Sunday 25 November 2012

Aku Bermimpi...


Aku bermimpi berada di sebuah mall. Kukira aku sedang berada di sana bersama dengan teman-teman bimbelku, aku mengenakan kaus lengan panjang warna hitam yang pas di badanku, sabuk berwarna putih polos yang gaya, celana denim biru tua dan boots sebetis berwarna cokelat. Setidaknya seingatku begitu. Tapi kemudian terjadi kekacauan entah apa. Yang kuingat aku membanting tubuh seorang temanku ke dinding metal dan menuduhnya dalang di balik segala kekacauan ini. Kami terpencar. Gadis yang kutuduh mengejarku, dan salah seorang satpam mendapatinya sedang melakukan hal yang sama padaku seperti yang sebelumnya kulakukan padanya satu lantai dari tempat kami semula berada. Gadis itu kabur sebelum satpam itu dapat menjangkau kami dan aku, yang tahu bahwa meskipun di matanya aku tak bersalah akan tetap dibawa ke kantornya untuk mengorek keterangan kenapa kami berkelahi di mall, juga berlari pergi. Satpam itu mengejarku. Lantai mall itu licin, aku kesulitan berbelok, tapi toh entah bagaimana aku sampai di lantai dasar. Ada satpam lainnya, secara mengejutkan wajahnya mirip dengan pak Joko Widodo. Tapi aku tidak terkejut, heran, ataupun geli. Setelah dipikir sekarang, dalam mimpi bisa terjadi apa saja, kan? Aku ingat berpikir tentang satpam yang mirip pak Jokowi itu, “Padahal tiga tahun lalu masih ramah dan santai, sekarang kelihatan lebih siap dan siaga,” seolah aku mengenalnya. Bagaimanapun juga, aku masih tetap bermain kucing-kucingan dengan gadis tadi, dan aku ingin segera keluar dari tempat ini. Aku mulai berlari menuju pintu keluar tepat saat aku melihat gadis itu berada di seberang ruangan. Aku kembali bersembunyi di balik elevator sebelum ia melihatku. Gadis itu berjalan, tampaknya masih mencariku, dan jarak kami hanya tinggal beberapa meter lagi. Akhirnya aku nekat berlari melewati satpam “Jokowi” yang tampak siaga saat melihat gadis itu. Saat aku berlari melewatinya, satpam “Jokowi” tampak seolah memberiku jalan dan alih-alih menahanku, ia mulai mengikuti gadis itu. Aku berlari keluar. Aku tidak menoleh ke belakang tapi aku merasa seolah aku diikuti. Mungkin gadis itu. Aku tidak tahu kenapa aku berpikir begitu, kemungkinan besar karena ialah yang tampak begitu bernafsu ingin mendapatkanku. Secara ajaib pakaianku berubah menjadi kaus tanpa lengan, celana denim panjangku berubah menjadi denim pendek dengan warna biru yang lebih muda dan boots berubah menjadi sepatu keds yang nyaman digunakan berlari (meskipun aku tidak merasakan apapun dari fisikku, tidak bahkan saat gadis itu membenturkan tengkorakku ke dinding). Kemudian aku mulai berlari.
     Seingatku, ada cukup banyak mobil yang lalu-lalang, tapi saat aku melewati sebuah perempatan, mobil-mobil tampak berkurang drastis menyisakan hanya satu atau dua mobil yang terkadang lewat di jalan raya satu arah yang begitu besar. Kalian yang orang Bandung mungkin bisa membayangkannya sebagai jalan Merdeka, karena kebetulan dalam mimpiku jalannya memang tampak seperti jalan Merdeka, lengkap dengan gedung Balai Kota di kanan dan toko sport serta apotik dan bank dan gereja di sisi kiri. Aku awalnya berlari di trotoar, kemudian aku mulai berlari di tengah jalan dan... aku merasa sangat ringan.
     Ringan. Cepat. Gembira.
     Kau tahu saat kau bermimpi dan kau ada di sana seringkali rasanya kau seolah melihat dari mata dirimu sendiri dan terkadang berubah menjadi seolah melihatnya dari mata orang lain? Seperti menonton film?
     Saat tubuhku dibenturkan oleh gadis itu, aku merasa seolah aku melihat diriku berusaha dihajar oleh gadis itu.
     Saat aku melarikan diri darinya, aku merasa seolah akulah yang melarikan diri darinya.
     Saat aku berlari keluar dari mall itu, aku melihat tanganku yang mendorong orang-orang minggir dari jalanku.
     Kini saat aku berlari dengan ringannya, aku merasa seolah menonton diriku sendiri, dengan kamera memfokuskan lensanya padaku. Nyaris seperti menonton film Dredd, adegan ketika orang-orang menggunakan Slo-Mo. Hanya saja, yang tampak bergerak lambat adalah aku, sementara yang lainnya tampak seperti kelebat kabur dengan warna-warna yang seolah dipertajam. Menakjubkan. Aku bahkan seolah bisa melihat keringat yang menetes keluar dari pori-poriku. Rambutku yang berwarna hitam di atas dan cokelat kemerahan di bawah berkibar di belakang kepalaku. Sinar matahari mempertajam warna merah rambutku, dan, menjadikannya tampak seperti lidah api yang menyala. Sesaat, aku seolah melihat diriku sendiri bercahaya.
