Tuesday 21 October 2014

Euforia

Jerit dan teriakan terdengar begitu keras dari satu dua tiga gedung. Suara-suara itu tak mau berhenti dan orang-orang berlarian dan bumi berguncang dan dinding bergetar dan suara-suara itu menggema ke sekeliling tempat. Ke arah manapun kami menoleh suara itu terus terdengar.

Begitu keras hingga akhirnya Nao memutuskan meninggalkanku.

*

"Hai Toriii," sapa Nao saat Tori lewat untuk kedua kalinya, kali ini tangannya memegang boks makanan. Di belakangnya, Annisa dan Diana mengikuti. Melihat gelas plastik berisi cairan coklat dalam gelas Annisa, aku sontak menyeringai.

"Mau majak!"

Annisa menjerit kecil lalu berlari, dengan penuh semangat aku mengikutinya. Saat aku berhasil menjajarinya, akhirnya ia menyerah sambil tertawa dan menyodorkanku bubble drink rasa coklat itu, yang tanpa tahu malu kusedot banyak-banyak.

"Udah! Udah!"

Aku mengeluarkan suara yang mirip tawa dari dadaku, karena mulutku penuh. Aku mengerucutkan bibir dan memberinya kecup jauh dan berbalik. Diana mengangkat bubble drink miliknya yang berwarna biru dan - seharusnya - memiliki rasa bubble gum. "Dilla, mau sabun?"

"Ew," aku mengerutkan wajah jijik. "Gak. Makassih."

Diana tertawa dan masuk ke kelasnya. Saat aku kembali duduk di hadapan Nao di depan lab. kimia, ia sedang menyuruh Tori masuk kelas.

"Udah, makan sana," ujar Nao sambil mengial ke arah kelas Tori.

"Oke," jawab Tori pelan sambil tersenyum.

"Aku berasa tua tau kalau sama dia," Nao mengempaskan punggungnya ke tiang tembok (atau apapun itu namanya). "Soalnya dia tuh sering merhatiin orang, kan. Orang ngobrol, ngumpul, atau ngapain, dia ikut. Terus dia nemeniiin aja terus, sampe lupa makan. Makanya kusuruh makan."

Aku hendak menyahut, mengatakan sesuatu tentang Kamu induk ayamnya Tori ciap ciap tetapi kemudian speaker berbunyi dan suara seorang wakasek menggema ke mana-mana. Suaranya dipantulkan dari satu sudut ke sudut lain di ruang terbuka ini hingga kami tidak bisa mendengar apapun. Meskipun begitu, mereka yang berada cukup dekat dengan kelas-kelas sontak mendekati pintu untuk mendengar pengumuman itu.

Setidaknya tiga puluh detik kemudian, sorak sorai terdengar. Jerit dan teriakan terdengar begitu keras dari satu dua tiga gedung. Suara-suara itu tak mau berhenti dan orang-orang berlarian dan bumi berguncang dan dinding bergetar dan suara-suara itu menggema ke sekeliling tempat. Ke arah manapun kami menoleh suara itu terus terdengar. Begitu keras hingga akhirnya Nao memutuskan meninggalkanku dan menghampiri seorang guru yang lewat di depan ruang Tata Usaha. Euforia itu begitu meledak-ledak dan dengan cepat menular meski aku masih menerka-nerka apa sebabnya, tapi tidak sesulit itu menebak alasan teriakan-teriakan primitif kemenangan dari mulut-mulut remaja SMA. Suara-suara itu terdengar seolah kami adalah para tawanan dalam penjara selama beberapa tahun yang dibebaskan tanpa syarat. Seperti teriakan para terjajah yang akhirnya merdeka. Seolah obat/vaksin bagi kanker, HIV/AIDS, ebola, ALS, MERS, dan berbagai penyakit mematikan lainnya telah ditemukan.

Begitu keras, jika sang malaikat meniup trompet tanda kiamat telah datang pun tak akan terdengar.

Nao kembali padaku dengan mata berseri-seri. "Pulang!" katanya. "Sekolah dibubarkan!"

"Pulang!?" aku melonjak. "PULANG?"

Aku ikut bersorak-sorai bersama wajah-wajah yang hanya kuketahui namanya satu persen dari keseluruhan, dengan mereka yang tidak kukenal namun untuk lima menit yang singkat itu kami semua satu kesatuan yang padu.

Karena kami semua gembira sekolah dibubarkan.

No comments:

Post a Comment