Sunday 8 June 2014

Mungil, Lucu, dan... Lemah

Haiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.

Aku tahu aku udah hampir seminggu nggak nulis apapun, dan besok aku masih harus menghadapi neraka dunia ujian kenaikan kelas sampai Selasa. Rencananya siiihhh habis itu aku mau cuti sekolah tiga hari (persetan dengan remedial! nah bercanda) dan baru akan mendaratkan pantat besarku di sekolah Senin minggu depannya lagi, tapi dengan baik hati teman sekelasku mengingatkan bahwa Rabu kami masih punya agenda foto kelas.

Sialan.

Hei, kami udah pernah nyoba foto kelas sebelumnya, tapi yang datang cuma lima orang dari tiga belas (waktu itu belum ada murid pindahan, kan) dan bahkan satu dari lima orang itu udah pindah jurusan. Jadi itu bukan foto kelas yang relevan.

Menurut jadwal, aku masih harus berhadapan dengan penjaskes, sastra, bahasa Sunda, matematika, sejarah Indonesia, dan seni rupa. Tapi kurasa kita semua tahu apa yang akan kulakukan untuk mempersiapkan diri, jadi itu nggak perlu kubahas.

Omong-omong, kemarin aku baru aja ketemu sama seorang kawan lama yang tinggal di kota yang berbeda denganku. Ajay, panggilan kesayanganku untuknya. Aku punya banyak teman yang menyebalkan, tapi tidak perlu diragukan lagi dia adalah satu-satunya teman menyebalkan bermuka banyak yang kusayangi. Salah satu kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan dalam hidup singkatnya adalah membuka celah kecil bagiku untuk menyelusup masuk ke dalam jiwa terdalam dan terkelamnya (itu tempat yang menjijikkan bagi sebagian besar orang, tapi bagi kami yang memiliki jiwa sesat dan -- apa itu istilahnya -- kafir, itu adalah taman kota yang menyenangkan), lalu membiarkanku melihat seperti apa dirinya yang sesungguhnya -- sesungguh dan setulus yang bisa ia tampilkan.

Kami nongkrong di salah satu kafe di Bandung (dan seperti yang kita semua tahu, Bandung punya banyak BANGET kafe, resto, dan tempat nongkrong lainnya), dan sementara orang-orang yang datang ke sana, baik dengan teman, kekasih, maupun keluarga, sibuk mengobrol atau justru sibuk sendiri mengutak-atik gadget, kami berdua sibuk... membaca.

Kalian tahu kenapa aku senang berteman dengan orang-orang yang suka membaca? Dan bukan cuma "suka" seperti yang dikoar-koarkan oleh kebanyakan remaja zaman sekarang dan aku tahu frasa barusan bikin aku kedengeran tua banget tapi persetan. Maksudku suka membaca adalah membaca dan menganalisis isi buku tersebut. Dalam bentuk sederhana dan soknya, aku suka berteman dengan orang-orang yang tau mana buku bagus dan nggak. Orang-orang yang, menggunakan bahasa khas Janet, intelek dan berpikiran terbuka. Atau istilah lain, orang-orang yang berotak.

Paragraf barusan memang sangat menghina, tapi terserahlah. Aku lagi nggak punya tenaga untuk bersikap manis dan berusaha menghargai opini orang lain. Seperti, kalau kamu penggemar Me And You Versus The World, no pun intended, to me you are lame. Payah dan nggak tau bacaan bagus.

Oke, jadi kenapa aku senang berteman dengan orang-orang yang suka membaca? Karena kami bisa nongkrong berdua (atau berkelompok; tergantung jumlahnya), nggak melakukan apapun selain membaca dan tenggelam dalam dunia masing-masing, tanpa ada satu orang pun yang merasa diabaikan.

