Monday 5 March 2012

Ketika Percaya Berubah Menjadi Amarah

*Hela napas*

That moment when you don't have any KitKat #eh

Gini deh ya, gini. Kurasa kalian udah tau garis besar permasalahan awal. Aku bohong -> mengadakan eksistensi seseorang, cinta sejatiku, pahlawan dalam hidupku, napas dalam hidupku (ecieh) yaitu Matteo (Matty, oh, Matty, maaf aku belum lanjutin ceritamu Sayang, aku lagi galau -__-) -> aku ngaku jujur -> sebelumnya aku sempat nge-hack akun seseorang (gak bisa sebut nama, aku udah pernah nyaris dituntut, ogah kalo sampe beneran Men :O) -> aku ceritain juga sama (orang yang kukira) sohibku (sekarang mungkin status mantan) -> orang tempat aku mengakui kesalahan sama korban hacking marah, pacarnya yang aku akuin juga marah, mereka nge-block aku berjamaah; semoga pahalanya juga dapat berjamaah, tapi kalau justru dapet dosa... ya jangan dapet deh Ya Allah, dua dari tiga (dulunya) temen deketku juga tuh ._. -> ketiga orang itu karena marah mutusin hubungan denganku... secara sepihak -> korban lain yang beda kota yang udah nganggap Matty kakaknya sendiri kecewa dan sakit hati -> dia mengklarifikasi bahwa kami gak akan bisa sahabatan lagi, paling cuma temenan -> aku oke aja, selama gak dimusuhin gitu -_- -> tapi yang tiga orang itu gak ngasih kejelasan. Horeee, now everybody JUMP! #loncat bareng Dora

Aku menghormati perasaan si Korban I yang berada di luar kota, SUNGGUH. Tapi yang tiga orang lainnya.... hela napas lagi aja deh *hela napas*

Si Korban II (korban hacking) sempat bilang di Twitter, "I've read your post blog," katanya, "Those words describes everything bout your lies. That's hurt enough, that's evil enough. I think."

At first, aku salah baca; bukannya "bout" (kependekan "about", kalau aku gak salah), tapi "but" (yang bisa diartikan kecuali). Jadi awalnya aku baca tuh, "...Those words describes everything bout your lies," dan pada saat itu sempat terlintas pemikiran, "Terima kasih Tuhan, mungkin aku punya kesempatan menjelaskan", sialnya adalah aku baca tweet itu dua kali dan baru di kali kedua aku bener bacanya. Ah, dasar sial...

But you know what? I think, what's evil enough is when you don't give me a chance to explain.

Ya, mereka gak ngasih aku kesempatan menjelaskan--Korban II, Korban III (dulu kukira sohibku) dan Korban IV (sebenernya dia gak pantes masuk kategori korban, tapi dia pacarnya III). Korban I sih, yah, kurasa dia udah cukup mengerti, dia hanya memang gak bisa berhubungan kayak dulu sama aku lagi, dan aku menghormati keputusannya. Tapi itu, si II, III, dan IV. Iiiiiiiiihhh......... Kalian agak curang! Aku tau aku sama sekali gak berhak kesal apalagi marah, tapi jujur, aku gak kesal. Aku cuma kecewa.

Biar lebih gampang, gini deh:
Korban II = AJW (perlu tambahin A gak ya? Gak usah deh #nanya sendiri jawab sendiri)
Korban III = ANR
Korban IV (sumpah aslinya gak rela dia masuk daftar korban tapi mau masuk daftar mana lagi?) = AIL

Sejujurnya, kenapa aku nge-hack akun AJW, itu cuma buat iseng-iseng. Niatnya pertama kali: cuma buka, liat-liat bentar, terus keluar. Begitu masuk, niatnya ganti jadi: buka, liat-liat bentar, post beberapa tweet iseng kurang kerjaan, terus keluar. Tapi, aku liat bahwa AJW belum mengkonfirmasi akunnya, jadi aku tergerak untuk membantu [aslinya emang hobi ikut campur (_ _")] dan membuatkan AJW sebuah email, dengan password versi alay password Twitter-nya (SATU, aku dapat password dia dari oknum tak bersalah. DUA, aku bukan anak alay, tapi bahasa alay emang ampuh buat password). Kemudian, dari akun AJW aku kirim DM (Direct Message) ke akun AJW lagi, ngasih tau soal password, email, dan bahwa akunnya udah dikonfirmasi--dengan nama anonim. Jelas aja AJW kaget, so-ak (b. Sunda), AKUNNYA DIBAJAAAAK!

Waktu AIL nuduh aku, aku bantah. Yah, namanya pembohong, udah sering berbohong jadi udah kayak reflek. Dan ke ANR aku bilang bahwa ada orang yang maksa aku nge-hack akun AJW. Dan itu kulakukan setelah... AJW berhasil ngambil alih balik akunnya dan aku udah melakukan tindak kriminal.

Damn. Waktu aku berbohong soal Matteo, sebenernya itu bukan penipuan, itu cuma kebohongan jangka panjang. Amoral, ya. Tapi melanggar hukum nggak. Tapi ini? Membobol akun orang, menyebarkan rahasia orang lain? Itu melanggar hukum. Aku bukan peminat PKn, jadi aku gak tau pasti, tapi kurasa gak akan bisa sampai ditarik ke Meja Hijau. Kalaupun iya, orang akan melihatnya sebagai suatu tindak over acting. Berlebihan. Lebay. Membesarkan perkara kecil. Karena meski aku membobol akun orang dan menyebarkan rahasia orang, rahasia-rahasia itu tidak merugikan orang lain. Well, yah, pastinya mereka merasa malu. Dan aku juga gak ngambil keuntungan materiil dari hacking tersebut. Sama seperti kalau mau bilang aku-Matteo melakukan penipuan, kami gak menghasilkan kerugian dari pihak lain. KALAU aku membobol akun AJW, terus mengalihkan semua uang yang ia punya ke rekeningku, NAH, ITU baru pelanggaran hukum berat. Bisa dibawa ke pengadilan. Bisa kena tindak pidana penjara, pula.

Sampai di sini, akan muncul pertanyaan: Kenapa aku tega menyebarkan rahasia orang lain?

Ada satu hal yang perlu kalian tau. Pada saat itu, aku tidak sadar sepenuhnya. Gimana aku bisa tau aku gak sepenuhnya sadar? Yah, setengah bagian diriku tau bahwa itu tuh berbahaya, hanya saja saat itu aku tidak benar-benar memikirkan resikonya. Setengah bagian lagi begitu dikuasai peran. Ya, di situ aku berperan sebagai hacker pemula yang brengsek. Nah, ini salah satu hal yang mendasari mengapa aku pergi ke seorang psikolog hari Minggu lalu, karena aku takut ini merupakan gejala kepribadian ganda. Maksudku, hei, aku melakukan hal-hal yang dilakukan oleh bajingan pengecut! Dan aku baru sadar ketika AJW "melempar"ku keluar dari akun itu. Saat itu, aku tiba-tiba merasa ditampar. Seolah dibangungkan dari keadaan trance.

Apa yang baru aku lakukan?

Dari situ, aku buka akunku, dan melihat semuanya. Astaga, sampai begitu?

Aku gak mendramatisir, ini betul-betul apa yang terjadi. Sialnya lagi, masih ada bagian dari aku yang masih terpengaruh oleh peran itu. Dan aku, tiba-tiba mendapat pemikiran untuk menyelamatkan diriku sendiri, membocorkan rahasia-rahasiaku juga. Dan sialnya, sisi diriku yang sudah sadar tapi pengecut justru menyetujuinya. Dipengaruhi oleh peran, aku membocorkan semuanya. Semuanya; kecuali satu tempat yang terlalu vital, dan bahkan diriku yang paling pengecut menggelengkan kepala sampai hampir putus ketika sisi yang lain hendak membocorkan rahasia yang itu. Saat itu, sebagian diriku berkata, Nggak, rahasia-rahasia yang lain udah cukup jadi alibi. Dan aku tuh pengecut banget. Aku cerita sama ANR bahwa itu tuh aku dipaksa orang. Ya, aku begitu pengecut sampai mengkambinghitamkan satu lagi karakter rekaan.

