Sunday 10 March 2013

Menyesal Jadi Orang Indonesia

Oke, Indonesia memang terkenal karena banyak hal. Salah satu negara terkorup dunia, pemandangan yang indah, polusi yang bertebaran, makanan yang wuenak, banyaknya rakyat miskin... tapi dari itu semua, belum pernah ada yang benar-benar bikin saya menyesal jadi orang Indonesia. Malu, kadang iya. Tapi menyesal? Belum pernah.

Sampai saat ini.

Jadi ceritanya simpel. Aku lagi ngoprek GoodReads, terus nemu banyak buku yang pengin aku baca, aku mark as To-Read. Habis itu aku mikir, kapan aku bisa bacanya? Secara Indonesia gitu lho. Orang Indonesia tuh paling males baca. Gak percaya? Lha wong dari kecil, dari SD mereka udah dididik untuk begitu. Orangtuanya jarang baca, ya anaknya juga jadi jarang baca. Coba deh, banyak tuh anak-anak sekolahan yang ngeluh soal teks yang harus mereka baca pas latihan atau ulangan mapel bahasa. Nah, karena minat baca rakyat Indonesia sedikit, yang kena imbasnya, ya, para orang yang suka baca kayak kami ini.

Kenapa kami bisa kena imbasnya?

Gampangnya begini:
   Semakin tinggi minat baca penduduk, maka semakin gencar penerbit menelurkan buku-buku bermutu tinggi dan menerjemahkan buku-buku luar, best selling maupun tidak. Tapi semakin rendah minat baca penduduk, ya penerbit juga gak rajin-rajin amat ngeluarin buku. Ngapain? Yang baca cuma sedikit, kok. Kalau kalian perhatikan ya, sering banget tuh buku luar masuk Indonesia udah berlabel best selling. Awalnya kupikir, iya lah, ngapain nerjemahin buku yang belum diakui? Kalau best selling kan berarti udah diakui bagus. Nah terus aku coba lihat buku-buku luar yang belum diterjemahin. Ternyata banyak, tuh, yang berlabel best selling juga. Dan bahkan meskipun nggak berlabel best selling, tapi penerbit dan agen-agen di sana (cont: Amerika) rajiiin banget ngeluarin buku. Dari berbagai genre. Fiksi/non-fiksi. Fantasi, teenlit, chicklit, young-adult, historical, apaaa aja.

Dan dari situ aku bikin semacam teori ngaco yang rasanya masuk akal buatku: Orang sana tuh hobi banget baca. Minat bacanya tinggi. Apa aja dibaca. Kalau gak ada kerjaan iklan papan reklame juga dibaca. Saking rajinnya petunjuk penggunaan dan Term of Service juga dibaca. Nah, makanya orang kalau mau jadi penulis di sana tuh gak sesulit di Indonesia. Karena minat bacanya tinggi, selain mereka udah punya pengetahuan yang banyak tersimpan dalam otak, agen penerbit dan penerbit juga welcome banget sama para penulis pemula di sana. Klasifikasinya jadi gak berbelit-belit gitu. Sementara di Indonesia karena minat bacanya rendah diusahakan sebisa mungkin naskah yang diterbitkan itu adalah naskah yang bener-bener bagus. Kalau bisa, dari lima naskah bagus dari genre yang sama pilih satu aja. Yang lainnya meskipun bagus, tolak. Kenapa? Supaya minat pembaca yang udah minim itu bisa tergugah. Lah, kalau nerbitinnya nggak pakai seleksi super ketat mana bisa? Ibaratnya lubang penerbitan luar tuh lebar, karena masyarakat pembacanya juga melahap apa aja yang dikasih. Kalau di kita tuh super sempit, karena masyarakatnya, bahkan yang suka baca, pilih-pilih. Udahlah sedikit, pilih-pilih pula. Beuki weh susah.

Dan itu yang bikin aku menyesal jadi orang Indonesia. Menyesal, kenapa minat baca masyarakatnya nggak tinggi, supaya kita bisa menerjemahkan buku-buku luar lebih cepat. Nih ya, di Jepang, satu buku di luar negeri terbit bulan Juni, pertengahan-akhir Juli paling telat Agustus udah terbit versi bahasa Jepangnya. Kita? Terbit tahun 2003 diterjemahkan tahun 2013. :|

Oke, gak seekstrem itu, tapi yang pasti bisa bertahun-tahun sebelum diterbitkan versi terjemahannya di sini. Aku mau aja cari buku aslinya, tapi satu-satunya toko buku impor yang kutahu di sini tuh Times, dan di Times harganya sebelas-dua belas sama harga buku terjemahan. Sementara temenku di Bali bilang dia nemu buku Darkest Mercy di Periplus seharga Rp10.000,00, coba! Bayangkan! Sepuluh ribu rupiah! PENGIN NANGIS GAK SIH!?

*Sigh* Yah, sekianlah uneg-unegku. Emang sih, sekarang juga remajanya mulai suka baca. Tapi yang suka bikin aku gregetan adalah, meski suka baca, mereka gak memperlakukan buku-buku itu selayaknya! Ditekuk, dilipat, ditarik sampe sobek, kenapa gak dibakar aja sekalian!? Oke, aku ngaku, aku juga gak rapi-rapi amat nyusun bukuku, tapi mereka gak pernah aku tekuk, gak pernah aku lipat, dan walau acak-acakan, selalu ada di rak buku (meski ditumpuk karena gak ada space lagi). Buatku, kalau kita beneran suka membaca, dan gak hanya sekadar tren (oh, ya, sekarang emang lagi lumayan ngetren baca buku. Senggaknya di sini, meski gak sengetren "Cungguh, ciyus, miapah, WOW"), kita pasti juga akan menjaga buku-buku itu supaya tetap bagus, rapi, bersih, wangi... baju kali. Ya, yang pasti diperlakukan secara berperikebukuan. Tapi itulah orang Indonesia. Jaga barang sendiri aja suka gak keruan, apalagi barang pinjeman dari perpustakaan. Tapi semoga tren membaca ini akan terus bertahan sampai semua--SEMUA--remaja di Indonesia gemar membaca, AMIN. Dan kalaupun mereka nggak gemar membaca, aku akan tanamkan hobi membaca pada anak-cucuku, terus mereka turunkan lagi pada anak-cucu mereka, dan terus, dan terus, sampai menyebar, sampai semua keturunanku suka membaca. YEAY. AMIN.

Caw, ah.

No comments:

Post a Comment