak Lucifer maupun pihak Tuhan - setelah perang antara Tuhan dengan Lucifer, vampir bukanlah malaikat yang diusir. Vampir, seperti yang kita tahu, terinfeksi virus yang menyebarkannya melalui gigitan. Seperti T-Virus di film Resident Evil, tahu kan. Jennifer, namanya, tapi ia memilih dipanggil Jenna. Dia adalah satu-satunya teman Sophie sampai Sophie melaksanakan gencatan senjata dengan seorang badass boy bernama Archer Cross.

Archer itu... yah, tipikal. Ganteng, agak sinis tapi ternyata care, berambut gelap (yang langsung kucoret dari daftar - aku bisa bilang apa? Satu-satunya pengecualian cowok berambut gelap itu Enrique Iglesias!), blah blah blah. Tapi aku nggak bisa menyangkal bahwa aku cukup menyukai Archer, apalagi karena dia juga sama sinis dan sarkastisnya dengan Sophie. Well, aku sinis, tapi aku nggak pernah bisa sarkastis aku tak tahu mengapa. Dan itu menyebalkan. Sangat. Percayalah, sangat.

Kemudian seorang hantu yang sering berkeliaran di Hex Hall (oh, ya, Hex Hall juga punya hantu sama seperti Hogwarts, bedanya hantu-hantu Hecate adalah arwah-arwah gentayangan yang terjebak di... semacam Purgatori. Mereka tak lagi di dunia yang Hidup tapi juga tak sampai ke dunia yang Mati, tapi technically sudah berbeda dunia sehingga kau bisa melihat dan merasakan mereka menembusmu tapi mereka buta akan kau) bernama Alice ternyata cukup kuat untuk menampakkan diri pada Sophie, dan ternyata Alice itu nenek buyut Sophie! Dan Alice ternyata cukup kuat menampakkan diri, tak seperti hantu lain, bahkan bisa memadatkan wujudnya seperti manusia sungguhan karena dia itu ..... yang artinya, Sophie, sebagai keturunannya juga seorang .....!

Ada beberapa kasus di Hex Hall yang melibatkan terkurasnya darah dengan dua luka tusuk yang simetris. Semua orang Prodigium, tentu saja, menyalahkan Jenna. Tapi ternyata bukan Jenna, melainkan ...... selain itu sahabat Jenna yang sebelumnya, Holly yang telah meninggal, juga bukan dibunuh olehnya melainkan oleh ...... Uhh kasihan Jenna. :"

Pokoknya di akhir cerita, salah satu mean girl yang berlagak seperti queen bee (oke aku harus mengurangi nonton Gossip Girl like seriously) yaitu Elodie ...... oleh ....... dan Sophie pun membunuh ........ setelah Elodie, pada saat-saat terakhirnya memberikan sihir yang tersisa dalam tubuhnya pada Sophie untuk membantunya melawan ...... Setelah semuanya selesai, Sophie, dalam keadaan syok memutuskan untuk menjalani Pemunahan alias proses menyakitkan dalam melepaskan kekuatannya, selamanya, dengan risiko kehilangan nyawa.

Wow.

Bukan... bukannya aku nggak terkesan. Aku terkesan. Bahasa yang digunakan Rachel Hawkins itu sederhana tapi mengena. Dan Sophie? Yang ternyata merupakan ...... tapi seorang penyihir yang payah karena nggak bisa mengontrol kekuatannya mau menjalani Pemunahan? Aku pengin deh mengguncang-guncang tubuhnya dan teriak di depan wajahnya, "Jangan sia-siain kekuatan sebesar itu, Girlie!"

I REALLY LOVE THIS BOOK. Terutama waktu ibuku yang membacakan. Bukannya aku malas - oke mungkin aku sedikit malas - tapi ibuku kalau membaca itu selalu punya karisma kuat yang jarang keluar pada saat lain. Jadi begitulah.

Buku ini pantas mendapatkan lima bintang, tapi berhubung Cal cuma muncul sedikit satu bintangnya kukurangi. Yeyeyeyeye.

[Spoiler bertebaran HUAHAHAHAHAHAH kalau mau lihat versi clean di mana titik-titik menyebalkan itu digantikan oleh sesuatu, bacalah di reviewku di Goodreads. :3]

*

Demonglass (Hex Hall, #2)
Goodreads average rating: 4.20 stars
My rating: FUCKING FIVE STARS CUZ THERE'S MORE CAL IN IT :L

 Jadi Sophie dan ibunya, yang datang ke Hex Hall, menunggu dijemput oleh James, ayah Sophie tercinta yang sekaligus ketua Dewan Prodigium, untuk pergi ke London, Inggris, agar Sophie bisa menjalani Pemunahan.