     Lalu aku berbelok ke kanan dan jalan mulai menanjak. Aku berlari melewatinya seolah itu bukan masalah, meskipun aku bisa melihat—dan merasakan—bahwa napasku pun sudah mulai terengah-engah. Tanjakan itu basah, seolah baru saja hujan. Saat nyaris berada di puncak tanjakan aku melihat bahwa jalan yang menantiku tampak rusak dan air berkubang di sana-sini, berwarna cokelat seperti tercampur dengan tanah. Aku menjejakkan kakiku, selangkah lagi sebelum sampai ke puncak dari tanjakan itu, dan aku melompat.
     Atau mungkin, lebih tepat kalau disebut aku melayang.
     Aku melayang dengan kemiringan sembilan puluh derajat. Mataku terbuka lebar, dan kali ini aku melihat langit biru diselingi warna putih. Jantungku seolah terhenti. Aku menutup mataku, dan membukanya lagi (kau bisa bilang aku berkedip, tapi kalau aku bilang, “Aku berkedip...” akan terasa berlalu dengan cepat, sementara kalau aku menutup lalu membuka mataku terasa lebih lambat), dan kakiku menjejak tepat di depan kubangan air besar yang mungkin bisa disebut sebagai samudera bagi seekor semut mungil. Aku berlari lagi. Masih dengan ringan dan bebas.
     Tidak ada lagi rasa dikejar-kejar seseorang. Aku menoleh ke belakang, dan melihat gadis itu—yang siluetnya entah bagaimana tampak seperti seorang lelaki tinggi dengan bahu yang lebar—telah menjadi bayangan hitam di belakangku, menyerah lelah mengejarku.
     Aku tetap berlari.
     Aku berlari hingga aspal digantikan tanah dan gedung digantikan pohon, sesemakan, dan sulur-sulur yang saling berebut berusaha mendapatkan sinar matahari. Ya, di sini gelap. Satu-satunya beton di tempat ini ada di sebelah kiri, tampak mirip dinding beton untuk menahan tanah longsor. Aku berlari seolah aku mengenal tempat ini. Mungkin aku memang mengenalnya. Aku merasa pernah melihat tempat ini sebelumnya, di mimpiku yang lain. Saat itu, seingatku aku merasa takut sekaligus penasaran, karena jalan ini katanya mengarah ke lubang besar yang seperti black hole. Dalam mimpiku yang itu, aku menemukannya, dan nyaris terhisap ke dalamnya. Sebuah sulur datang dan aku menggapainya, kemudian seseorang menarik sulur itu dan aku terbangun.
     Kali ini, aku tidak menemukan lubang hitam besar mengerikan itu. Aku juga tidak terbangun—setidaknya belum. Alih-alih, aku menemukan sebuah selokan besar dengan dua selokan yang lebih kecil di kanan-kirinya. Jadi beton yang tadi itu memang sebuah bendungan, tapi bukan untuk membendung tanah dari longsor melainkan air. Selokan-selokan itu tampak basah sehabis hujan, dan aku akhirnya berhenti berlari dan berusaha mengatur kembali napasku. Dedauan yang ada tampak hijau dan embun sehabis hujan tampak menjadi titik-titik berkilauan seperti berlian di permukaan daun yang berlilin.
     Selokan yang besar, yang berada di bawahku dan tampaknya memiliki kedalaman dua setengah meter mungkin adalah pintu keluar bagi air yang dibendung, mengarah langsung pada sungai yang meski tak terlihat olehku tapi aku bisa mendengar kecipak arusnya yang membentur batu atau membentur arus lainnya lagi. Aku tidak tahu orang gila mana yang mau memiliki rumah di samping bendungan, tapi selepas tembok yang membatasi tanah dengan pintu keluar bendungan, tampak sebuah pintu kayu berwarna cokelat di sebelah kiri.
     “Mau coba main?”
     Seorang gadis yang tampak seperti keturunan China menyibak dedaunan dan muncul di hadapanku. Ia tersenyum dengan bibir dan matanya. Aku kenal dia. “Mita?”
     Paramita hanya mencabut dua helai daun yang sangat besar itu, dan menyerahkan satu padaku. “Asyik lho kak berseluncur di sini habis hujan. Selokannya licin, dan sungainya gak terlalu dalam. Ikut?”
     (Untuk kalian yang bertanya-tanya bagaimana mungkin aku bisa ingat percakapan ini... aku tidak ingat. Tapi aku ingat bahwa Mita membicarakan hal ini, aku hanya tidak ingat bagaimana ia berucap dan kata-kata apa yang meluncur keluar. Tapi, ya, memang tentang ini.)
     Pintu yang berada di sisi bendungan terbuka dan nenekku berjalan keluar. “Dilla!” panggil nenekku, samar-samar aku ingat beliau tampak senang, “dari mana saja kau? Dicariin sama semua orang, ayo sini masuk!”
     Nenekku berjalan masuk dan membiarkan pintu terbuka. Paramita mengalihkan pandangan dari nenekku dan tersenyum kembali. “Jadi, kak? Ikut?”
     Aku tidak berbicara. Aku hanya menatapnya, kemudian kami meluncur melewati sungai.
     Lalu gelap. Dan beberapa detik berikutnya, aku terbangun.
     Dipenuhi rasa dingin rindu yang mendesakku untuk berlari.

No comments:

Post a Comment