Maksudku, lihat teman-temanku yang menjadi teman karena keadaan, kayak teman sekolah misalnya. Mereka yang nggak suka membaca atau punya kegiatan lain yang bisa bikin mereka tenggelam dalam dunia sendiri nggak akan terima kalau kuacuhkan gara-gara aku lagi baca buku. Mereka bakal terus-terusan berusaha mengajakku mengobrol dan itu teramat sangat mengganggu, like, I'm trying to read, find your own business, biach!

Yeah, ada juga yang nggak secinta aku terhadap kegiatan menerjemahkan tulisan menjadi imaji dalam otak, tapi dia bisa mengabaikan sekelilingnya, seperti aku mengabaikan sekelilingku, saat mendengarkan musik. Dan meskipun selera humornya payah, dia punya otak yang dipakai secara optimal, makanya kami berteman. Itu, dan karena dia menghormati privasiku saat sedang memegang buku yang terbuka. Kecuali buku pelajaran. Dia dengan senang hati akan menggangguku. Ya Tuhan terima kasih karena telah mengirimiku salah satu malaikatMu.

Jadi, Ajay dan aku duduk di satu meja yang sama, dengan meja yang tidak diisi apapun kecuali buku, plastik sampul buku yang dizhalimi, dan dua gelas mocha milkshake (thanks for the treat!). Lalu, hidung kami kelelep dalam buku.

Saat aku sudah setengah jalan membaca Rahvayana: Aku Lala Padamu karya Sujiwo Tejo dan Ajay sedang membuka komik ketiga atau keempatnya lah baru kami mulai mengobrol. Ajay bercerita bahwa di beberapa volume sebelumnya (komik yang ia beli nggak semuanya berjudul sama, sementara aku cuma beli Rahvayana dan Bumi karya Tere Liye -- ripiu menyusul yak :v), Ciel -- Black Butler -- mengalami hilang ingatan. Ingatan Ciel yang terhapus adalah sekitar empat tahun terakhir hidupnya, dan ia kembali pada memori ketika ia "dijual" dan sering disiksa -- ditusuk, dipukuli, dll. Pengalaman yang mengerikan, terutama bagi bocah berusia sepuluh tahun. Singkat cerita, dalam usaha memulihkan memori Ciel yang terhapus itu, ia jadi lemah dan sering menangis. Sementara sebagian besar penggemar Black Butler menganggap Ciel yang "baru" itu "lucu dan imut", Ajay justru menganggapnya menjijikkan.

Perlu dicatat, Ajay adalah seorang yang sangat skeptis, sinis, dan realistis menjurus ke pesimis. Aku nggak pernah berhasil jadi orang yang sinis, jadi kurasa aku agak mengaguminya untuk itu. Dan oleh karena kesinisannya, wajar Ajay bukannya bersimpati pada Ciel malah jijik. Well, Ciel memang selama ini terkenal karena arogansi, sinisme, dan sifat pesimistisnya. Belum lagi dia punya butler yang sebenarnya jelmaan iblis. Klop lah semua itu sebagai kebalikan dari bocah muda tak berdaya yang cuma bisa menangis kalau ada orang yang lebih besar darinya menghampiri.

"Dan aku tuh nggak ngerti, kenapa anak cengeng kayak gitu bisa orang anggap lucu," curhat Ajay berapi-api. "Kayak, selama ini Ciel tuh keren banget kaan, dan tiba-tiba jadi lemah kayak gitu. Di mana lucunya, coba?"

"Karena," kataku, jelas-jelas berusaha membuat diri sendiri terdengar bijaksana, "manusia itu memang udah kodratnya butuh untuk merasa lebih."

Dan itu benar. Manusia butuh untuk merasa lebih. Lebih hebat, lebih kuat, lebih menawan, lebih berpengaruh, dan lain-lain. Dalam kasus Ciel yang biasanya memosisikan dirinya di atas orang lain, sungguh suatu kepuasan tersendiri melihatnya tergelincir jatuh ke titik rendah karena suatu memori yang ia kubur dalam-dalam. Adalah satu kenikmatan untuk mengetahui bahwa ia -- meskipun fiktif, seorang earl muda, dan super sinis -- ternyata seorang manusia juga.

