Tuesday 3 February 2015

(Best) Friend

Kami bertemu pada satu Senin siang di lapangan sekolah.

Aku sedang rehat sejenak dan ia berdiri di antara mobil-mobil yang terparkir, telunjuk di atas bibir bawahnya. Entah aku yang menghampirinya atau ia yang memanggilku, kami mengobrol.

"Jammu," ia menunjuk, "cepet-cepet amat!"

"Hah?" aku melihat jamku yang dicepatkan lima belas menit. "Oh. Iya. Biar gak telat ceritanya."

"Ceritanya. Terus berhasil gak?"

Aku nyengir. "Aku terlalu pintar untuk dibohongi, bahkan oleh diriku sendiri."

Ia tertawa. Aku tertawa. Kami mendiskusikan hal lainnya - bukan cuaca, karena itu membosankan. Kami membicarakan guru yang mengajar kelas dan jurusan kami, teman-teman sekelas kami. Saat obrolan itu berakhir, aku merasa aku telah menemukan belahan jiwaku dan nyaris yakin ia juga merasakan hal yang sama.

Kejadian itu terjadi lebih dari setahun yang lalu.

*

Aku sadar bahwa tidak ada yang berlangsung selamanya. Aku mengerti bahwa arti kata 'selamanya' berarti 'selama aku masih merasakan perasaan ini terhadapmu'. Dan aku tidak mengerti konsep sahabat. Tidak lagi. Karena sepertinya makna dari kata-kata seperti 'teman', 'sahabat', dan 'kenalan' bahkan 'keluarga' jauh dari hitam dan putih seperti dulu. Jadi sewaktu ia mengatakan padaku, "Aku udah nganggep kamu sahabatku."

Aku diam. Dan diam-diam kupikir ia merasa kecewa aku tidak balas menyebutnya sahabatku.

*

Tapi ada satu hal yang menakjubkan. Aku baru menyadari bahwa kau bisa begitu intim dengan seseorang tanpa benar-benar mengenalnya. Aku tahu kapan ia merasa kesal, marah, butuh ditemani, butuh melakukan sesuatu yang lebih. Dan ia pun tahu kapan aku sedih, butuh melarikan diri, atau sekadar mengoceh tanpa henti. Aku tahu apa yang ia lakukan pada waktu senggangnya dan sebaliknya. Hanya saja...

Kami tidak sungguh-sungguh mengenal satu sama lain.

Aku tidak benar-benar mengetahui motif dari perilakunya. Ia tidak benar-benar mengetahui apa yang kuinginkan dan mengapa. Aku tidak bisa mengetahui suasana hatinya kecuali aku menatap matanya dan ia tidak bisa menyelam lebih dalam untuk mencari aku yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, kami adalah sahabat, namun kami bukan sahabat.

Dan aku mencintainya dan ia mencintaiku. Tapi kadang sebuah jalan memang pendek sebelum menemui persimpangan.

"Kita belum sampe tahap itu. Pertemanan kita belum sampe situ."

"Memang. Aku pun dulu sering berpikir gimana kalau kamu lulus... gimana kalau kita pisah... aku pengin kita temenan terus tapi pada saat yang sama aku ragu bisa."

"Sekarang?"

"Sekarang aku menikmati masa sekarang aja. Masa SMA-ku ya kuhabiskan denganmu. Soal masa depan, itu urusan nanti."

-2 Februari 2015, 19:54, sesaat sebelum mencuci muka dan gosok gigi sebelum tidur-

No comments:

Post a Comment