Saturday 10 August 2013

Money Honey

Kopinya yang kini hangat terasa pahit setelah kue yang ia makan sebelumnya. Kue itu penuh dengan krim dan parutan cokelat, serta kelembutan yang meleleh di dalam mulutnya.

Tetap saja ia tidak merasa puas.

Dan hal itu mungkin ada hubungannya dengan warisan yang mendadak ia terima dari sepupu keempatnya. Warisan itu nyaris mustahil hingga jika saja bukan karena kerja keras pengacara yang ia sewa - dengan harga mahal, tentu saja - mungkin ia akan bergantung pada judi balap liar dan hidup di jalanan. Seperti seekor kucing yang dibuang majikannya.

Meskipun hal itu kurang tepat, karena ia tidak dibuang majikannya. Ia melarikan diri dari majikannya. Atau lebih tepatnya, walinya.

Tapi siapa yang butuh wali kalau kau sudah terbiasa hidup mandiri, memiliki mobil yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga seandainya ia memutuskan menjualnya - yang tidak akan terjadi selama tujuh abad ke depan - harganya akan berkali-kali lipat dari harga asli, dan dikenal sebagai Ratu Balap Liar? Gelar itu bersifat regional, memang. Tapi tetap saja itu gelar yang membanggakan. Untuk mendapatkannya sama sekali tidak mudah. Butuh bertahun-tahun memacu mobilnya secara ilegal di jalan, dua mobil bagus yang rusak - satu "terserempet" truk dan satunya lagi meledak setelah terguling secara epik - dan mematahkan satu tulang iga serta memberi tujuh jahitan di pelipis. Jika ada yang tahu dia masih ditampung oleh seorang wanita sok tahu yang sok suci, dia bisa menjadi bahan tertawaan di jalan.

Seandainya bukan gara-gara "warisan" itu, pasti ia akan tetap menjadi tertawaan di jalan.

Ia menyesap kopinya. Kemudaan serta ketololan adalah dua hal yang berbeda tipis. Yang satu selalu mengikuti yang lainnya. Beruntung setelah tahun-tahun hidup yang keras, ia berhasil melewati masa remajanya tanpa melakukan banyak tindakan bodoh. Yah, terjun ke dunia balap liar adalah satu hal, dan kabur dari rumah dengan membawa barang-barangnya tanpa tahu hendak ke mana adalah hal lain. Tapi setidaknya ia berdiri di atas kaki sendiri, tidak seperti kebanyakan anak-anak yang sebaya dengannya.

Ia meringis jijik. Hidup yang bebas tanpa aturan selalu lebih cocok dengannya. Ia bukanlah kucing rumahan yang mendengkur puas setiap kali majikannya mengelusnya dan memberinya apa yang ia mau. Hal-hal yang ia dapatkan melalui keringatnya sendiri lebih memuaskan. Dan mungkin itulah mengapa dengan uang yang nyaris mencapai sembilan digit di bank serta sebuah rumah luas dengan empat kamar tidur dan lima kamar mandi beserta sebuah garasi/bengkel pribadi tidak memuaskannya. Tapi tidak puas lebih baik daripada meringkuk di sudut luar etalase toko.

Ponselnya berdering. Ia meletakkan mugnya yang masih setengah penuh di meja balkon dan berjalan memasuki kamarnya. Ponselnya bergetar di atas meja rias yang tidak diisi dengan alat-alat rias wajah. Ia meletakkan ponsel di telinganya. "Halo."

"Kit," suara di seberang sana memanggilnya dengan akrab. "Hei. Pakabar?"

Ia mengulas cengiran, meski hanya pantulannya yang bisa melihat. "Hei Jim. Baik. Lo?"

"Baik kalo gue nggak diancam ngembaliin sejumlah uang yang gue pegang."

Keningnya berkerut. Jim adalah salah satu orang yang berjasa dalam mengenalkannya pada dunia yang kini menjadi sumber penghasilan serta ketenarannya, dan ia tak akan membiarkan orang yang berada dalam lingkaran perlindungannya mendapat masalah. "Jangan bilang lo ngutang sana-sini. Bro, siapa?"

"Siapa... maksud lo?"

"Ya, siapa yang ngancem lo?"

Suara di sana tertawa terbahak-bahak. "Neng, jangan kecepetan ngambil kesimpulan. Bukan gitu. Harusnya ada empat orang yang ikut balap malem ini. Satu orang kabur. Taruhan udah dipasang."

"Oh," bahunya rileks. "Gitu."

"Iya. Makanya gak usah angkat senjata duluan. Nah, sekarang, gue butuh lo. Tapi jelas itu tergantung sama lo. Lo butuh duit apa nggak? Kita pasang tiga ratus ribu. Lo bisa menang gampang, tapi kalau lo lagi nggak butuh duit - dan sejujurnya gue tau lo nggak pernah butuh duit - gue bakal nyari racer lain."

"Nah..." ia mengedarkan pandangan pada kasur king size, pintu terbuka yang menunjukkan kamar mandi elegan sekaligus mewah, dan memikirkan keseluruhan rumah miliknya yang tidak pernah benar-benar menjadi miliknya. "Gue butuh."

"Lima menit."

"Tempat biasa?"

"Kitty Sayang, di mana lagi? Oh ya, dia juga ada di sini."

Tanpa perlu diberi tahu, ia tahu siapa yang Jim maksud dengan dia. "Dia ikut balap juga? Gue kira lo bilang gue bakal menang mudah."

"Nggak, dia lagi ngegodain cewek dan nggak nunjukin tanda-tanda mau ikut balap malem ini. Tapi siapa tau. Dan gue tau kok lo ada kepentingan sama dia."

Ia menyeringai. "Oke. Lima menit."

Dengan itu ia mengantongi ponselnya, mengenakan jaket lalu menepuk bagian dada untuk memastikan dompetnya ada di sana. Ia berjalan keluar dan menyalakan Toyota Supra miliknya. Jika Jim benar, maka malam ini ia bisa mengantongi satu juta dua ratus ribu, bahkan lebih jika mereka bisa mengadakan lebih dari satu putaran balap. Dan jika polisi "teman" Jim benar-benar bisa diajak bekerja sama.

Seringai liar muncul lagi di wajahnya saat ia memacu mobilnya di bawah lampu jalanan yang sepi. "Come to Mama, money honey."

No comments:

Post a Comment