Sayang sekali, baik Jenna, Grace Mercer, Mrs. Casnoff (kepala sekolah Hecate), bahkan Cal [OMG CAL OMG OMG OMG] dan ayahnya sendiri tidak menyetujui Pemunahan itu. Akhirnya Sophie tetap pergi ke London hanya untuk diajari lebih banyak tentang Demon. Tapi Sophie punya syarat: Jenna harus ikut menemani. Dan James pun setuju. Akhirnya mereka pun pergi ke London; James, Sophie, Jenna, bahkan Cal juga. Dan kalian tahu tidak? Setiap penyihir ketika memasuki usia 13 tahun akan ditunangkan. Dan kalian tahu? Tunangan Sophie ternyata adalah Mr. Alexander Callahan alias CAL!!!!!

OMG GUE GAK BAKAL NYANTE I SWEAR I WON'T I FUCKING WON'T INI CAL LHOH SODARA-SODARA! COWOK GANTENG YANG, BAIKLAH, KERJANYA DI HEX HALL NGGAK LEBIH BAIK DARIPADA TUKANG KEBUN TAPI TETAP AJA DIA ITU KALEM DAN GANTENG DAN GENTLE DAN GANTENG DAN PIRANG DAN SEKSI DAN DIA ITU PENYIHIR PUTIH DENGAN SIHIR PENYEMBUH YANG HULARR BIZAZA OMG GUE FANGIRLING AAAAAAAAAAHHHHH................!!!!!!!

Dan waktu mereka semua nyampe di London, seorang anggota Dewan sekaligus adik dari Mrs. Anastasia Casnoff, Ms. Lara Casnoff bilang, di hadapan Cal dan Sophie sendiri, sewaktu sarapan, saat nggak ada orang lain, bahwa Cal sebenarnya ditawari posisi sebagai pengawal anggota Dewan dan dia sempat nerima posisi itu setelah lulus dari Hex Hall tapi begitu dengan bahwa Sophie mau masuk Hex Hall dia melepaskan posisi itu dan kembali ke Hex Hall YA AMPUN DON'T YOU THINK THAT THAT IS WHAT SWEETNESS TRUE FORM.

Sayangnya Cal sendiri yang mematahkan itu dengan berkata bahwa dia terlanjur cinta pulau Graymalkin - pulau berdirinya Hecate - dan kembali bukan karena Sophie semata. Dia tidak merasa cocok dengan posisinya di Dewan dan itu bukan karena jabatan kecil, melainkan karena ia tidak cocok berpenampilan resmi dan sebagainya. YAAAAHH CAAAAAAALLLLLL!

Tapi karena dia itu seorang gentleman yang berani jujur dan dia berhasil membuat Sophie tersipu dan jantungku melompati satu ketukan setelah itu berdetak dengan kecepatan yang mengkhawatirkan dengan tambahan agak dangkal bahwa dia itu pirang maka, Alexander Callahan, kau dimaafkan.

Bukan berarti itu penting buat dia sih.

Baiklah, kembali ke bisnis. Di London, lebih tepatnya kastil Thorne Abbey, Sophie bertemu dua demon lainnya, Nick dan Daisy. Mereka adalah sepasang kekasih yang tidak memiliki ingatan siapa mereka sebenarnya sebelum mereka diubah menjadi demon. Karena mereka itu pure demon, mereka agak kesulitan mengendalikan kekuatan mereka. Tapi mereka itu remaja yang asyik kok. Sayang sekali orang yang mengubah mereka menjadi demon ternyata tidak sebaik itu.

Di buku ini peran Cal lebih banyak, makanya ratingnya aku naikin. Baiklah, Cal mungkin nggak punya cinta yang membara pada Sophie. Mungkin Cal naksir Sophie - hei, gitu-gitu dia kan cowok, dan Sophie itu jenis cewek yang bisa bikin kamu jatuh hati tanpa sadar - tapi cinta Cal... entahlah. Sepertinya dia belum rela putus denganku, cintanya padaku masih membara di hatinya. #huek

Oke, bercanda. Tapi aku benar-benar berharap begitu karena aku hatiku membara atas cintaku kepada Alexander Callahan. Lebih tepatnya, Cal telah mendedikasikan cintanya kepada Hex Hall, satu-satunya tempat yang mungkin rumah baginya. Jadi begitulah. Tapi serius deh, Cal itu bakal jadi perfect match buatku. Karena dia bisa menstabilkan kesarapan dan kegilaanku HUAHAHAHAHAH.

