Thursday 1 May 2014

Sayang atau Mengekang?

Selama ini, kita - anak-anak dan remaja - selalu diberitahu bahwa aturan yang seabrek dari orangtua adalah karena mereka menyayangi kita.

Benarkah begitu?

Menurutku, ada perbedaan yang tipis antara menyayangi seseorang dan tidak menginginkannya jauh darimu. Dan, yah, bagian kedua adalah bentuk egoisme semata.

Aku tumbuh dengan dua jenis orangtua; nenekku yang selalu melarangku ini dan itu karena beliau menyayangiku dan ibuku yang membebaskanku melakukan apapun yang kumau asalkan 1) memang legal bagiku untuk melakukan itu dan 2) aku siap menanggung risiko yang mengikuti dalam pilihanku. Tanpa perlu ditanya, aku jauh lebih menyukai cara pengasuhan ibuku. Nenekku menjagaku sedemikian ketat karena ia khawatir, tapi aku bukan piaraan yang baru akan keluar setelah majikannya menyuruhnya ke luar dan kembali saat majikannya memanggil.

Dan, yep, ini akan menjadi artikel yang cukup serius untuk blogku.

Ada perbedaan antara menyayangi dan mengekang seseorang. Ada pula perbedaan antara memercayai dan melepaskan seseorang. Baik ibuku dan nenekku menyayangiku, tapi di mataku, ibuku memercayaiku. Nenekku tidak.

Ibuku membebaskanku melakukan apapun yang kumau karena ia memercayaiku. Ibuku percaya bahwa aku tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh seperti... yah... katakanlah... melompat ke depan bus... atau menari dan menyanyi di sekolah seperti orang gila... atau mengatakan pada seniorku bahwa dia aseksual... atau nembak mahasiswa-calon-guru yang praktik di sekolahku.... Mari kita berpura-pura bahwa aku memang belum dan tidak pernah melakukan satupun dari hal di atas.

Oke, bercanda. Ibuku tahu pasti aku bisa melakukan hal-hal tersebut dan kami berdua seringkali terkejut atas kebodohanku yang sepertinya selalu menemukan cara untuk mengejutkan dunia. Mungkin bukan dunia. Mungkin dunia kami berdua. Ha. Dan omong-omong, mahasiswa itu emang ganteng banget dan dia bisa berbagai bahasa jadi jangan salahkan aku.

Ibuku membebaskanku melakukan berbagai hal, karena ia percaya padaku, dan yakin bahwa aku akan menanggung setiap risiko yang datang dengan setiap pilihan dan tindakan yang kubuat. Misalnya, sewaktu aku melompat ke depan bus, ibuku nggak tau kalau aku melompat ke depan bus, tapi dia begitu mencintaiku dan yakin bahwa aku akan melompat menghindari bus itu. Dan ibuku yakin bahwa aku sanggup menerima penolakan mahasiswa-calon-guru itu. Dan ibuku nggak akan terkejut seandainya suatu hari ia dipanggil oleh guru karena aku karaoke di atas gedung sekolah. Tapi yang terpenting adalah, ibuku menyayangiku, dan ia cukup menyayangiku untuk tahu bahwa aku nggak akan bisa dibatasi oleh pagar aturan setinggi tiga meter. Aku mungkin pendek, tapi aku pasti akan bisa keluar dengan satu atau lain cara. Dan ibuku cukup mengenalku untuk memutuskan memercayaiku atas setiap tindakanku. Yang, kalau boleh kukatakan, kemungkinan besar adalah kesalahan terburuk yang pernah ia buat selama 46 tahun 5 bulan 7 hari 12 jam 26 menit hidupnya. Tapi tidak apa-apa, aku tetap mencintainya.

Sementara nenekku, menganggap bahwa untuk keselamatanku, seharusnya aku dipakaikan pakaian terbaik dan dikunci di dalam kamarku. Tapi itu tidak apa-apa, kan? Toh ia melakukannya untukku. Untuk keselamatanku. Untuk keamananku. Tidak boleh berbicara dengan orang asing. Jangan menaiki kendaraan umum yang kosong. Jangan menerima permen dari orang tak dikenal. Jangan mengikuti orang aneh secara sukarela maupun terpaksa. Jangan berbicara di atas pukul sepuluh. Jangan pernah meninggalkan salat wajib. Jangan tidur siang. Jangan mendengarkan musik menggunakan headset. Jangan menggunakan baju berlapis ke luar rumah kecuali badai salju. Jangan begini. Jangan begitu. Dan segalanya dibenarkan olehnya dan masyarakat karena ia menyayangiku.

Dan biar kubilang, mengekang seseorang, baik itu cucu maupun putri(atau putra)mu bukanlah tanda sayang!

Kau tidak ingin dia pergi darimu! Kau takut kalau ia mengembangkan sayapnya dan pergi menyongsong dunia, ia tidak akan kembali padamu. Yah, biar kuberi tahu satu hal: kami akan selalu kembali! Tapi, hanya jika kau memberi kami kebebasan untuk pergi!

Orangtua tersayang,
Jika kalian membaca surat ini, berarti aku telah pergi. Maafkan aku karena melarikan diri, tapi aku tidak sanggup bertahan di dalam sangkar yang kalian buat untukku lebih lama lagi. Aku butuh untuk menjelajahi dunia. Aku butuh untuk memuaskan hasratku, rasa ingintahuku.
Aku mengerti kalian melakukan semua ini untuk kebaikanku, tapi terkadang, kita hanya harus memercayai dan melepas hal yang kita sayang; bertahan dengan keyakinan bahwa mereka akan kembali kepada kita. Menggenggamku lebih lama tidak akan membuatku bertahan, aku hanya akan membenci kalian. Karena itu, sebelum itu terjadi, aku ingin keluar. Sebentar saja, mungkin beberapa bulan, mungkin beberapa tahun. Aku tidak tahu. Tapi sampai saat itu tiba, tunggulah aku di rumah. Aku akan kembali.
Aku sayang kalian.

Salam,
Anakmu yang Tidak Lagi Sanggup Terkungkung.

Lihat! Bahkan seorang anak yang pemberani telah pergi dan menuliskan surat untuk kedua orangtuanya! Oke, itu aku yang tulis, tapi kalian mengerti maksudku.

Jadi, sesungguhnya kalian memang menyayangi kami, atau sekadar tidak percaya kepada kami; merasa harus mengurung kami di suatu tempat agar patuh dan tidak pernah jauh? Rasa sayang bukanlah pembenaran untuk merantai orang-orang yang kausayangi.

Pikirkanlah. Seorang anak telah membenci orangtuanya karena tidak dibiarkan bebas. Dan kebencian itu membusuk di dalamnya.

No comments:

Post a Comment