Menurutku pribadi, karakter Ciel itu super menyebalkan. Yeah, oke, aku nggak ngikutin manganya, tapi serius deh, dia itu nyebelin banget. Satu-satunya yang membuatnya adorable adalah karena sang mangaka menggambarkannya dalam figur moe super kawaii. Dan kalau kamu nggak ngerti istilah ini, yah... kamu payah.

Tapi yang lebih menyebalkan adalah orang-orang yang menganggapnya imut sewaktu berada di titik terendah hidupnya. Yah, pengalamannya sewaktu menjadi budak belian itu memang mengharukan dan aku menangis mendengarnya *sarcasm tone*, dan dimaklumi kalau Ciel jadi semacam trauma, tapi, hei, itu nggak seharusnya membuatnya jadi imut. Dan mungkin memang bukan hal itu yang membuatnya jadi imut, tapi kepuasan orang-orang untuk melihat bahwa Ciel kini levelnya berada di bawah mereka.

Kalau kalian nggak mengerti teoriku, sini deh kujelasin.

Seperti yang tadi udah kubilang, manusia butuh untuk merasa lebih. Manusia merasa butuh untuk diperhatikan, karena saat mereka diperhatikan, itu berarti orang yang memerhatikan -- katakanlah derajatnya -- berada di bawah si yang diperhatikan. Derajat yang kumaksud di sini nggak ada hubungannya dengan level ekonomi, sosial, ataupun hal lain. Tapi, ugh, gimana ya menjelaskannya. Ya pokoknya begitulah.

Ketika hal-hal kecil seperti anak kucing, anak anjing, dan hewan-hewan mungil lucu lainnya, kebanyakan orang (kecuali Ajay) akan spontan berteriak, "Imuuuutt!". Dan terlepas kalian menyadarinya atau tidak, itu dikarenakan hewan-hewan itu tidak berdaya dibandingkan orang-orang yang menganggapnya imut, therefore menjadikan derajat mereka lebih rendah.

Kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau pada hewan-hewan itu dan mereka nggak akan sanggup membalasmu dengan setimpal. Kamu bisa memukulnya, membantingnya, menendangnya, bahkan melindasnya, tapi mereka nggak berdaya. Mereka nggak bisa melakukan apapun untuk menghentikan itu. Mereka nggak bisa membela diri mereka sendiri. Mereka bukan tandinganmu, dan oleh karena itu, mereka lucu.

Udah mulai dapet gambarannya sekarang?

Jangan khawatir, kalian yang mengerti menurutku memang hebat, terutama karena pola pikirku yang cenderung berbelit-belit, tapi kalian yang tidak atau belum mengerti bukan berarti bodoh. Sebenarnya sih, menurutku kalian bodoh, tapi setelah secangkir teh yang nikmat, aku telah mendapatkan kembali energi untuk bersikap manis.

Sekarang, coba kita aplikasikan terhadap manusia. Mungkin kasusnya bukan "lucu" lagi sekarang, tapi masih berhubungan dengan kebutuhan manusia untuk merasa lebih.

Kamu payah dalam matematika.

Itu bukan pernyataan, tapi itu perintah untuk membayangkan dirimu sebagai orang yang payah dalam matematika -- meski kita semua tau kamu memang payah. Well, jadi, kamu payah dalam matematika tapi kamu butuh nilai bagus supaya bisa lulus. Apa yang kamu lakukan? Kamu akan meminta temanmu yang jenius dalam matematika untuk mengajarimu. Semacam tutor sebaya gitu deh. Temanmu, seperti yang sudah sepantasnya orang normal manapun rasakan, merasa bangga karena ada yang mengakui kejeniusannya dalam matematika (sebenarnya satu sekolah pun udah mengakui hal itu, tapi kan nggak pernah ada yang cukup). Pada saat itu, derajatmu (dalam bidang matematika) lebih rendah dari tutor sebayamu.

