Sunday 3 March 2013

Pelarian

Beberapa waktu yang lalu, aku kembali bermimpi aku sedang berlari.

Okay, okay, it was almost long time ago. Aku lupa untuk menulisnya, tapi, ck.

Mimpi pertamaku tentang berlari sudah kupost di sini. Kali ini, aku kembali dikejar-kejar oleh seseorang. Tidak, lebih tepatnya, beberapa orang. Hei, ingat waktu kukatakan bahwa setelah aku melompati tanjakan itu siluet gadis yang mengejarku berubah menjadi siluet seorang pria dengan bahu yang lebar? Aku agak menyesal lari darinya. Awalnya aku memang berlari dari gadis gila-entah-siapa, tapi kalau ternyata cowok kan...

Oke, kembali pada fokus.

Ceritanya bermula ketika aku sendirian di rumahku. Tidak ada nenek, ibu, maupun kakakku. Hanya sendirian. Yang kutahu pasti, ada orang-orang yang mengepung bagian depan rumahku. Mereka berseragam hitam-hitam dan membawa senjata, persis seperti orang-orang Pasukan Khusus. Aku mengemasi tas dan mengenakan sepatuku. Ketika mengemasi tas, aku tidak tahu kenapa, tapi aku memasukkan mukena ke dalamnya juga. Baiklah, jadi aku lebih religius dalam mimpi. Bermimpi saja terus.

Mereka mengepung bagian depan rumahku, tapi mereka tidak mengepung bagian belakang rumah, karena mereka merasa tembok dan pagar yang mengelilingi halaman belakang rumahku sudah lebih dari cukup, mungkin. Mereka salah. Aku membuka pintu belakang rumah dan menaiki tangga menuju halaman--lebih tepatnya kebun--belakang yang luas, ditutupi rumput liar, dan hanya Tuhan yang tahu ada apa di antara rerumputan itu. Aku memanjat pagar dan mulai berlari. Hampir keluar dari kompleks, aku berpapasan dengan patroli yang mencariku dan aku bersembunyi. Beberapa dari mereka yang berjaga di pintu masuk kompleks mengobrol dengan tukang ojek yang mangkal di sana, menanyakan apakah mereka melihatku. Aku tidak yakin bagaimana aku keluar dari kompleks itu, yang pasti aku berhasil keluar.

(Meski ini adalah mimpi yang kukunci erat-erat untuk kutuliskan di kemudian hari, mungkin pada saat aku terbangun pagi itu, sebelum aku menguncinya, beberapa memori mimpi telah melarikan diri duluan.)

Aku berlari dan terus berlari, melewati kompleks perumahan DDK, kampus dan masjid STKS, Hotel Sheraton, dan masuk ke warnet Hot Seat! di mana beberapa orang sedang berkumpul. Lucunya, meski seharusnya itu adalah warnet, dalam mimpiku beberapa orang itu justru sedang belajar mengaji. Aku ingat, ada dua orang dewasa dan beberapa anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet yang sudah usang dan agak kasar berwarna abu-abu. Aku masuk lebih dalam kemudian menunaikan shalat--entah shalat apa dan lebih entah lagi mengapa. Ada sisi diriku yang bertanya-tanya bagaimana bisa saat seharusnya aku melarikan diri, aku sempat-sempatnya shalat terlebih dahulu. Sebut aku kafir atau murtad, tapi seandainya itu benar-benar terjadi, aku tidak akan terpikir untuk membawa alat shalat.

Tapi aku mengerti kenapa aku shalat pada saat itu.

Karena meski hanya sebuah mimpi, aku merasakan kedamaian dan ketenangan, yakin bahwa Tuhan akan melindungiku. Orang-orang itu, mereka yang mengejarku, berkata mereka melakukannya demi kebaikanku semata.

Benarkah?

Seselesainya aku shalat, aku berkumpul dengan orang-orang yang sedang belajar dan mengajar mengaji itu kemudian mengobrol. Aku ingat mendengarkan perkataan ustadz yang mengajar itu dengan saksama (orang dewasanya berpasangan), aku ingat diberi petuah. Tapi aku tidak ingat apa yang dikatakannya. Nyatanya, aku tidak yakin beliau mengatakan sesuatu. Tapi, hei, namanya juga mimpi.

Para Pasukan Khusus yang mengejarku sampai di sana dan aku segera bersembunyi di balik sekat yang memisahkan tempat mereka belajar mengaji dan mushola. Para Pasukan Khusus menunjukkan fotoku dan mengatakan pernahkah mereka melihatku. Ustadz itu dengan tenang berkata tidak, dan sementara Pasukan Khusus itu masih berusaha menanyakan keberadaanku, aku menoleh dan melihat pintu keluar yang terbuka lebar. Aku berlari keluar, tapi aku tidak tahu apakah satupun dari mereka menyadarinya atau tidak. Itu tidak terlalu penting juga. Begitu aku keluar, aku disambut oleh pohon-pohon hijau yang rindang di pinggir jalan beraspal, seperti jalan tol Cipularang (pasti tahu semua deh). Aku berlari lagi. Meskipun tadi aku tidak mengambil tasku, tas itu kini berada di punggungku sekarang, membentur-bentur dengan rasa nyaman yang akrab dan memberiku perasaan aman. Jalanan mulai menanjak sedikit dan aku mengikutinya. Aku berlari di pinggir sementara satu-dua mobil menyusulku. Jalan itu berbentuk S setengah lingkaran yang ditumbuhi pepohonan di kanan-kirinya.

Lalu aku terbangun.

No comments:

Post a Comment