Sunday 3 March 2013

Kejadian yang Berulang

Seperti mimpi aku berlari yang kumimpikan dua kali, sebenarnya aku juga bertemu dengan orang yang sama dua kali; dua mimpi. Tidak, dalam mimpiku yang aku dikejar Pasukan Khusus ia tidak ada di sana. Tapi dua mimpi lainnya, dua mimpi sebelumnya. Aku tidak pernah melihat wajahnya. Ia selalu berupa siluet bayangan. Tapi ada sesuatu yang membuatku yakin dia adalah orang yang sama. Entah karena itu hanya mimpi atau memang mereka orang yang sama. Aku terlalu banyak mengulang kata orang yang sama.

Pertama kali aku bertemu dengannya, aku sedang berjalan-jalan di belakang Tea House yang berlokasi di belakang rumahku. Jalanannya beraspal, tapi pepohonannya masih rindang dan sejuk. Kemudian jalan yang beraspal itu mulai berubah menjadi tanah cokelat kemerahan yang basah karena hujan, membuatku harus berjalan lebih hati-hati. Seharusnya aku berjalan lebih hati-hati. Aku tetap berjalan dengan santai, seolah tidak takut tergelincir meskipun jalanan licin dan mulai menurun. Aku ingat aku mengenakan celana pendek, kaus, menyandang tasku Lima, dan mengenakan sepatu kets yang itu-itu saja. Jangan salahkan aku, aku memang cuma punya satu pasang sepatu kets.

Aku membawa peta, seingatku. Pohon-pohon mulai merapat hingga cahaya matahari yang menembus, meskipun cukup menjadi penerang, tampak remang-remang. Sesekali muncul rombongan turis petualang lainnya, tapi aku tidak pernah benar-benar masuk kelompok mereka. Mungkin aku ini alpha penyendiri.

Kemudian, jalannya bercabang.

Cabang yang ada di kiri tampak tidak terlalu menurun, tapi jalan cabang yang di kanan tampak menurun, jauh lebih curam daripada jalan yang kutempuh saat ini. Tour guide yang menangani sekelompok turis itu mengajakku ikut bersamanya ke cabang kanan, berkata bahwa cabang kiri itu, yang meskipun jalannya tampak lebih aman namun pepohonannya jauh lebih rapat hingga sangat gelap dibandingkan cabang kanan yang meskipun jalannya menurun agak curam tapi pepohonannya jarang, jauh lebih berbahaya karena ada sebuah lubang hitam mengerikan yang mengisap apapun yang ada di dekatnya. Aku menolaknya dengan halus. Dengan satu kedikan bahu ia dan rombongannya berlalu sambil mengingatkanku untuk terus berhati-hati. Oke, kubilang.

Jadi sementara mereka berjalan menuruni cabang kanan, aku menyalakan senter dan berjalan memasuki cabang kiri.

Dingin. Gelap. Seram. Begitulah cabang yang kutempuh ini. Tapi tidak sedikitpun aku merasa menyesal telah menolak ajakan tour guide baik hati itu. Belum.

Udara mulai berhembus dan menimbulkan suara aneh dan langkahku menjadi semakin ringan, tetapi kakiku semakin mantap menjejak di tanah yang dipenuhi oleh daun-daun berguguran agar tubuhku tak terbawa angin. Dedaunan yang gugur itu, however, tampak bergeming sama sekali. Seolah gravitasi yang terasa memberat dan udara yang bertiup semakin lama semakin kencang itu hanya berpengaruh padaku. Tapi aku tak memedulikannya. Belum memedulikan ataupun menyadarinya. Aku terus berjalan.

Lalu aku melihatnya.

Lubang hitam yang sangat besar.

Ia menempel di batang pohon yang tak kalah besar.

Diameternya mungkin mencapai ujung-ujung tanganku yang kurentangkan ke samping sejauh mungkin. Tapi jarakku masih agak jauh dari sana, jadi mungkin lubang itu jauh lebih besar.

Kemudian aku terjatuh.

Aku menjerit, mencakar-cakar tanah, mencari apapun yang bisa kujadikan pegangan sementara kakiku terseret masuk ke dalam lubang hitam yang tak terlihat apapun di dalamnya itu. Lubang itu adalah perwujudan nyata kehampaan yang mengerikan. Lubang itu mengisap apapun yang bergerak di sekitarnya, karena itu daun-daun itu bergeming, tak terisap oleh lubang hitam itu. Angin yang bertiup seolah hanya memengaruhi mereka yang bergerak secara nyata; manusia dan hewan. Itu sebabnya tak ada tanda-tanda makhluk hidup lain selain aku dan tumbuhan-tumbuhan yang sediam batu itu. Semua hewan yang pernah ada di sana pasti sudah terisap masuk sementara hewan-hewan lain yang jauh lebih cerdas sudah menghindar darinya.

