Friday 10 February 2012

Unnamed

Aku terlahir tanpa nama. Entah karena merasa tak ada nama yang cocok atau karena malas memikirkannya, sejak kecil orang tuaku pun hanya memanggilku, "Nak". Tapi lima belas tahun yang lalu, ketika seorang keluarga dari Australia pindah ke sebelah rumahku dan anaknya menjadi temanku, untuk pertama kalinya aku punya nama. Ia memanggilku "Unni".
        "Kenapa Unni?" tanyaku waktu itu.
        "Karena kedengarannya manis," jawabnya singkat sambil memalingkan wajahnya.
        "Ayolaah..." bujukku.
        "Baik, Unni itu singkatan dari 'Unnamed', artinya 'Tanpa nama'," katanya.
        Aku hanya terdiam waktu itu, tapi jari-jari tanganku memilin jari-jari tangannya. Aku bergumam, "Terima kasih."

~Ten years later~
"Unniiii....!" aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil.
        "Layla? Kenapa kamu lagi-lagi berlari-lari seperti anak kecil begitu?" tanyaku. "Nanti kamu bisa terpeles--ah."
        Baru saja kubilang, Layla terpeleset jatuh di lantai sekolah yang licin. Semua orang di koridor saat itu kaget dan berusaha membantu Layla berdiri. Yang sebenarnya tak diperlukan. Gadis itu tahan banting sejak dulu.
        "Baru saja kubilang, kan?" aku berkacak pinggang menunduk menatap Layla yang sedang membereskan seragamnya dari kusut.
        "Maksudnya 'lagi' itu apa, Unni?" tanyanya sambil nyengir lebar. "Halo."
        "Halo," balasku singkat. "Kau selalu berlari seperti anak kecil, yang juga selalu diakhiri dengan sebuah plesetan yang dramatis."
        "Makna plesetan yang kau maksud dengan yang 'plesetan' itu berbeda, Unni," Layla menjajari langkahku yang sudah berbalik. "Plesetan yang kau maksud adalah tergelincir. Plesetan yang orang-orang tahu adalah permainan kata."
        "Plesetan kata juga permainan yang membuat kata mirip dengan satu kata lainnya tapi bermakna berbeda, tidak jauh dengan yang kumaksudkan." Kataku.
        "Beda dooong..." kata Layla keras kepala. "Kalau kubilang beda ya beda!"
        "Tau ah, susah ngomong sama orang bodoh."
        "Aduuh, Unni iniiii....."
        "Diam."
        Layla benar-benar terdiam. "Sekarang kamu mau ke mana? Pulang?"
        Aku mendengus. "Aku tidak punya rumah."
        "Jadi kamu mau ke mana?"
        "Ke tempat orang itu."
        Layla membeku dengan wajah tegang. "Ke... sana? Unni, kamu yakin mau ke sana?"
        Aku mengangkat bahuku acuh. "Hanya sekedar menengok."
        "Ta... tapi... tapi kan..." Layla terbata-bata.
        "Tapi apa?"
        "Tempat itu seram sekali..."
        Aku tersenyum. "Dan aku tidak seram?"
        Dengan polos, Layla mengangguk.
        "Oh, sial," aku tertawa. "Terserah saja, kau takut tempat itu atau tidak, tapi aku tidak, dan aku mau pergi ke sana."
        Layla diam sebentar lalu menjawab, "Aku gak mau ngikut."
        "Terserah," aku mengedikkan bahuku, tetap pada pendirianku. "Aku toh, akan tetap pergi juga. Dengan atau tanpa kau."
        "Unni keras kepala!"
        Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan. "Dadah."

