Sunday 10 March 2013

Garuda Riders review

Judul Buku: The Adventures of Wanara Trilogy Book One: Garuda Riders
Pengarang: A.R. Wirawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tempat/tahun terbit: Jakarta, 2013
Cetakan: I
Tebal buku: 328 halaman


"Novel Garuda Riders mengajak kita berfantasi di bumi 'Indonesia'. Jangan protes jika kalian diajak berimajinasi liar dalam cerita ini."
-WAHYU ADITYA, Founder of Hellomotion


Satu milenium setelah Era Ramayana, ras asura dan keturunannya terus diburu. Mereka dibantai di mana-mana. Hanya di Alengka, negara leluhur para asura, mereka bisa hidup tenang. Namun, itu pun bukan jaminan. Sebab, sebuah organisasi bawah tanah bernama Raksasaghna telah lama bersumpah untuk melenyapkan seluruh keturunan Rahwana itu dari Tanah Varadwipa.

Pada masa itulah, lahir bayi laki-laki dari tiga keturunan Era Ramayana, yaitu Rahwana (asura), Hanoman (wanara), dan Rama (mannusa). Bayi laki-laki itu bernama Naradja. Marsekal Badawang adalah orang pertama yang melihat potensi anak petani ubi itu. Ia pun berspekulasi untuk menarik Naradja menjadi salah satu pratarunanya di Akademi Angkatan Udara Kurmapati. Pilihannya tak salah, karena wanara itu kemudian memang tumbuh menjadi seorang penunggang garuda yang menonjol.

Namun, Naradja mengalami mimpi buruk tentang masa depan dirinya dan nasib Tanah Varadwipa. Hanya delapan elemaen dewa atau Hasta Brata yang mampu mencegah kehancuran Tanah Varadwipa di masa depan. Tanpa izin Akademi Angkatan Udara Republik Ayodhya, Naradja mengajak Laksmi, Lembu Kendil, Baning, dan Malore terbang ke berbagai negara mencari delapan elemen Hasta Brata dengan menunggangi garuda. Tak jarang, nyawa mereka menjadi taruhannya. Namun betapapun menggetarkannya petualangan itu, Naradja tak pernah tahu bahwa ada skenario besar dari organisasi rahasa Raksasaghna terhadap dirinya.

Pertama kali aku lihat buku ini di rak di lantai khusus novel Gramedia Merdeka Bandung, aku langsung jatuh cinta. Kupikir, "Gila, keren banget yang bisa punya ide untuk nyiptain nih novel! Ngegabungin modernisme sama pewayangan, saik bener." Kemudian aku melihat harganya dan keluar dari Gramedia dengan tangan kosong. Dari sana aku pergi ke Rumah Buku, nyari stok buku ini dengan harga yang lebih terjangkau dompetku. Tapi di RumBuk, alih-alih nemu Garuda Riders, aku malah nemu buku penutup seri Wicked Lovely; Darkest Mercy. Akhirnya aku beli itu, terus waktu malamnya aku ketemu ibuku dan ayah tiriku, aku bayarin makan kita bertiga yang totalnya sekitar 30 ribuan pakai uang 40 ribu. Ayah tiriku terus ngasih uang 100 ribu buat ngegantiin, langsung deh lari ke Gramedia buat beli nih buku. Hehehe, jodoh mah emang gak ke mana, ya.

