Tuesday 25 September 2012

Berbicara Sendiri = Sakit Jiwa?

Topik ini kembali kuangkat (habis, lama gak apdet dan gak tau mau nulis apa sih, hihi :p).

Jadiii yang udah pernah baca blog post-ku yang berjudul Kejiwaan ayo acungkan tangaaaann!

*Penonton seketika hening*

Oke, krik mengheningkan cipta, mulai.

Kalau ada yang belum baca, monggo dibaca dulu. Kalau udah... yaa baca aja lagi kali-kali lupa, hihi.

Oh ya, selain karena kebetulan aku gak tau mau nulis apa aku lagi pengin ngangkat topik itu, aku juga agak-agak terinspirasi gitu dari statistik pengunjung blog. Ada yang dateng setelah searching entah di search engine mana dengan kata kunci, "Kebiasaan anak suka berbicara sen..." Aku gak bisa liat kelanjutannya, tapi kuasumsikan maksudnya adalah, "Kebiasaan anak suka berbicara sendiri," dan diketik oleh guru atau orangtua atau wali anak yang memiliki murid/anak/anak perwalian yang suka bicara sendiri. Kenapa? Karena ada kata "anak". Kalau remaja sebaya pasti akan menggunakan kata "orang". Kecuali, yah, dia merasa dirinya itu gak berada di jalur yang benar dan berpikiran itu cuma terjadi pada anak-anak sampai usia remaja aja. Mungkin, mungkin.

Omong-omong, percaya deh, semua orang itu berbicara sendiri.

Ada yang cuma di salah satu fase hidupnya (umumnya antara anak sampai remaja), ada yang dalam beberapa fase hidupnya (sekitaran anak-remaja sampai young adult--duh istilah Indonesianya apa ya? Pokoknya yang umurnya 20-an gitu deh!). Orang dewasa gimana? Pasti mereka juga pernah berbicara sendiri, bahkan bisa jadi mereka masih berbicara sendiri. Aku, secara jujur menyatakan, belum pernah ada--atau setidaknya aku belum pernah menemukan--studi yang menunjukan perilaku berbicara sendiri pada anak-anak, remaja, ataupun orang dewasa. Tapi logikanya begini: Semua orang pasti pernah berbicara sendiri. Jangan tanya padaku soal Nabi dan Rasul, zamannya udah jauh banget, tapi manusia abad 15 ke atas pasti pernah berbicara sendiri.

Pertanyaan: Biasanya kalau kamu bicara sendiri tentang apa?

Yakin deh, gak ada yang aneh tentang itu, selama masih dalam standar batas "normal". Normal itu relatif. "Normal"ku belum tentu sama dengan "normal"mu. Pun tingkat kenormalan bagimu belum tentu sesuai dengan tingkat kenormalan masyarakat. Tapi soal standar masyarakat kita bahasnya kapan-kapan aja (baca: kalau aku lagi gak ada kerjaan banget baru kita bahas ._. Wkwkwk). Oh ya, pertanyaan yang kuberi itu gak perlu kamu jawab padaku, cukup kamu jawab ke dirimu sendiri aja. Sekadar pertanyaan retoris gitu. Yah, maksudku, kalaupun kalian mau jawab padaku, emang gimana caranya? Mending kalau punya akun Google atau akun apalah, bisa komen. Kalau nggak?

Kalau aku, biasanya aku berbicara sendiri itu kalau lagi membayangkan sebuah cerita, atau memperbaiki hal-hal yang udah kulakukan dalam satu hari, makanya kalau ditanya kapan biasanya aku berbicara sendiri, aku pasti jawab di penghujung hari. Karena pada saat itu apa yang udah kulakukan bisa kutelaah dan kupelajari lagi, terkadang aku tambahi bumbu penyedap biar makin seru, dan pada saat itulah aku seringkali berbicara sendiri. Yaaah sekadar dialog antar tokoh gitu deh. Kalau lagi membayangkan (atau memvisualisasikan imajinasiku, terserah yang mana) aku juga suka bikin percakapan antar pelaku. Yang ini bisa kapan aja, tapi ya biasanya di penghujung hari juga.

Jangan mengecap orang yang suka berbicara sendiri itu sebagai orang yang memiliki penyakit kejiwaan, karena memang nyatanya begitu; semua orang pasti pernah berbicara sendiri. Beberapa mau mengakui, dan beberapa lainnya tidak. Sering atau tidaknya seseorang berbicara sendiri memang pastinya tidak sama antara satu individu dengan individu lainnya. Mengapa? Aku sendiri tidak tahu. Tapi yang pasti, manusia yang memang diciptakan berbeda satu sama lainnya akan selalu memiliki hal yang berbeda dengan manusia lainnya. Jadi gak akan pernah sama, gitu? Nggak juga, kesamaan pasti bisa terjadi, seperti misalnya dalam mode ataupun ide (terutama untuk ide yang juga terilhami dari satu hal yang sama). Tapi dalam pemikiran, kayaknya perbandingan untuk kesamaannya itu 1:100.000.000. Kenapa kayaknya? Ya emang siapa gue...

Sampai saat ini, satu-satunya pemikiran logis yang kudapatkan untuk alasan seseorang suka berbicara sendiri dengan taraf yang masuk pada "sering"--yah, katakanlah, delapan hari seminggu tapi gak 24 jam full--adalah karena satu faktor: Kesepian.

Um, analogi mudahnya begini: Manusia makhluk sosial -> membutuhkan teman berbicara -> tidak ada orang yang bisa diajak bicara -> berbicara sendiri.

Hah? Apa? Itu bukan analogi? Oh jadi itu bagan ya? Whut? Bukan juga? Ya apa aja deh, pokoknya begitu!