Krieeet...
        Aku menatap pintu kayu besar itu. Pintu masuk kediaman keluarga Roosevelt, rumah teman main lamaku dulu. Memang nama mereka sama dengan nama Presiden Amerika, tapi temanku bersumpah mereka tidak memiliki hubungan darah apapun.
        Dulu aku juga sering main ke rumah ini, tapi sambutan untukku yang dulu dengan yang sekarang berbeda. Dulu, tempat ini bersih, rapi dan terawat. Sekarang debu menumpuk, tirai-tirainya sobek, abu di mana-mana, dan kecoa ataupun tikus berkeliaran. Masa-masa kejayaan rumah ini telah musnah. Aku rasanya masih bisa mencium bau asap dan ketakutan yang menjadi awal kehancuran rumah ini.
        Sekitar sebulan yang lalu, kebakaran besar melanda rumah ini dan beberapa rumah di sekitarnya, tak terkecuali rumah orang tuaku dulu. Orang-orang rumah lain berhasil selamat, karena kebakaran itu memang terjadi saat musim liburan, semua keluarga sedang pergi berlibur entah ke mana.
        Semua, kecuali keluarga Roosevelt.
        Kebakaran itu membunuh semua anggota keluarga Roosevelt. Dari Kakek, pasangan suami-isteri Roosevelt, hingga ketiga anak mereka. Sahabatku, tentu saja, salah satu yang ikut meninggal terbakar.
        Aku menghampiri korden terdekat dan mengaitkannya ke pengait korden di tembok lalu dengan sapu tanganku, aku membersihkan debu di jendela. Cahaya matahari menerobos masuk. Lalu aku mengambil sebuah tongkat kayu dengan kumpulan ijuk di ujungnya. Benda yang dulunya sapu itu, kugunakan untuk membersihkan debu-debu di lantai sampai setidaknya lebih layak diduduki, lalu meletakkan tasku di sana. Aku berlutut dan mengeluarkan sesuatu dari tasku. Selembar kertas dan pulpen.
        Aku mulai bersenandung kecil, berusaha memanggil arwah teman masa kecilku itu. Pulpen yang kupegang lama kelamaan menjadi hangat, dan mulai menulis:
        Halo.
        Aku membelalakkan mataku tak percaya. Padahal kukira permainan jelangkung itu tidak benar-benar bisa dilakukan. Tapi pulpenku menulis tanpa kugerakkan.
        "Michael?" panggilku.
        Pulpenku menulis lagi, Halo Unni.
        "Michael!" aku tak dapat menahan rasa senang dan lega dalam suaraku. "Michael, oh Michael! Kau tahu betapa aku merindukanmu?"
        Michael membalas, Tentu saja kau harus merindukanku, aku kan, keren.
        Aku tertawa. "Hei, kalau kulepaskan pulpennya, apa kau akan berhenti menulis juga? Apa pulpen itu akan terjatuh tanpa daya?"
        Coba saja, katanya.
        Dengan berdebar-debar, aku melepaskan pulpen itu dan pulpen tersebut... tetap tegak berdiri. Aku tersenyum lega.
        "Syukurlah," kataku. "Kukira aku harus mengorbankan lenganku pegal hanya untuk berkomunikasi denganmu."
        Wah, sampai segitunya. Kamu naksir ya, padaku? Awal cinta terlarang dua dunia, nih.
        "Huu! Geermu itu lho, dari dulu gak berubah!"
        Kalau berubah, nanti kamu sedih dong. Lagian, mau gimana juga kan, aku masih tetep mirip sama Taylor Lautner.
        "Huek! Aduh, Michael, sarapanku keluar, kan!"
        Kebiasaan jorokmu itu gak berubah, Unni. :P
        "Heh! Kamu barusan ngejulurin lidah padaku, ya?"
        Galaknyaaa... Takut ih, takuuut...
        "Kalau takut, nangis dong!"
        Mamaaa... Unni ngancem aku!
        Aku tertawa. "Kamu gak melanjutkan 'perjalananmu'?"
        Hening, tidak ada jawaban. Lalu, Michael perlahan membalas, Kamu ingin aku pergi?
        "Bukan!" ujarku cepat, "aku gak mau kamu pergi, tapi..."
        Suara tawa yang akrab di telingaku, tapi pada saat yang bersamaan membuat bulu kudukku meremang menggema. Harusnya kau lihat wajahmu! kata Michael, lucu sekali! Apalagi saat aku tertawa.
        "Sial, kau tertawa sekali lagi, kubunuh kau, Michael!"
        Secara teknis, aku seolah bisa merasakan Michael menyeringai. Aku memang sudah mati, kok. Ah, tapi kalau kita nanti bertemu lagi, kau bisa bunuh aku lagi, ya? Hahaha, takut!
        "Aku serius, Michael, apa kau tidak 'pulang'?"
        Aku masih punya waktu beberapa jam lagi.
        Beberapa jam lagi? "Michael," panggilku, "apa maksudnya?"
        Angin berhembus kencang, dan pulpenku tergeletak begitu saja. Dengan agak panik aku mengguncang-guncang pulpen itu. "Michael? Michael!"
        Kaca salah satu jendela pecah, dan pulpenku--Michael--menulis lagi.
        Waktu empat puluh hariku habis, katanya, aku menunggumu selama tiga puluh sembilan hari dan kau baru datang pada hari terakhir.
        "Michael, maafkan aku. Aku bahkan baru tahu ada cara ini selama beberapa jam terakhir."
        Kau membuatku menunggu. Aku menunggumu, berharap kau datang. Dan saat kau datang, kau tertawa seolah-olah semuanya baik-baik saja.
        "Demi Tuhan, Michael! Tak ada yang baik-baik saja! Aku merindukanmu. Aku depresi kehilanganmu, dan baru kemarin aku mengetahui permainan ini!"
        PERMAINAN?
        "Ah, maksudku..."
        JADI BAGIMU SEMUA INI PERMAINAN?
        "Bukan, Michael!"
        DI MATAMU PUN, KEBERADAANKU HANYALAH SEORANG SAHABAT LAMA YANG TELAH MENINGGAL! KAU MELUPAKANKU, UNNI!
        "Michael!"
        AKU BENCI KAU! KAU, UNNI. GADIS CENGENG YANG EGOIS DAN MUNAFIK. KAU INGAT SIAPA YANG MEMBERIMU NAMA?
        Angin berhembus makin kencang, dan satu kaca jendela lagi pecah. "Aku tahu, kau. Tapi aku..."
        BENAR! AKU! TAPI KAU MELUPAKANKU!
        "Michael, aku tidak bermaksud..."
        Lebih baik kau mati.
        Hanya itu. Lalu tak ada apa-apa lagi. Angin berhenti berhembus dan semuanya hening. Menelan kekecewaan, aku membereskan semuanya dan keluar dari rumah itu. Saat aku menyebrang, tiba-tiba kudengar seseorang berteriak, "Awas!"
        Lalu suara klakson terdengar, cahaya, teriakan, dan benturan di tubuhku. Aku bisa merasakan daraku mengalir keluar dan samar-samar melihat orang-orang berlarian ke arahku. Aku juga melihat seraut wajah yang begitu familiar padaku, menyeringai penuh kebencian. Ah, Michael, maafkan aku...

No comments:

Post a Comment