Archer masih muncul di sini, tapi bahkan meskipun Cal mendominasi porsi cowoknya peran Archer nggak sesedikit Cal di Hex Hall *gigit tisu* Kenapa tante Hawkins tegaaaaaaa............!? Dan aku juga dapat spoiler dari ibuku tentang ending Spell Bound. Sophie, seperti bisa diprediksi, jadinya sama Archer. Tapi apa yang terjadi pada Cal sungguh menyebalkan dan dan dan dan dan OH MY GOD GUE GAK RELAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Intinya gue cinta Cal dan gue belum siap mental baca Spell Bound!! *emosi fangirl*

Saturday 18 May 2013

Mashed Potato ver. 2.0.1.0 BETA

Baiklah, dari look-nya mungkin kurang menjanjikan ya, tapi enak kok. Err atau mungkin enak itu karena akunya aja lagi laper kali ya. :v

Ide dari bikin masakan ini sebenarnya dari nasi goreng, cuma waktu itu nggak ada nasi, akhirnya kentang yang sudah direbus kemudian dihancurkan pun digoreng. Jadilah nasi-goreng-tapi-nggak-pake-nasi-diganti-sama-kentang. Nama yang kepanjangan itu diganti sama ibuku dengan nama yang lebih simpel: Mashed Potato.

Ibuku memang jenius.

Agak lama sih bikinnya, tapi cukup mengenyangkan juga (iyalah, kentang). Dan kalau ada dari kalian yang mau aku sesatkan (?) dengan mashed potato yang tampilannya-nyeremin-sih-tapi-rasanya-oke-juga-kok ini, bersiaplah melaknati some potatoes.

ALAT DAN BAHAN
1 buah panci berukuran sedang (bukan buat mukul maling)
1 buah kuali berukurang sedang (ini juga bukan buat mukul maling)
1 buah spatula kayu (gampangnya: centongan)
3-5 butir kentang sesuai kesanggupan perut
2 butir telur, yang dipake isinya aja nggak sama cangkangnya
2 sdm kornet sapi (*sdm di sini bukan sumber daya manusia, tapi sendok makan)
Garam sebungkus (yang dipake secukupnya aja ya, jangan kalap)

CARA MEMBUAT
  1. Cuci bersih kentang, lalu kupas. [Buat yang ogah ribet dan paling nggak bisa ngupas aku sarankan pake peeler. Bukan, bukan pilem.]
  2. Potong kentang dengan bentuk dadu dengan ukuran sesuai selera. [boleh besar boleh kecil, tapi disarankan sekecil-kecilnya biar gampang waktu digebuk ditumbuk]
  3. Masukan kentang ke dalam panci, beri air, nyalakan kompor, taruh panci di atas kompor, rebus hingga kentang agak lunak, tiriskan. [wess berasa Farah Quinn nih gue]
  4. Tumbuk kentang hingga halus.
  5. Nyalakan api lagi [kalau-kalau tadi dimatiin] kemudian taruh panci di atasnya. Beri sedikit margarin, tunggu hingga panas.
  6. Masukan telur, tunggu hingga agak keras, lalu diaduk.
  7. Masukan kornet, lalu aduk hingga merata.
  8. Masukan kentang yang sudah ditumbuk beserta sedikit garam. Aduk lagi. Jangan bosen ya.
  9. Setelah semuanya tercampur merata, angkat. [oh ya kalau mau dikasih kecap sedikit biar lebih menyerupai nasi goreng atau sekadar nambah rasa juga boleh kok, gak ada yang larang]
  10. Sajikan di piring, makan pakai sendok. Soalnya kurang enak kalau pakai tangan. Paling enak sih disuapin.
[Cooking level: Anak SMP]
TAADAAA.

Buat yang bingung kenapa kentangku nggak kelihatan halus banget itu karena aku payah dalam urusan masak-memasak, sebenarnya. Atau lebih tepatnya dalam urusan kesabaran. Numbuk sampe halus kan rada lama, sementara aku udah laper banget sampe sofa aja udah abis satu [lhoh]. Jadi buru-buru gitu deh. Yah masih bisa dimakan kok. Enak, mengenyangkan, dan sehat! Mungkin, sih.