AAAAAAGGGHHHHHHHHHHHH........................ DILLA! KAMU TUH BEGODUNGUTOLOLGOBLOKIDIOTIMBESILGAKPUNYAOTAKOTAKUDANGTOLOLGOBLOK BANGET SIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH.......................................................... !!!!!!!!!!!!!!!!! #jedukin kepala ke tembok

Setelah tau alasannya... well, aku gak berharap mereka akan mengerti. Setidaknya mereka jadi tau, atas dasar apa aku melakukan itu. Sementara kalau mereka gak tau alasan sebenarnya tapi langsung main judge kan... itu curang. Gak adil. Penilaian sebelah mata. Berat sebelah. Tidak setimbang. Menyakitkan.

Bagiku, hal lain yang paling menyakitkan selain menyilet tangan sendiri (udah pernah lho, dan ya ampun.. *pingsan*) adalah ketika orang menilaiku tanpa melihat keseluruhan.

Karena nila setitik, rusak susu sebelaga. Mereka mungkin akan berpikir begitu. Ya, memang benar. Imej baikku yang selama berbulan-bulan mereka tau (lebih dari setahun deh, buat AJW sama ANR, buat AIL sebulan juga belum ada), kini rusak karena kebohongan. Imej baik itu susu dalam belaga, kebohongannya itu tuh setitik nila (tinta).

Tapi bukankah akan lebih baik seandainya mereka tau dulu alasannya?

Bukankah itu akan lebih baik ketimbang mengetukkan palu, memvonis bersalah dan layak dihindari seperti virus tanpa mendengar kesaksianku?

Bukankah lebih baik seandainya mereka memberiku satu kesempatan menjelaskan?

Tapi mereka tidak memberiku kesempatan. Mereka bertiga hanya memutar balik tubuh mereka lalu lari, pergi, tanpa menoleh lagi.

Setidaknya dengan menjelaskan aku bisa merasa lebih enakan.

Tapi entah mereka menganggapku patut terbebani dalam lumpur rasa bersalah atau memang ego mereka memaksa mereka tidak mendengarku lagi.

Ya, kini aku tidak patut dipercaya.

Ya, semua itu karena aku berbohong.

Dan, ya, aku menampilkan profil tidak peduli saat kalian pergi.

Tapi apa kalian tau apa yang ada di balik topeng cuek itu? Tidak?

Ya ampun. AJW dulu kuanggap seperti kakakku sendiri, dan ANR dulu kuanggap sahabatku. Kami klop. Begitulah yang aku kira. Tapi ternyata... mereka tidak seperti bayanganku. Apa yang ada di dalam bayanganku? Oh, bahwa mereka marah. Itu jelas. Tapi dalam bayanganku, mereka akan berkata (walau dengan nada dingin dan sinis), "Perbuatan kamu itu gak bisa dimaafkan, tapi mungkin aku mau mendengarkan penjelasan kamu."

Mereka tidak melakukan itu. Tidak, mereka bahkan tidak menyebut-nyebut tentang alasan. Penjelasan. Sebuah titik terang atas kelakuanku.

Tidak.

Dan, sungguh, kalau aku boleh bilang, aku kecewa. Guru BK-ku benar. Pun psikologku benar. Sahabat sejati tidak dapat ditemukan lewat dunia virtual. Kalian itu semu. Ya, ANR, AJW, kalian semu. Tidak nyata. Tidak tersentuh. Tidak terlihat. Tapi kalian bukan Tuhan. Kalian hanya figur. Sosok tak jelas. Profil berbayang-bayang di internet. Dan, sialnya, aku menaruh rasa percaya dan rasa sayang yang cukup besar pada kalian. Tapi sama seperti kalian, rasa sayang itu pun semu. Dengan cepat surut, digantikan level kecil rasa kecewa.

Saat ini baru terpikirkan olehku: apa sebenarnya kalian takut? Apa kalian takut bahwa ternyata alasanku melakukannya begitu kuat sampai menggoyahkan rasa benci dan amarah kalian padaku, membuat kalian bersimpati padaku?

Kalau iya, berarti kalian pengecut.

Lebih dari aku, bahkan.

No comments:

Post a Comment