Aku sendiri orang yang pernah kesepian DITAMBAH tidak memiliki kemampuan sosialisasi yang memadai DITAMBAH tidak terlalu berminat untuk bergaul di dunia nyata. Aku bukan seorang yang tergila-gila pada gadget alias gadget freak, tapi aku memang lebih tertarik untuk bergaul di dunia maya. Kenapa? Karena di dunia maya kita bisa menjadi siapa saja dan apa saja. Gimana mengenai bahayanya? Antara bahaya dunia maya dan dunia nyata itu sama, intinya: jangan terlalu banyak mengumbar diri. Itu aja kok. Tapi kenapa aku kurang berminat sama dunia nyata? RIBET. Di dunia maya, kalau kita melakukan sesuatu yang gak begitu orang sukai minta maafnya tuh gampang. Tinggal kirim foto/cokelat/bunga permintaan maaf virtual dan selesai. Tapi di dunia nyata? Hiiiiihhh...

Yah, tapi gimanapun juga aku harus masuk ke dunia nyata kan? Dan akhir-akhir ini juga aku nggak begitu berminat lagi sama dunia maya. Jadi gimana? Ya kembali lagi kayak dulu sebelum aku kenal internet (gila, gue emang anak tahun berapa? Berasa tua banget), lebih banyak bergaul dengan imajinasi dan diri sendiri. Untungnya sekarang aku tau passion aku di mana, yaitu di menulis. Dan dengan ingatan yang cukup kuat (meski kadang gak konkret--tapi itu untuk memori dari luar, karena memori dari dalam ternyata konkret-konkret aja tuh) kalau aku gak sempet nulis, masih bisa kutulis nanti waktu sempet. Aku gak tau penulis dan calon penulis lain gimana, tapi kalau inspirasi datang padaku, aku gak membiarkan inspirasi itu mentah gitu aja. Aku olah dulu di pikiranku dibumbui oleh imajinasi. Begitu semuanya lengkap, aku simpan di folder khusus gitu. Eaaak berasa keren banget deh gue! Oh ya, apa yang kutulis selalu persis dengan yang kubayangkan pertama? Nggak selalu, dikarenakan oleh faktor (A) ternyata begitu ditulis kurang sreg dengan itu dan (B) emang udah keselip entah ke mana (baca: lupa) ._. Tapi yang penting intinya masih utuh! Iya gak? #ngeles

Dan, yep, saat membayangkan semua itu, aku berbicara sendiri.

Sebelum aku menulis ini, yaitu saat aku menyusun kata-kata untuk blog post yang ini, aku menyusunnya sambil bergumam sendiri. Dengan tambahan jalan bolak-balik ruang tamu-ruang TV-ruang tamu-ruang TV. Yaah sekadar melemaskan kaki aja siiih dan siapa tau bisa jadi kurus, hihihi.

Satu-satunya cara mengurangi kadar berbicara sendiri adalah dengan banyak bergaul dengan manusia yang nyata. Aku gak menuduh orang-orang yang berhubungan denganmu lewat dunia maya itu komputer atau--lebih parah lagi--tokoh fiksi semata, cuma rekaan. Tapi apa kamu udah pernah ketemu langsung? Belum? Sampai saat di mana kalian ketemu langsung, mereka gak nyata. Orang-orang di sekitarmu yang bisa kamu lihat, sentuh, dan dengar adalah apa yang nyata. Semakin banyak kamu bergaul dengan mereka, maka frekuensi berbicara sendirimu akan semakin berkurang. Apa kamu orang yang sama sepertiku, orang yang tidak begitu berminat karena dunia nyata itu menyusahkan? Kamu gak akan pernah maju kalau selalu mengambil jalan mudah yang, dalam kasus ini, menghindari pergaulan nyata. Aku masuk ke dalam masyarakat (meski masih dalam kadar yang terbatas mengingat aku masih di bawah umur), aku sebal pada mereka, tapi aku bertahan. Jangan pernah lari dari kenyataan. Masyarakat adalah kenyataan. Sejak kapan gue ngomong sekeren ini??? *berasa kayak badass*

Untuk orang-orang yang memiliki orang yang suka berbicara sendiri di sekitar kalian, sebelum kalian menghakimi mereka, kalian harus jujur: Pernahkah kalian berbicara sendiri? Aku yakin hanya beberapa di antara kalian yang akan menjawab YA. Kenapa? Karena manusia ditakdirkan menjadi makhluk sombong yang selalu melihat kejelekan orang lain terlebih dahulu tanpa melihat kejelekan sendiri. Tapi takdir masih bisa diubah kalau kalian mau berusaha, ibaratnya membengkokan tiang listrik oleh satu orang. Sulit, tapi bukan mustahil. Perlu waktu dan kerja keras sebelum kalian mau jujur pada diri sendiri. Sampai saat itu tiba, kumohon jangan menghakimi orang. Baik yang suka berbicara sendiri atau kasus lainnya. Dihakimi itu nggak enak, percaya deh. Dan kalau kalian sungguh-sungguh peduli pada orang-orang yang suka berbicara sendiri yang ada di sekitar kalian, kalian akan berusaha mengajaknya masuk ke dalam pergaulan yang nyata, bukan yang merupakan imajinasinya. Kalau menurut kalian sudah terlalu akut, bawa dia ke seorang psikolog. Tapi HARUS melalui persetujuan darinya. Percuma kalau dianya nggak mau, buang-buang duit tau gak. Mendingan duitnya dipake buat beli red velvet cake #eh

Percaya deh, bicara sendiri itu wajar selama nggak sampai 25 jam sehari, 10 hari seminggu, 45 hari sebulan.

Salam kece.

2 comments:

  1. lol... gue kira gue gila gegara suka ngomong sendiri, gu suka memvisualisasikan hal2 delusional yang ada di kepala gue.. lol :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete