Monday 6 May 2013

The Guy I Dreamt Twice

Sejujurnya aku mulai bertanya-tanya apakah pria yang muncul dalam mimpiku itu tak pernah lagi muncul karena aku lari darinya. Ia muncul dalam mimpiku dua kali, terlalu sering untuk dianggap sekadar bayangan. Dan, suka atau tidak suka, sosoknya tampak lebih nyata dibanding hal lainnya.

Baiklah. Pertama kali aku melihatnya, terlalu gelap bagiku untuk mengidentifikasi wajahnya. Kedua kali aku melihatnya, ia hanyalah siluet yang berkacak pinggang lelah menolak mengejarku lebih jauh. Hei, kamu gak bisa menyalahkan aku karena berlari darinya, meski aku sendiri menyesali hal itu. Aku tadinya dikejar cewek sinting. Seandainya aku tahu cewek sinting itu akan berubah menjadi pria itu, pria seseksi itu, aku gak akan lari. Janji. Aku gak akan pernah mau lari darinya. Tapi itu udah kejadian. Air udah jadi susu. Aku bahkan gak ngerti apa maksudnya itu.

Tapi aku memang mengenal pria itu. Dan kenapa ia ada dalam mimpiku? Entahlah. Mungkinkah itu pertanda sesuatu? Aku nggak tahu. Tapi dia... hanya ada. Di sana. Kamu tahu apa itu dunia paralel? Itu adalah semacam dimensi hidup lainnya. Bukan, bukan akhirat. Hanya saja ada dunia lain dengan kehidupan yang lain. Mungkin gak terlalu beda jauh dengan kita. Apakah menurutku pria itu semacam datang dari dunia paralel? Jangan tanya. Apakah aku percaya dunia paralel itu ada? Mungkin.

Kalau boleh jujur, aku sedih. Sedih tidak bisa bertemu dengannya lagi, bahkan meski hanya di mimpi. Sedih karena dia tak lagi ada di sana untuk menyelamatkan bokongku yang senang mencari masalah. Sedih karena... ya sedih aja sih, masalah ya buat lo!? -___-

*hapus air mata*
*hela napas*

Pria itu... sangat menyukai fotografi. Dia bisa menghilang selama berjam-jam, kadang bahkan berhari-hari, dan satu-satunya yang kamu tahu hanyalah dia pergi hunting foto. Agak ekstrem, memang. Karena baginya nggak ada yang terlalu berbahaya demi foto yang bagus. Ia berdedikasi pada hobinya. Dan berkat hobinya itu pula, ia bisa menjadi salah satu fotografer muda berbakat yang diakui. Tapi dia tidak berbakat. Dia hanya terlalu mencintai seni grafis, dan ingin memperlihatkan kecantikan alam pada orang. Oh, dan nekat. Dia nekat. Sangat nekat. Karena nekat itulah ia bisa mendapatkan foto yang unik. Dasar gila.

Tapi meski gila dia juga yang melihatku menangis pertama kali. Dia yang berhasil bikin aku tertawa lepas sewaktu mukaku tertekuk seribu dan hatiku lebih panas lagi karena amarah. Di atas segalanya, dia sahabat. Teman terdekat. Angka untuk gambar. Sepatu kiri untuk sepatu kanan. Satu-satunya orang yang pernah meyakinkan bahwa aku nggak gila, nggak aneh, adalah dia.

Lalu dia menghilang.

Kemudian aku terperosok. Dalam. Di hutan. Hampir terisap ke dalam kehampaan yang nyata, kegelapan tanpa dasar. Dan dia datang. Dan aku hampir menangis. Atau mengatainya. Aku nggak ingat yang mana. Aku keburu terbangun. SIALAN.

Seandainya bisa, aku ingin minta bantuan Nabi Yusuf mentafsirkan mimpiku. Setali tiga uang, kan. Arti dari mimpi-mimpi itu dapat kuketahui, bisa tahu wajah Nabi terganteng Allah kayak gimana, dan bisa ngecengin juga. Duh, astagfirullah. Bercanda kok. Cuma setengah bercanda sih.

Tapi aku masih menunggunya kembali.
Menunggunya kembali datang ke mimpi.
Menunggunya kembali datang.
Menunggunya kembali.
Menunggunya.
Menunggu dia.
Meski kadang kala, aku terbangun di pagi hari dengan wajah bersimbah air mata.

Akuilah, aku membuat rima yang keren.

No comments:

Post a Comment