Nah, awalnya kukira Naradja ini tinggalnya Alengka, ternyata dia tinggal di Ayodhya. Terus, kukira juga, ceritanya itu tentang gimana si Naradja ini berusaha menyelamatkan para asura yang diburu sama Raksasaghna, ternyata nggak. Cerita berpusat pada bagaimana Naradja dkk berusaha mendapatkan kedelapan elemen Hasta Brata. Cuma, di tiap-tiap negara, saat mencari elemen-elemen itu pasti polanya selalu sama. Pertama, mereka akan ketemu hewan aneh. Kedua, hewan aneh itu nyuruh mereka mendatangi hewan aneh lainnya. Ketiga, hewan aneh lainnya itu nyuruh mereka ketemu sama hewan aneh lain/dewi. Keempat, baru di hewan aneh terakhir atau dewi ini mereka mendapatkan elemen itu. Gitu terus diulang-ulang. Jadinya agak monoton dan petualangannya malah nggak kerasa. Apalagi dari penggambarannya, Naradja dkk lebih mirip berjalan-jalan seperti turis biasa daripada berpetualang. Jadi untuk adventurenya emang agak-agak kecewa, sih. Selain itu, meski awalnya digambarkan bahwa motif awal Naradja mencari elemen-elemen Hasta Brata itu untuk menjadikannya orang yang lebih bijak kalau-kalau ia menjadi seorang pemimpin atau raja seperti di mimpinya. Yep, Naradja telah bermimpi sebanyak tiga kali sepanjang buku ini mengenai dirinya yang menjadi raja. Awalnya, di mimpi pertama ia hanya melihat orang-orang yang mati bergelimpangan, di antaranya ayah dan ibunya. Ada sesosok wanara kera putih bermata merah dengan pakaian bagus seperti seorang raja dan mengenakan mahkota (kalau gak salah sih ._.) yang memerintahkan mereka yang masih hidup agar berlutut di hadapannya, karena ia adalah penguasa bumi ini. Di mimpi kedua persis seperti itu, hanya saja kali ini ia mengalaminya setelah masuk ke Akademi AU dan di antara mayat-mayat itu tergeletak juga mayat teman-temannya. Di mimpi ketiga, barulah ia melihat jelas bahwa wanara itu adalah dirinya. Jadi ia berusaha mencari Hasta Brata untuk "mendewasakan" diri dan tidak menjadi seperti mimpinya itu. Namun, seiring perjalanan ia justru mulai berubah, dari kera yang lincah dan ceria menjadi lebih serius, sombong, dan bengis. Di akhir buku ia bahkan membunuh salah satu musuhnya dengan bengis dan tanpa perasaan. Sebelumnya pula, Aveza Sasta Bhuja alias dewi kematian yang menjaga elemen api dan matahari telah memperingatkan Naradja bahwa ia bisa tetap menjadi seorang pemimpin tanpa Hasta Brata. Naradja bisa memilih: Kembali ke Ayodhya dengan damai atau mengambil elemen sambil membawa kutukan. Tapi Naradja justru menyerang Aveza Sasta Bhuja dan mengambil elemen-elemen itu. Dan dari situlah ia mulai berubah. Dan yang aku agak aneh adalah, saudara kembar ibunya yang terpisah sejak lama, seorang campuran asura-mannusa bernama Daruta begitu mendukung pencarian Naradja atas Hasta Brata, ia bahkan memerintahkan Naradja untuk menyempurnakan keris Hasta Brata lalu membalas dendam atas kakeknya, Bimata yang dibunuh Katunara, pada Raksasaghna sementara teman-temannya yang lain memintanya kembali ke Ayodhya. Jadi terlihat seolah Daruta justru mendukung "perubahan" Naradja, dan ini membuatku ambigu dalam menempatkan dia pada pihak baik atau jahat.

Tapi untuk sisi humor dan keremajaannya (perlu diingat, Naradja sendiri baru berusia 16 tahun) nggak mengecewakan. Di buku ini ada romansanya juga, dan seperti romansa di buku-buku lainnya, di sini tuh ada cinta segitiganya. Mainstream. Cuma ini antara wanara kera (Naradja dan Laksmi) serta wanara harimau bernama Malore. Jadi ceritanya Laksmi sama Naradja awalnya musuhan, tapi lama-lama jadi deket gitu. Nah Malore yang udah lama naksir Laksmi jadi makan ati. Kasihan. Yang mau patungan buat beli balon untuk Malore bisa hubungi saya.

Omong-omong, aku ngakak keras di halaman 226-227, yaitu ketika Naradja dkk berusama mencari kepingan Hasta Brata elemen samudra, mereka bertemu hewan aneh kedua yang bernama Makara. Terjadilah percakapan seperti berikut ini:

Naradja memimpin teman-temannya mengejar makhluk itu.
"Hai, Makara," panggil Naradja begitu jarak mereka cukup dekat.
Makhluk raksasa itu mencari asal suara. Sebelum hewan itu menoleh, Naradja lekas-lekas menghampirinya. "Halo, halo!" bisik Naradja di telinga hewan laut yang lebar itu.
Makara pun menoleh. Ia tampak bengong melihat Naradja dan kawan-kawan serta tirtaruda mereka.
"Saya Naradja. Ini teman-temanku, Lembu Kendil, Laksmi, Baning, dan Balore. Kami dari Ayodhya."
"Dari Ayodhya?" gumam Makara. "Terus aku harus bilang 'wow', gitu?"
Naradja tergelak. Tidak menyangka hewan raksasa ini gaya bicaranya seperti anak muda saja.
"Kami sedang mengumpulkan elemen Hasta Brata samudra. Tapi kami sama sekali nggak tahu persisnya di mana. Anda tahu?"
Makara berpikir dengan ekspresi yang dibuat-buat. "Duuuh, kasih tahu nggak ya? Kasih tahu nggak ya?"

Ya ampun, itu asli ngakak banget! Setelah sebelumnya mereka serius, tahu-tahu muncul yang beginian. Gimana gak surprised, coba xD

Di samping itu, bahasa yang digunakan cukup sederhana. Mungkin kalau nggak kepotong uprak seminggu lalu, dalam satu hari bisa selesai. Agak monoton sih, tapi akhirnya itu yang bikin nggak sabar nunggu buku keduanya terbit, Rise of Asura. Oh ya, satu lagi kekurangan buku ini adalah, meski mengangkat tema wayang, tapi untuk judul dan peta Tanah Varadwipa menggunakan bahasa Inggris, jadi berkurang deh nilai nasionalisnya. :/

Kukasih tiga bintang, ya. Satu untuk kovernya, dua untuk Naradja.

No comments:

Post a Comment