Saturday 5 October 2013

Curhat Malam

Ooooohhhh intinya adalah bahwa aku teramat sangat menyedihkan as a human being.

I saw him today. Sekolahku menonton teater musikal di sebuah GOR dan coba tebak; dia datang terlambat tiga puluh menit. Oh, aku datang tepat waktu, persis beberapa menit sebelum drama dimulai dan GOR sudah terisi nyaris setengahnya. Aku berusaha mencari-cari wajahnya di barisan atas, tapi nihil. Yang kudapat malah senior lain yang totally not my type (he's cute tho, namanya Kang Arul, dan baik banget, but I'm just not that into him). Aku mulai menggigiti kuku ibu jariku (yang, omong-omong, kayaknya sering banget kulakukan akhir-akhir ini meski kadang tanpa sadar) dan merasa gelisah. Aku melihat rombongan anak-anak kelas Bahasa, tapi mereka kelas XII dan ada Bayu-senpai di antaranya, tapi dia nggak ngeliat aku. Aku berusaha mencari wajahnya lagi, dan masih nihil. Akhirnya pertunjukan dimulai dan kerumunan yang masuk dari pintu mulai berkurang, tersisa beberapa orang lagi. Aku mulai bertanya-tanya apa seharusnya aku datang subuh tadi supaya bisa tahu siapa yang sudah dan belum datang. Fokusku terpecah antara pertunjukan teater itu dengan pintu yang sudah setengah tertutup. Aku penasaran apa dia sesungguhnya sudah datang terlebih dahulu; sejak tadi; dan apa dia melihatku saat aku berdiri lantas memutar tubuh mencari-cari di antara kerumunan yang sudah menempati kursi.

Tidak ada lagi yang melewati pintu dan akhirnya aku menonton pertunjukannya. Fokusku masih terbagi, karena setiap kali melihat pergerakan di pintu mataku selalu bergerak ke sana. Masih nggak ada dia.

Dan tepat saat aku mengira bahwa dia mungkin memang tidak datang karena sepertinya pertunjukan drama musikal bukanlah gayanya, dia melengang tergesa-gesa melewati pintu. Aku terkesiap dan mengguncang Gysa yang duduk di depanku.

"Gys," panggilku, "itu dia!"

"Mana? Mana?" Gysa menoleh.

"Yang lagi jalan," tunjukku, berusaha terlihat tidak begitu... bersemangat (gagal dengan menyedihkan, tentu saja. Aku kan si Gadis Menyedihkan Tahun Ini). "Tas selempang, jaket denim."

Seperti biasa, tampangnya seperti orang baru bangun tidur. Seandainya memang ada orang yang baru bangun tidur langsung terlihat setampan itu. Jaket denimnya berwarna gelap nyaris hitam, dan tas selempangnya juga beraksen denim berwarna hijau. Di balik jaketnya ia mengenakan batik sekolah dengan celana gelap. Ia menaiki tangga sambil berusaha mencari tempat untuk duduk, sampai akhirnya ia duduk di samping dua orang gadis yang sepertinya tingkat sebelas. Dan dia tersenyum.

Dia tersenyum dia tersenyum dia tersenyum dia tersenyum dia tersenyum dia tersenyum dia tersenyum ya Tuhan astaga dia tersenyum dan dia bahkan TERTAWA.

Ya ampun aku terdengar teramat sangat super duper extremely amazingly incredibly pathetic ya Tuhan.

Pada akhirnya, bukan pertunjukannya yang kutonton.

Tapi dia.

Dan aku tidak pernah mengerti sebelumnya soal gadis-gadis yang begitu heboh mengenai orang yang mereka sukai pada teman-teman mereka namun langsung diam seribu bahasa begitu melihat orang itu, apalagi berada berdekatan dengannya. Tapi sekarang aku mengerti, dan mengetahui bahwa jaraknya kurang dari setengah kilo dariku, berada di gedung yang sama denganku, dan bahkan berada dalam jarak pandangku nyaris membuatku pingsan. Sayang sekali aku nggak pernah pingsan, tapi kalau dipikir ulang seandainya aku pingsan siapa yang mau menggotongku? Dan gimana kalau masuk headline news? Masa judulnya SEORANG GADIS PINGSAN BERADA DALAM SATU RUANGAN DENGAN COWOK KECENGANNYA kan gak lucu banget.

Tapi astaga Tuhaaaaaannn.

I am torn apart between the desire to talk to him and the shame I have upon myself. Nggak masalah jutaan orang berusaha meyakinkanku bahwa aku nggak jelek-jelek amat dan yang harus kulakukan cuma pede. Pada akhirnya ketakutan terbesarku adalah dia hanya akan melihatku strangely kemudian berlalu begitu saja. Wow, membayangkannya saja nyaris membuatku menangis, apalagi mengalaminya langsung, ya kan?

Jadi secara menyedihkan aku cuma memerhatikan dia sepanjang sisa pertunjukan. Kapan dia tertawa, kapan dia tampak serius. Apa yang membuatnya tertawa dan apa yang membuatnya begitu fokus. Dan setiap kali matanya melirik dari panggung, mungkin untuk mencari wajah yang dikenalnya, aku memalingkan wajah atau menunduk.

Kemudian menatapnya lagi.

Kurasa hari ini ada satu waktu ketika dia melihatku, tapi aku ragu dia mengenaliku. Hei, peraturan tak tertulis yang selalu terjadi dalam kasus cewek-naksir-cowok adalah Objek Tidak Mengetahui Bahwa Subjek Ada. He doesn't even know that I exist. Mungkin saat ia menangkap wajahku dia cuma berpikir, "Oh satu lagi anak sekolah tak dikenal."

Shit happens, told you.

Dan aku teramat sangat menyedihkan, memalukan, karena terus mengulang kejadian di GOR tadi sejak aku pulang. Dengan berbagai versi. Dalam setiap versi tentu saja dia mengenali aku. Kami bahkan berbicara. Kurang menyedihkan apa coba. Aku teramat sangat menyedihkan sampai rasanya pantas menerima hukuman mati. Astaga. Ya Tuhan. Senyumnya.

Yah, Re sudah mengklarifikasi seberapa menyedihkannya aku. Dia bahkan bertanya sampai kapan am I gonna stay this pathetic. But what should I do what should I do aku nggak tau aku harus ngapain. Seandainya dia orang yang suka berjalan keluar dari kelasnya, mungkin aku bisa menyapanya saat berpapasan secara tidak sengaja (atau, terkadang, secara sengaja). Tapi dia mendekam dalam kelas sepanjang istirahat, dan jarang menjauh dari pintu kelas dalam radius lebih dari dua meter. Menjadi bahan tertawaan dan bahan gosip itu nggak enak, dan aku nggak mau jadi keduanya. Maka akhirnya aku diam.

Dan panik serta ribut sendiri.

Mungkin seandainya aku adalah apa yang selalu kuharapkan I would be aku akan cuek aja. Well masalahnya aku terkungkung. Dalam penjara yang kubuat sendiri. Dan itu membuat level menyedihkanku berlipat ganda. Ugh sudah kubilang aku begitu menyedihkan sampai rasanya pantas mendapat hukuman mati.

Semoga semoga semoga semoga semoga renovasi ruang kelasnya cepat selesai dan aku bisa kembali bersantai di meja yang dekat dengan kelasnya dan mungkin mungkin mungkin saat itu aku bisa berani menyapanya meski kemungkinannya rasanya nol koma banyak nol satu persen.

Ya Tuhan aku menyedihkan banget.

No comments:

Post a Comment