Monday 27 February 2012

Kejiwaan

Seperti apa definisi orang gila? Ah, itu sih gampang. Pakai baju compang-camping, dekil, dan tatapan gak fokus. Apa yang meyakinkan semua orang bahwa orang itu orang gila dan bukan sekadar gelandangan?

Pembicaraan yang mereka lakukan.

Terkadang mereka berbicara pada tembok, tempat sampah, pohon, bahkan bungkus lemper yang sudah dibuang. Ya, orang gila identik dengan kebiasaan mereka yang suka berbicara sendiri, atau dengan teman imajiner yang tidak dapat kita lihat. Bisa jadi salah satu dari mereka itu merupakan pengidap skizofrenia. Skizofrenia merupakan salah satu penyakit kejiwaan di mana si penderita dapat mendengar, melihat, atau merasakan apa yang tidak orang lain rasakan. Ini bukan indra keenam. Pemilik indra keenam dapat mendengar, melihat, dan merasakan apa yang tidak orang lain rasakan, tetapi itu makhluk alam lain. Bagaimana dengan penderita skizofrenia? Jika alam lain itu merupakan alam khayalan mereka sendiri, maka mereka bisa juga dibilang sebagai pemilik indra keenam. Tapi tidak, skizofrenia membuat si penderita merasakan hal yang hanya ada dalam khayalan. Fiksi. Tidak nyata. Surreal. Bohongan.

Lalu bagaimana dengan kebiasaan kebanyakan orang yang suka berbicara sendiri?

Ketika seseorang berbicara sendiri, tidak lantas orang tersebut menjadi orang gila. Akui saja. Kalian semua setidaknya pernah berbicara dengan diri sendiri dalam satu hari pada satu minggu. Itu hal yang normal. Ada orang yang berbicara sendiri sedang merencanakan apa yang mungkin akan ia lakukan atau katakan. Ada yang sedang memarahi diri sendiri atas kebodohan di masa lampau. Ada orang yang berbicara dengan diri sendiri saat sedang curhat.

Kok bisa?

Umumnya itu adalah hal yang wajar. Tetapi jika dilakukan terus menerus, dapat mengindikasikan bahwa orang tersebut merupakan orang yang lingkaran pergaulannya kecil, kurang mendapat perhatian, atau memang ada bakat penyakit kejiwaan. Jangan salah. Bukan hanya keahlian yang memiliki bakat. Penyakit kejiwaan pun memiliki bakat, tetapi dengan persentase yang kecil sekali. Jika salah seorang orangtua dari seorang anak adalah seorang pengidap penyakit kejiwaan, maka ada kemungkinan 1/9 bagi anak tersebut untuk ikut mengidap penyakit kejiwaan. Bagaimana dengan sisa 8/9-nya? Itu ditentukan oleh lingkup sosial, pendidikan, dan pertumbuhan anak itu sendiri.

Sementara untuk orang yang tidak memiliki garis keturunan penyakit kejiwaan dalam keluarganya, itu tetap merupakan sesuatu yang wajar. Maksudku, siapa sih, yang mau bercerita pada orang lain tentang insiden terbangun dengan "kasur basah" pada orang lain, sementara umurmu sudah enam belas tahun? Terkadang manusia bercerita bukan untuk meminta saran, tetapi untuk didengarkan. Dan kenyataannya, tidak ada pendengar lain yang lebih baik selain Tuhan dan diri sendiri.

Gimana kalau anak autis? Apa mereka pengidap penyakit kejiwaan?

Anak autis berada di dua titik paling ekstrim dalam hidup manusia. Di satu sisi mereka merupakan anak-anak yang jenius, tapi di sisi lain mereka tidak dapat melakukan apapun tanpa bimbingan orang lain. Mereka jenius karena memiliki tingkat fokus yang luar biasa. Ketika orang lain pikirannya terpecah antara membayar utang, mengerjakan pekerjaan rumah, dan chatting dengan teman, anak autis bisa menyelesaikan satu hal di antaranya dengan cepat karena pikiran dan konsentrasi mereka yang tidak pernah teralihkan. Tapi, ada beberapa kasus di mana anak autis menunjukkan perilaku aneh. Terkadang mereka begitu asyik dengan dunianya sendiri; ini cukup berbahaya, karena bisa jadi bahkan saat terjadi kebakaran atau kecelakaan lainnya, anak autis tidak akan beranjak dari tempatnya. Anak autis bukanlah pengidap penyakit kejiwaan, mereka hanya anak-anak biasa yang memiliki kebutuhan khusus. Jadi adalah salah besar jika ada seorang teman yang terlalu asyik bermain BlackBerry sendiri lalu kita sebut sebagai anak autis. Tidak. Autisme--sekali lagi--bukanlah penyakit kejiwaan, hanya suatu kelebihan yang membawa serta kekurangan bagaikan dua sisi koin. Anak autis juga anak biasa; mereka makan, minum, dan bermain, hanya saja mereka "lebih" daripada kita.

Balik lagi ke soal kejiwaan. Apa yang bakal terjadi kalau orang terlalu banyak bicara sendiri?

Jawabannya mudah. Mereka bisa mengidap penyakit kejiwaan. Gila. Tidak waras. Jika suatu saat kau menemukan salah seorang temanmu terlalu sering berbicara sendiri--dan kau cukup peduli padanya--ajak ia berkomunikasi. Seringkali orang terlalu banyak bicara sendiri karena tidak memiliki teman untuk berbagi pendapat. Jangan kucilkan mereka, karena itu hanya akan memperparah keadaan.

No comments:

Post a Comment