Kabur, ah.

Thursday 16 May 2013

24 Minutes to Midnight Thought

Aku bukannya bilang bahwa aku nggak kesepian. Masalahnya aku belum menemukan orang yang bisa benar-benar klop denganku. Tahu kan, bisa jadi partner in crime atau berani mengatakan apa yang dia pikirkan bahkan meskipun itu bisa memicu pertengkaran atau orang yang bisa... yah... bertahan denganku.

Aku bukannya nggak mencoba, kau tahu. Aku sudah mencoba. Tapi entah aku selalu berakhir mengejar-ngejar dia seperti anak anjing yang menyedihkan atau aku justru tidak bertahan dengannya karena dia a) menyebalkan b) terus menempeliku ke manapun aku pergi c) aku tidak bisa menanganinya. Yang manapun... tetap saja menyebalkan.

Aku menginginkan teman. Dan mungkin bukan sekadar teman, tapi seorang sahabat. Sahabat yang akan selalu berdiri di sampingku dan mendukungku. Aku bukan tipe orang yang mudah berkata, "Oh, dia sahabatku. Dan dia. Dan dia. Dan dia. Dan dia." Sahabat seharusnya orang yang istimewa. Apa bedanya sahabat dengan teman jika kau memiliki banyak 'sahabat'?

Dan saat aku nyaris mendapatkannya... selalu ada orang lain. Egoku tidak membiarkanku menjadi nomor dua. Aku benci sekali saat aku menganggap seseorang penting dan bagi mereka aku bukanlah siapa-siapa. Kau tahu permainan ironi dalam hidup? Karena aku mulai berlaku seperti itu. Aku menganggap orang yang menjadikanku segalanya hanyalah satu dari banyak 'teman'ku. Tidak pernah ada yang memberitahuku bahwa mematahakan hati orang bisa semenyenangkan ini.

Mungkin hal itu menyenangkan karena didasari dendam. Didasari amarah dan kekecewaan. Begitu mengerikan sampai-sampai seolah aku melupakan kemanusiaanku. Tak terhitung berapa kali aku menyediakan diri untuk menjadi tumpuan, menjadi sandaran, menjadi telinga yang setia mendengarkan, dan mereka menepisku begitu mudahnya seolah aku hanya serangga kecil yang mengganggu. Aku mulai kehilangan keyakinanku.

Aku mulai kehilangan keyakinanku atas teman, sahabat, bahkan mungkin keluarga.

Aku mulai berpikir bahwa aku sendiri, dan akan selamanya begitu.

Aku mulai berpikir bahwa... aku memang tidak berharga.

Aku ingin, ingin sekali, tenggelam dalam kubangan ratapan itu. Merasa diri sampah yang layak diinjak-injak, mengasihani diri sendiri seumur hidupku. Tapi entah sayangnya atau untungnya, aku memiliki terlalu banyak ego dan harga diri yang terlalu tinggi. Aku menolak dan aku mulai bangkit. Aku tak peduli jika aku tak memiliki sahabat atau teman. Kuncinya bukan lagi bagaimana menjadikan seseorang teman dekatmu melainkan bagaimana membuat orang-orang tahan bersamamu. Aku manusia. Aku makhluk sosial. Aku tidak bisa - tidak boleh - membuat orang-orang menjauhiku. Aku harus menjaga kontak dan hubungan. Tapi pada akhirnya, mereka hanyalah tisu yang bisa kubuang seusai aku membersit hidung.

Bukankah begitu mereka memperlakukan aku dulu?

Curhatannya Pencurhat yang lagi Curhat

Tau gaaaaaaak.

Tadi ibuku baca blog aku lhoooohh.

Niatnya cuma mau ngasih liat Antara Ibu dan Hari Ibu, eeeeehh taunya ibuku keterusan baca sampe Cuma Liat Doang di Braga.

Dan gue speechless.

Kenapa gue speechless? Karena post yang itu nyangkut-nyangkut soal sekuhara*. Yaaaaaaahhhhhh mungkin bukan sekuhara juga siiiiiihhhh lebih tepatnya kelainan seksual itu lhoh yang namanya BDSM. Belum tau? Belum baca? Aduh baca dulu deh. #eaaa *promosi jalan terus cuy*

Dan kenapa aku curhat? Soalnya aku masih krisis identitas belum bisa menentukan mau pake 'gue-elo' apa 'aku-kamu' aduh sedih kan. Sedih banget ya. Iya.

AAAAAAARRRGGGGHHHHH............... LO TAU GAK BETAPA STRESSNYA GUE WAKTU IBU GUE BACA ITU POST YANG NYANGKUT SOAL BDSM BETAPA GUE BERHARAP BUMI TERBELAH KEMUDIAN MENELAN GUE BULAT-BULAT MUNGKIN NGGAK JUGA SIH TAPI BIAR DRAMATIS BEGITULAH DAN GUE HARAP-HARAP CEMAS APAKAH IBU GUE BAKALAN TAMPAK NGGAK SETUJU ATAU GIMANA SAMA GUE ADUH YA AMPUN YA TUHAN PADAHAL IBU GUE BARU AJA KETAWA-KETAWA BACA 'Antara Ibu dan Hari Ibu' WAKTU BACA YANG INI SENYUMNYA PERLAHAN SURUT OH MY GOD GUE KIRA UANG JAJAN GUE BAKAL DIPOTONG.

Gue gak tau mau nulis apa lagi. Kenyataannya aku nggak tau apakah aku harus nulis lagi. Eh maksud gue bukannya berhenti nulis gitu, cuma apakah aku harus menghentikan post ini sampe sini aja asli gue bingung parah.

TUH KAN SAYA KRISIS IDENTITAS. *nangis*

Baiklah demi kebaikan dunia dan akhirat sebaiknya dihentikan sampai sini saja. Ciao.

Eh, tunggu, kemarin tuh aku baru aja namatin buku yang judulnya Legend, Los Angeles 2130. Ditulis dari dua sudut pandang masing-masing tokoh. Umumumu ceritanya asyik bangeeet. Jadi tentang seorang cowok tampan nan seksi yang sayangnya berambut panjang (for the record gue nggak begitu suka cowok berambut panjang kecuali mungkin yang sepanjang Adam G. Sevanni) yang bernama Daniel dengan nama samaran Day. Nah si Day ini keluarganya terinfeksi wabah mengerikan, dan dia berusaha nyuri obat dari rumah sakit yang penjagaannya ketat banget. Berhubung Day itu kriminal kelas tinggi jadi menerobos masuk itu nggak begitu sulit. Masalahnya, waktu keluar Day papasan sama Kapten Metias Iparis, dan untuk menyelamatkan diri Day melemparkan pisaunya ke Metias, habis itu dia lari.

Tokoh satu lagi, namanya June Iparis. Dia adiknya Metias, dan ternyata Metias mati OH MY GOD PADAHAL DALAM BAYANGAN GUE DIA ITU KEREN ABIS BERWIBAWA TAPI SAYANG BANGET SAMA ADIKNYA HUWAAAAAHUWAAAAAWAAAAA. Jadi dengan penuh dendam June pun memburu Day. Masalahnyaaaaa negara nggak punya satupun ciri-ciri Day, kecuali sidik jarinya. Daniel (nama asli Day) dianggap mati sebelum dia sempat diakui sebagai warga negara, jadi mereka nggak punya sidik jarinya. Akhirnya waktu June ketemu Day dalam judi pertarungan ilegal, mereka malah saling jatuh cinta gitu deh.

Dan ceritanya seruuuuu cuma sayang Day nggak bikin aku begitu fangirling. Dan berhubung novel ini ada misterinya juga aku bikin semacam hipotesa gitu deh, entah apa artinya itu (siapa yang sebenarnya membunuh Metias? Day nggak dalam keadaan cukup kuat untuk membunuh seseorang - nggak ada orang yang cukup kuat untuk menyerang saat mereka baru saja loncat dari lantai tiga sebuah gedung - selain itu Day juga nggak pernah membunuh orang, dan pisau itu menancap di bahu Metias. Seseorang pasti datang sebelum orang lain dan melihat kesempatan untuk menyerang Metias lalu membunuhnya. Jika ia pintar, ia akan menggunakan sarung tangan atau apapun untuk bisa menutupi sidik jarinya, tapi tidak sampai menghapus sidik jari Day di sana sehingga ada kambing hitamnya. Tapi siapa? [dilanjutkan dengan mendaftar nama orang-orang yang mungkin menjadi tersangka]). Dan tanpa disangka ternyata pelaku dugaanku memang pembunuhnya lho! Woo-hoo! Yang kurang cuma motif pembunuh aslinya aja, cuma karena aku sebenarnya bukan orang yang suka banyak mikir jadi ya sudah, hahaha.

