Monday 27 February 2012

Trust is fragile. Hard to earn, but easy to lose.
 Dulu aku pernah bermasalah dengan seorang teman dekatku--sebut aja N--yang begitu mirip seperti saudariku sendiri. Yah, kayak Thata gitu deh. Bedanya, dengan Thata aku nyaris gak pernah punya masalah, tapi dengan yang ini... well... kayaknya masalah hobi banget menjambangi kami. Sebut saja. Rasa cemburu, iri, kesalahpahaman... dan yang tidak mengejutkan, semua itu awalnya dariku. Ketidakdewasaan? Mungkin.

Masalah kedua terakhir yang menimpa kami (yang beneran terakhir itu soal lain, tapi semoga gak akan pernah bermasalah lagi--amin) adalah ketika ia jatuh sakit. Dan, hei, maksudku, kalau menurutku aku benar-benar seorang teman dekatnya, kenapa aku tidak diberi tahu? Sampai akhirnya pacarnya lah yang memberitahuku. Di situ aku merasa... entahlah. Disisihkan. Dikhianati. Ditipu. Ditinggalkan. Oh, semua perasaan hiperbola negatif terasa olehku. Dan aku mengatakan hal yang--tidak kejam--tetapi kekanak-kanakkan. Benar-benar kekanak-kanakkan, benar-benar ucapan anak TK. Dan itu membuat sahabat, sepupu kedua, dan pacarnya, well, marah.

Sepupu kedua dan sahabatnya take no action for me, tapi pacarnya benar-benar kecewa padaku. Dan sungguh, list orang-orang yang benci aku kecewakan secara berturut-turut adalah diriku sendiri, ibuku, (orang yang kuanggap) sahabatku, dan (orang yang kuanggap) teman dekatku. Baik N dan pacarnya sendiri ada di urutan ketiga dan keempat. Tapi bahkan tanpa pacarnya N (yang inisialnya D--kayak aku :O) menegurku atau apa, aku bisa dibilang nyaris seketika juga menyesali perbuatanku. Tapi yang namanya penyesalan sih selalu datang terakhir--entah itu berlama-lama kemudian atau seketika itu juga. Nasi udah jadi bubur ayam tanpa kacang. Apa boleh buat. Kalau aku cuma duduk diam menyesali dan berpikir, "Kalau saja... kalau saja..." itu gak akan mengubah keadaan. Jadi aku mengambil tindakan. Aku minta maaf. Aku berusaha meluruskan. Aku juga berusaha menjauhkan diri dari N. Tapi gagal. Kenapa? Aku bukan orang yang disiplin, aku kangen dia dan kita ngobrol lagi -_____-"

Anyway, meskipun aku dan N sekarang udah biasa kayak dulu lagi, tapi karena pacarnya udah terlanjur kecewa, hubunganku sama dia gak bisa kayak dulu lagi. Dengan D, maksudku, bukan dengan N. Eh, BTW, jujur ya, aku paling malas nulis nama orang pakai inisialnya, tapi ini hak privasi, mau gak mau aku gak boleh langgar. Hauh.

Kembali lagi ke D; karena terlanjur kecewa, ya itu, dia lamaaaaa banget gak nge-email aku, pun aku gak berani nge-email dia. Baru kemudian saat sepupu kedua N (yang, omong-omong, udah cukup sering ngobrol sama aku) nawarin kami semua (aku, D, kembarannya D, sahabat/bodyguard N dan kakaknya) untuk liburan, baru akhirnya D ngobrol lagi denganku--tapi itu gak bisa betulan disebut obrolan. Couple of mails, talking about flight and holiday? Are you serious?

Tapi ternyata... N bilang, setiap kali dia ngomongin aku, D selalu kelihatan kesal. Nah, itu dia. Kalau dulu kami cukup sering ngobrol (meskipun lewat email), harus merelakan dia pergi, dan mungkin tak akan kembali. Biarkan cinta bersemi di bulan Januari... Eh, kok jadi gini? Gak, gak, gak, gak, maksudku adalah, meskipun D sedikit banyak udah kuanggap kakak (lebih dominan BANYAK), ini kan kesalahanku sendiri. Apa boleh buat. Ternyata D (kemungkinan) masih kesal sama aku. Jadi waktu kukirim email juga dianggurin. Eh, apa mungkin karena "Unimportant Mail" kutaruh di subjek dan dia mengabaikan email gak penting, ya? Gak tau deh, keburu patah hati (╥╥)

Moral of the story: Kalau ngelabrak orang yang sakit tapi gak ngasih tau kita, jangan lewat SMS, karena bisa meninggalkan jejak. Mendingan lewat telepon, atau kalau orangnya gak jauh samperin ke RS sekalian, supaya gak ada jejak tertinggal yang bisa membuktikan bahwa kita bersalah *eh

No comments:

Post a Comment