Yang mana membuktikan bahwa intelejensiku tidak lebih baik daripada hewan.

Meski pemahaman itu sudah merasuk ke dalam otakku, aku tak berhenti mencakar dan menjerit. Sampai akhirnya, ketika sebuah sulur tanaman berwarna cokelat yang tampak kokoh sekaligus lentur muncul.

Kau seharusnya tidak memercayai sebuah sulur yang mencambuk ke arahmu, terutama kalau kau tidak melihat orang yang mengendalikannya sejauh 10 meter dari jarak pandangmu. Tapi kau harus mengerti, aku panik dan tak ada pilihan lain. Selain itu, setengah dari betisku telah merasakan hawa dingin lubang kehampaan itu, yang mana sebenarnya adalah hal bagus karena itu artinya aku masih hidup, tapi akan segera menjadi tidak bagus begitu seluruh tubuhku masuk ke dalamnya. Mungkin saja aku terlempar ke Jupiter, atau bahkan Pluto. Aku tidak yakin Pluto bahkan bisa menampungku.

Jadi aku meraih sulur itu, dan sulur itu membelit tanganku. Sulur itu serta merta menarikku keluar dari lubang itu, dan menjauhkanku dari sana. Aku berusaha bangkit, tapi kecepatan sulur itu tidak mengizinkanku, jadi aku berbaring menelungkup terseret. Untungnya, tidak ada batu-batu yang tajam, hanya saja bagian depan tubuhku--selain wajahku--jadi super kotor. Tapi, pikirku, itu jauh lebih baik daripada terisap masuk ke dalam kehampaan.

Hingga akhirnya, sulur itu berhenti dan aku bertemu muka dengan orang yang mengendalikan sulur itu. Kata "penyelamat" rasanya terlalu berlebihan, tapi bagaimanapun juga, dia memang sudah menyelamatkanku dari lubang itu. Ia berdiri menghalangi cahaya, dan mataku yang telah terbiasa berada di hutan sana di mana cahaya sangat sulit merangsek masuk, menyipit. Aku kenal dia. Atau setidaknya kurasa aku mengenalnya. Ia membungkukkan badan, mengulurkan tangan. Saat ia berbicara, aku yakin aku akan menganga seandainya ini nyata. Kata-kata yang ia keluarkan sangat sederhana dan awam. "Kamu gak apa-apa?"

Saat mulutku terbuka untuk mengatakan sesuatu--entah menyebutkan namanya atau menjawabnya--aku justru terbangun, menggigil kedinginan.

*

Sementara aku berlari dari gadis yang mengejarku di mall tadi, beberapa mobil menyusulku. Aku ingat melihat jalan beraspal yang lebar itu sebagai jalan Merdeka. Seiring mobil-mobil yang tampak menyusut jumlahnya aku mulai berani untuk berlari ke tengah jalan. Kemudian aku berbelok ke kanan dan jalanan mulai menanjak. Tapi jalan yang menanjak ini tak lagi terlihat seperti bagian dari jalan Merdeka, karena jalan Merdeka tidak menanjak sama sekali. Tidak. Tanjakan ini justru terlihat seperti tanjakan yang ada di dekat rumahku, yang berada di samping tempat parkir Tea House. Lengkap dengan gardu dan gedungnya yang menjulang di atas. Tapi aku terus berlari. Pijakan kakiku bertambah kuat menolak jalan, lalu, ketika aku melihat bahwa sebuah kubangan air yang begitu lebar telah menantiku di atas, aku menambah kekuatan tolak kakiku lalu aku melayang.

Melayang, benar-benar melayang.

Aku melihat langit biru yang disisipi kapas-kapas putih yang tipis dan beberapa tampak empuk.

Aku sekaligus melihat diriku yang melayang dengan kemiringan 180 derajat di udara, yang, artinya, tubuhku seolah berbaring, tetapi di udara, kemudian dengan perlahan tampak menaikkan badan dan kembali pada posisi berdiri. Masih melayang.

Tanganku yang terentang lebar merasakan angin yang bertiup melalui sela-sela jariku.

Lalu aku mendarat.

BUGH!

Tidak dengan mulus. Aku juga tidak mengerti. Dengan posisi seperti itu seharusnya saat aku menjejakkan kaki di tanah, aku akan mendarat dengan mantap di kakiku. Tapi alih-alih seperti yang kupikirkan seharusnya terjadi, aku malah mendarat dengan bahu kiriku membentur aspal dengan nikmatnya. Aku berguling, berdiri, dan lanjut berlari.

Setelah aku berlari cukup jauh dari tanjakan itu, aku menoleh.

Lalu aku melihatnya. Gadis yang seharusnya mengejarku itu, siluetnya digantikan oleh seorang pria tinggi dengan bahu lebar.

Laki-laki yang juga waktu itu menyelamatkanku dari lubang kehampaan. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa begitu yakin. Aku hanya tahu bahwa aku tahu itu dia. Bahkan meskipun ia hanya berupa bayangan hitam yang berkacak pinggang lelah.

Tapi aku tak memiliki waktu yang dapat kubuang sia-sia. Aku terus berlari, hingga kemudian aku berbelok. Pepohonan mulai rindang, jalan beraspal digantikan tanah cokelat kemerahan yang basah sehabis hujan, lumpur agak menciprati kakiku. Dan aku berhadapan dengan dua cabang jalan yang pernah kulihat sebelumnya.

Cabang ke kanan tampak menurun agak curam dengan pepohonan yang tak serindang yang sekarang ini menaungi kepalaku dari sinar matahari yang menyengat. Sementara cabang ke kiri jalannya tampak tak securam cabang ke kanan--bahkan nyaris tak menurun sama sekali--tetapi pohon-pohonnya begitu rindang dan rapat sampai-sampai sinar matahari tak dapat masuk ke dalamnya.

Aku memasuki cabang yang kiri.

Bahkan saat itu, meskipun aku tahu aku pernah melewati jalan ini sebelumnya dalam mimpi yang lain dan terakhir kali aku memasuki jalan itu aku nyaris terisap masuk ke dalam kehampaan, aku seolah tidak memikirkannya. Maksudku, aku tahu aku memikirkannya. Tapi rasanya seolah aku yang berpikir dengan aku yang berlari memiliki pemikiran yang berbeda. Anehnya meskipun sama-sama aku, tetapi aku tidak dapat mengetahui apa yang ia pikirkan.

Baiklah, ini cuma mimpi. Aku maklumi itu.

Kali ini, aku tidak bertemu lubang itu.

Tapi alih-alih, aku malah bertemu sebuah bendungan air di mana ada orang yang cukup gila untuk membangun rumah di samping bendungan itu. Lebih tepatnya, membangun rumah bawah tanah dengan pintu yang ada di samping gerbang bendungan. Itu memang sebuah rumah bawah tanah, karena dari tanah di atasnya tidak terlihat bangunan beton apapun kecuali dinding bendungan itu. Aku mendengar suara kecipak air tapi pandangaku ke sungai terhalang oleh dedaunan yang begitu lebat. Selain air sisa hujan, bendungan itu tampak kering.

Lalu aku bertemu dengan Mita dan nenekku.

Dan kau tahu bagaimana akhirnya.




Baiklah, itu cuma mimpi, kataku. Tapi tidakkah itu terasa... aneh? Terasa janggal? Ada begitu banyak kesamaan di dalamnya.

Pertama, keadaannya saat itu sama-sama sehabis hujan.
Kedua, aku menghadapi hal yang sama yaitu berjalan di atas jalan beraspal yang kemudian berubah menjadi tanah merah yang basah dan agak berlumpur.
Ketiga, aku menghadapi percabangan yang sama dan mengambil cabang yang sama.
Keempat, aku bertemu pria yang sama.

Aku tidak mau berharap, dan aku tidak berani berharap. Aku tidak mau berpikir, dan aku tidak berani berpikir. Siapa lelaki itu sebenarnya. Aku merasa aku mengenalnya, tapi perasaan itu adalah perasaan mengerikan yang lebih menakutkan daripada lubang kehampaan itu. Kau tahu yang orang-orang katakan, ya kan? Expectations lead to disappointment. Harapan mengarah pada kekecewaan. Aku muak dijatuhkan oleh harapan-harapanku sendiri.

Anggap saja ini satu lagi postingan random dariku.

No comments:

Post a Comment