Udah ah udah.

*Sekuhara = sexual harassment [pelecehan seksual]

Monday 13 May 2013

Antara Ibu dan Hari Ibu

Hadooooohh harusnya saat ini gue bantuin ibu gue nyapu rumah tapi aslina gue haro pisan. Sampe kayaknya kalau ada orang yang namanya Haro bakal gue samperin terus gue pegang tangannya sambil bilang, "Nama Anda Haro!"

Terus dia nyahut, "Dan Anda Ream!"

Terus kita berdua ngomong, "Dan kami berdua adalah... HAROREAM!"

#Jedaaaaaarrr

Tapi serius deh, membantu orangtua, apalagi seorang ibu, itu wajib hukumnya. Yah mungkin nggak wajib juga kali ya. Duuh imej orang jaim yang baik hati tidak sombong patuh kepada orangtua dan guru giat belajar menuntut ilmu menjadi tegak menjadi pandu ibuku yang gue bangun hancur sudah. Padahal baru juga ngomong satu kalimat. Anyway, kalau kita membantu orang kan biasanya dikasih imbalan, baik sama orang itu maupun sama Tuhan. Nah kalau membantu ibu tuh kita gak boleh minta imbalan. Bayangkan usaha ibu dalam membesarkan kita, bawa-bawa kita selama sembilan bulan di perut karena kalau mau masukin mobil gak bakal muat (dan lebih berat), terus taruhan nyawa saat mau melahirkan kita (padahal judi dan bertaruh itu kan gak boleh ya), sabar menghadapi kita saat lagi ngambek (siapa yang suka ngambek sambil guling-guling di lantai hayo?), dan yang paling penting di atas segalanya: hanya sihir ajaib ibu lah yang dapat memunculkan barang yang kita cari.

Apalah kita tanpa ibu?

Oh, and anyway, gue juga kemarin nemu gambar yang menarik dari @OMGTrolls. Gambarnya menunjukkan betapa kita tak berdaya tanpa ibu.

True story


BETAPA TAK BERDAYANYA AKU TANPA IBU terutama kalau aku gak bawa duit.

Oh ya dan omong-omong kemarin kan hari ibu yang diperingati secara global tuh. Nah, pertanyaan gue adalah: yang diperingati secara Trans kapan? Eh itu sih stasiun TV swasta ya. Pertanyaan gue, kalau misalnya pengorbanan ibu untuk ngurus kita itu kontraknya seumur hidup kenapa cuma dirayakan setahun dua kali?

BAYANGKAN! Ngurus anak, biayain sekolah, antar-jemput, ekstra sabar, bahkan
kerja keras mengabulkan permintaan anak balasannya cuma itu? BETAPA LAKNAT GENERASI KITA!! Harusnya kita berterima kasih dan merayakan hari ibu setiap hari, setia setiap saat seperti Rexona. Kalau gitu doang sih berarti kita underestimating mothers dong? Merasa bahwa kerja mereka itu nggak ada apa-apanya dan penghargaan yang pantas itu hanya setahun dua kali, atau bahkan setahun sekali.

OH MY GOD KITA KUALAAATT TIDAAAAAKK JANGAN KUTUK AKU JADI LEMARI ES IBUUUUUU.............!!

Padahal dengan tidak menolak saat diminta tolongi oleh ibu sudah cukup untuk menunjukkan betapa kita berterima kasih. YANG ARTINYA GUE HARUS NYAPU SEKARANG JUGA ATAU KALAU NGGAK IBU GUE BAKAL NGUTUK GUE JADI MICROWAVE ATAU KURSI PIJAT KARENA GAK BOLEH NOLAK WAKTU IBU MINTA TOLONG DAN KARENA NGUTUK JADI BATU ITU UDAH TERLALU MAINSTREAM.

Tuesday 7 May 2013

[UPDATE] Heidi

Bayangkan seorang gadis. Eksentrik. Tinggi dan kurus. Usianya empat belas tahun--oke, lima belas. Rambutnya dipotong pendek dengan gaya spike. Hobinya memakai sepatu bot dengan sol tebal atau bot wedges hitam serta selalu menyampirkan scarf atau syal di setiap penampilannya. Memegang gelar Sarjana (S1) dalam bidang I.T. Luar biasa kaya. Begitu kaya sampai-sampai segala benda konkrit di dunia ini bisa ia dapatkan. Untuk lebih gampangnya, bayangkan dia sebagai versi cewek lebih mudanya Tony Stark.

Yah, well, dikarenakan menonton Iron Man 3 sebanyak tiga kali dengan tambahan Iron Man, Iron Man 2, dan The Avengers, sepertinya efek sampingnya adalah ini. Seperti, tahu kan, efek samping aku menonton Resident Evil terus-menerus, aku memotong rambutku pendek seperti Alice.

...

Baiklah, aku mencoba, oke. Aku coba upload fotonya, tapi sulit sekali, menyebalkan. Ah, omong-omong. Kembali ke versi cewek muda Tony Stark ini. Aku berencana menamainya Heidi. Dan... kenapa aku memberitahukan ini padamu? Yah, mungkin karena aku juga berencana untuk menjadikannya seorang tokoh cerita bersambung. Yeap, di sini. Right here. Kalau jadi, maka setiap cerita akan aku post pada hari Kamis. Yaaahh kalau jadi sih. Kalau kita beruntung, maka kalian akan segera bertemu Heidi dan sepak terjangnya (apasih). Tapi kalau kita tidak beruntung... maka kalian paling cuma dapat satu episode. Yah, begitulah. *shrugs*

UPDATE.
     LOL just kidding gue males. 

































































































 

Mental Breakdown

Pernah merasa senang? Excited? Karena bisa berguna, atau karena seseorang memercayaimu? Gembira karena kau diberi sebuah tugas yang tampak penting dengan tanggung jawab yang bukan main-main? Saat ketika kau merasa bahwa kau mampu, bahwa ternyata kau bisa, dan akhirnya ada orang lain yang percaya bahwa kau memang bisa.

Lalu kedok terkuak. Kau tidak pernah benar-benar penting. Keterlibatanmu tidaklah begitu berpengaruh pada organisasi. Kau merasa dirimu membantu tapi ternyata kau hanyalah kelebihan; surplus. Tanpa campur tanganmu pun pekerjaan tetap berjalan lancar. Mereka memberimu posisi itu karena kau meminta. Kau tak pernah benar-benar menjadi bagian dari mereka.

Saat kau sadar, euforia itu menghilang. Digantikan kehampaan dan rasa kecewa. Kau merasa seperti seonggok kotoran yang entah bagaimana tak terlihat, tak tercium. Tak disadari keberadaannya. Segala yang kau lakukan sia-sia, karena ternyata ada orang lain yang telah lebih dulu melakukannya, bahkan lebih baik darimu. You feel like a complete shit. Kemudian yang kau rasakan adalah malu. Malu karena pernah yakin bahwa ada orang yang percaya padamu. Malu karena kau pernah merasa begitu senang atas jabatan palsu itu. Malu karena kau sudah berkoar-koar ke sana kemari akan tetapi hasil kerjamu tidak dianggap vital ataupun membantu. Malu karena ada yang jauh lebih baik darimu.

Kemudian realita menamparmu. Kau tidak berguna. Kau tidak pernah berguna. Jabatan itu terbuka bagi siapa saja, bukan orang-orang khusus yang terpilih. Kau tidak terpilih. Kau meminta, dan kau diberi. Gaya bicaramu seperti seorang yang hebat padahal kau hanyalah seorang Librarian biasa yang bahkan tidak dapat menunaikan tugas dengan baik. Kau ceroboh. Kau memasukkan buku yang telah tercantum ke dalam database. Kau mengacaukan segalanya. Kau mempermalukan dirimu sendiri. Kau ingin resign, tapi kau tak tahu bagaimana caranya. Kemudian kau mengasihani dirimu sendiri dan menulisnya di web diari milikmu. Kau ingin semua orang tahu bahwa kau sedang dilanda kemalangan. Kau ingin orang lain melihat sekeras apa kau men-judge dirimu sendiri. Kau ingin orang tahu. Kau ingin semua orang tahu. Meski kau tahu mereka tidak peduli. Dan mereka tidak tahu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi padamu. Dan mereka tidak peduli. Mereka tidak peduli. Kenapa mereka harus peduli?

Monday 6 May 2013

The Guy I Dreamt Twice

Sejujurnya aku mulai bertanya-tanya apakah pria yang muncul dalam mimpiku itu tak pernah lagi muncul karena aku lari darinya. Ia muncul dalam mimpiku dua kali, terlalu sering untuk dianggap sekadar bayangan. Dan, suka atau tidak suka, sosoknya tampak lebih nyata dibanding hal lainnya.

Baiklah. Pertama kali aku melihatnya, terlalu gelap bagiku untuk mengidentifikasi wajahnya. Kedua kali aku melihatnya, ia hanyalah siluet yang berkacak pinggang lelah menolak mengejarku lebih jauh. Hei, kamu gak bisa menyalahkan aku karena berlari darinya, meski aku sendiri menyesali hal itu. Aku tadinya dikejar cewek sinting. Seandainya aku tahu cewek sinting itu akan berubah menjadi pria itu, pria seseksi itu, aku gak akan lari. Janji. Aku gak akan pernah mau lari darinya. Tapi itu udah kejadian. Air udah jadi susu. Aku bahkan gak ngerti apa maksudnya itu.

Tapi aku memang mengenal pria itu. Dan kenapa ia ada dalam mimpiku? Entahlah. Mungkinkah itu pertanda sesuatu? Aku nggak tahu. Tapi dia... hanya ada. Di sana. Kamu tahu apa itu dunia paralel? Itu adalah semacam dimensi hidup lainnya. Bukan, bukan akhirat. Hanya saja ada dunia lain dengan kehidupan yang lain. Mungkin gak terlalu beda jauh dengan kita. Apakah menurutku pria itu semacam datang dari dunia paralel? Jangan tanya. Apakah aku percaya dunia paralel itu ada? Mungkin.

Kalau boleh jujur, aku sedih. Sedih tidak bisa bertemu dengannya lagi, bahkan meski hanya di mimpi. Sedih karena dia tak lagi ada di sana untuk menyelamatkan bokongku yang senang mencari masalah. Sedih karena... ya sedih aja sih, masalah ya buat lo!? -___-

*hapus air mata*
*hela napas*

Pria itu... sangat menyukai fotografi. Dia bisa menghilang selama berjam-jam, kadang bahkan berhari-hari, dan satu-satunya yang kamu tahu hanyalah dia pergi hunting foto. Agak ekstrem, memang. Karena baginya nggak ada yang terlalu berbahaya demi foto yang bagus. Ia berdedikasi pada hobinya. Dan berkat hobinya itu pula, ia bisa menjadi salah satu fotografer muda berbakat yang diakui. Tapi dia tidak berbakat. Dia hanya terlalu mencintai seni grafis, dan ingin memperlihatkan kecantikan alam pada orang. Oh, dan nekat. Dia nekat. Sangat nekat. Karena nekat itulah ia bisa mendapatkan foto yang unik. Dasar gila.

Tapi meski gila dia juga yang melihatku menangis pertama kali. Dia yang berhasil bikin aku tertawa lepas sewaktu mukaku tertekuk seribu dan hatiku lebih panas lagi karena amarah. Di atas segalanya, dia sahabat. Teman terdekat. Angka untuk gambar. Sepatu kiri untuk sepatu kanan. Satu-satunya orang yang pernah meyakinkan bahwa aku nggak gila, nggak aneh, adalah dia.

Lalu dia menghilang.

Kemudian aku terperosok. Dalam. Di hutan. Hampir terisap ke dalam kehampaan yang nyata, kegelapan tanpa dasar. Dan dia datang. Dan aku hampir menangis. Atau mengatainya. Aku nggak ingat yang mana. Aku keburu terbangun. SIALAN.

Seandainya bisa, aku ingin minta bantuan Nabi Yusuf mentafsirkan mimpiku. Setali tiga uang, kan. Arti dari mimpi-mimpi itu dapat kuketahui, bisa tahu wajah Nabi terganteng Allah kayak gimana, dan bisa ngecengin juga. Duh, astagfirullah. Bercanda kok. Cuma setengah bercanda sih.

Tapi aku masih menunggunya kembali.
Menunggunya kembali datang ke mimpi.
Menunggunya kembali datang.
Menunggunya kembali.
Menunggunya.
Menunggu dia.
Meski kadang kala, aku terbangun di pagi hari dengan wajah bersimbah air mata.

Akuilah, aku membuat rima yang keren.