Malang bagi temanmu, kamu ternyata cepat belajar. Satu-satunya alasan mengapa kamu selama ini masih juga bego dalam bidang matematika adalah karena kamu belum nemu gaya belajar yang pas. Tapi gaya mengajar temanmu ternyata cocok denganmu, jadi kamu cepet mudeng. Meski awalnya hubungan kalian cuma guru-dan-murid, karena kamu sering memujinya tanpa sadar dengan meminta diajarkan matematika, kalian jadi teman. Hingga suatu saat, nilaimu mengalahkan nilainya. Derajatmu nggak lagi berada di bawah teman-mantan-tutormu, tapi kalian kini berada di level yang sama. Kemampuannya nggak lagi kamu puji, karena kamu udah nggak butuh.

Lihat, mungkin kamu ingin tetap berteman dengannya. Mungkin kamu cukup naif untuk berpikir bahwa setelah kamu menginjak-injak harga dirinya dengan mengalahkannya di cerdas cermat, nggak akan ada yang berubah. Mungkin kamu cukup tolol untuk berpikir bahwa dia akan tertawa, berkata bahwa dia nggak apa-apa kamu kalahkan, dan bahwa dia senang kamu menang. But he's not. Oke, atau, she's not.

Kamu nggak lagi menarik baginya karena derajatmu nggak lagi di bawahnya. Kamu nggak lagi lucu baginya karena kamu udah berdaya. Dia nggak bisa lagi ngeledek kamu karena kamu gagal mengerjakan tes matematika. Those days have passed. Sekarang kamu bisa mengimbangi kemampuannya, bahkan lebih. Mungkin dia memang nggak akan sepicik itu untuk terus berkubang dalam rasa mengasihani diri sendiri. Mungkin dia akan bangkit untuk mengejar kemampuanmu, tapi dia bukan lagi temanmu. Dan semua itu, karena kamu nggak lagi lebih payah daripada dia.

Dan itulah yang terjadi di seluruh dunia.

Mungkin kamu akan membantah, nggak kok, temanku nggak gitu. They're happy for me. Atau, kalau kamu ada di posisi si tutor matematika, bantahanmu adalah, aku nggak gitu, aku seneng kok temenku ngalahin aku, karena itu artinya kemampuannya udah meningkat.

Nggak masalah.

Mungkin memang ada orang-orang seperti itu. Mungkin memang ada orang-orang yang mau menerima kekalahan dengan lapang dada, bahkan senang saat dikalahkan. Tapi aku belum pernah benar-benar melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku belum pernah mengalaminya sendiri. Yang kualami adalah, aku mengajarkan temanku bahasa Inggris, dan kemampuannya melampaui aku.

Apakah kami masih berteman? Masih. Tapi dia nggak lagi sama di mataku. Dia bukan lagi temanku yang menghibur karena bahasa Inggrisnya berantakan. Dia udah nggak lucu lagi. Bahasa Inggrisnya udah rapi, grammarnya apik. Dia masih temanku, tapi di saat yang sama dia juga rivalku.

Dan rival selalu bersebrangan.

Menjijikkan, tapi memang begitulah adanya. Manusia butuh untuk merasa lebih. Lebih kuat, lebih berkuasa, lebih pintar, lebih menawan, dan lain-lain. Dan nggak peduli seberapa kuat kamu berusaha menekan rasa itu, rasa itu selalu ada. Di kedalaman hatimu yang paling dalam, yang nggak pernah berani kamu kunjungi karena kamu takut monster-monster itu akan keluar dan melahapmu habis.

Kedalaman hati yang, bagi sebagian besar orang menjijikkan, tapi bagi kami yang memiliki jiwa tersesat dan kafir, adalah taman kota yang menyenangkan.

"Kau lihat, Sebastian? Seperti inilah wujud manusia yang sebenarnya; busuk."

No comments:

Post a Comment