Sunday 1 September 2013

Surat Untuk Dia Yang Tak Disebut Namanya Dari Aku Yang Tak Akan Mengaku Siapa Diriku Sebenarnya

"Kau harus memaafkan penulisanku yang kacau balau. Kau tidak tahu bagaimana rasanya berbaring berjam-jam di atas tempat tidur, berguling ke sana-kemari berusaha mencari posisi yang lebih nyaman dan mendapati bahwa bahkan berdiri dengan kepala di lantai pun tidak dapat membuatmu tertidur. Mereka bilang pikiran adalah hal paling kuat dari manusia dan saat ini aku mendapati bahwa hal itu benar adanya. Aku terus menerus memikirkanmu dan memikirkanmu dan memikirkanmu dan benakku tidak mengizinkanku tidur. Sekarang aku telah terbangun selama hampir delapan puluh jam. Kau ingin angka pasti? Kuberi kau dua angka tujuh. Dan kuberi tambahan sebanyak delapan belas menit dan tujuh detik. Selama itulah aku telah terbangun. Dan selama itu pulalah kau menyiksaku--bahkan tanpa kau sadari. Kau tahu, seharusnya ada hukum yang mengatur tentang hal ini; tentang menyiksa seseorang tanpa sadar. Aromamu, tawamu, komentar sinismu... semuanya menghantuiku. Dan kalau aku mati karena kurang tidur, dengan pasti akan kutuliskan di surat terakhirku bahwa kaulah penyebabnya. Tapi mungkin kau tidak akan terlalu khawatir, karena meski kau alasan aku tidak tidur selama berhari-hari sampai mati kau kan tidak melakukannya dengan sengaja. Meskipun begitu kuharap kau akan datang ke pemakamanku. Jangan gunakan warna hitam; aku benci warna hitam. Mengingatkanku pada ruang yang sempit dan gelap tempat pengasuhku dulu sering mengurungku jika aku tidak patuh--dilakukan tanpa sepengetahuan orangtuaku, tentu saja. Omong-omong, apa menurutmu mereka bisa membuatkanku liang lahat yang lebih luas? Katakanlah, lima kali sepuluh meter? Bagaimana menurutmu? Sebagai sesama penderita klaustrofobik seharusnya kau mengerti penderitaan yang akan kualami. Yah, tapi aku sudah mati juga saat masuk sana jadi siapa peduli.

Sampai mana aku tadi? Oh ya. Kau menyita pikiranku nyaris sama baiknya dengan pembajak menyita sebuah kapal laut yang melintas. Hanya saja aku merasa bahwa sebenarnya aku menikmati disita olehmu. Aku ingin kau menculikku, lalu menyekapku di sebuah pondok yang ditinggalkan di tengah hutan di... entahlah, Skotlandia? Lalu di sana kau akan mengakui padaku cintamu yang menggebu-gebu dan bagaimana kau tidak bisa mengalihkan pandangan dariku saat aku memasuki ruangan dan bagaimana kau ingin membunuh setiap pria yang berdiri terlalu dekat denganku dan bagaimana kau ingin aku mendampingimu di setiap sisa hidupmu. Persis seperti yang para lelaki-lelaki tampan dalam novel lakukan. Yaaa memang tidak semua dari mereka menyekap sang wanita, tapi kurasa itu akan menambah aroma petualangan dalam kisah kita. Bukannya aku yakin "kita" akan memiliki kisah.

Bagaimanapun juga aku berharap bahwa kita akan memiliki kisah. Setiap kata yang telah kuucapkan padamu--kuharap kau mengingatnya seperti aku yang mengingat semua kata yang pernah kau ucapkan padaku. Oh, ya, aku mengingat semuanya. Dan oleh semuanya, maksudku SEMUANYA. Tuhan telah mengutukku dengan ingatan permanen yang mengerikan, tapi kadang ada gunanya juga. Tapi harus kuakui itu juga merupakan sebuah hal yang sangat mengganggu, terutama karena saat aku tak bisa tidur di malam hari, itu karena aku terus menerus mengulang setiap percakapan yang pernah kita lakukan. Aku mengulang semua perkataanmu. Huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat. Aku rasa jika aku tidak mati karena kurang tidur aku akan mati karena gila pada akhirnya. Atau aku akan ditangkap dan dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Siapa yang melihat perbedaannya. Di rumah sakit jiwa mungkin mereka akan mendudukkanku di kursi yang mengirimkan jutaan sengat listrik padaku dan menyerang otakku. Tunggu; apa mereka bahkan masih melakukan hal itu pada pasien sakit jiwa?

Oh, lupakanlah. Aku melantur. Dan kau benar-benar harus memaklumi, karena aku belum tidur selama tujuh puluh tujuh jam tiga puluh dua menit empat detik sekarang. Ya Tuhan, pernahkah orang memberitahumu bahwa menulis surat dapat menghabiskan waktu begitu lama? Aku tidak mengerti bagaimana orang-orang bisa tergila-gila pada kegiatan tulis-menulis surat ini. Rasanya melelahkan; kurasa bahu dan lenganku akan copot dan aku akan selamanya dikenal sebagai Si Gadis Tanpa Sebelah Bahu. Akan teramat sangat mengerikan, meskipun kuakui ada sisi praktis di mana berkurang satu ketiak yang harus kucukur setiap bulannya. Tapi bagaimana dengan ketiakku yang satunya lagi? Siapa yang akan mencukurnya? Ya ampun, ketiak yang malang. Kurasa aku harus beristirahat sebentar; hanya untuk memastikan bahwa bahuku tidak akan copot dan lenganku bisa mencukur ketiak masing-masing secara bergantian. Itu hal yang sangat sensitif bagi gadis, kau tahu.

Aku kembali. Dan sekarang aku belum tidur selama tujuh puluh delapan jam dua menit tiga belas detik. Aku merasa benar-benar lelah, fisik dan mental. Tapi aku tahu tidak ada gunanya aku menghampiri tempat tidur karena di sana aku hanya akan memikirkanmu lagi. Pernahkah ada yang mengatakan padamu betapa kau mirip seekor hama? Kau teramat sangat mengganggu. Parahnya, kurasa ada sebagian kecil dari diriku yang menikmati gangguan darimu. Oh, baiklah, sebagian BESAR. Tapi itu tidak lantas menjadi pembenaran untuk mengganggu seseorang, kau tahu. Kau seharusnya menjalani hidupmu sendiri dan jangan ganggu aku. Jadi kusarankan supaya kau segera pergi dari pikiranku atau akan kupanggil polisi. Ah, aku melantur lagi. Polisi macam apa pula yang akan mendengarkan keluhan dan kesaksianku. Kau kan tidak benar-benar sadar sedang menggangguku. Baiklah, kalau begitu kuharap aku juga mengganggumu sebesar kau menggangguku, supaya kita impas.

Sebesar harapaku bahwa aku mengganggumu seperti kau menggangguku, nyaris sebesar itu pulalah keinginanku untuk kembali bertemu denganmu. Kurasa kau tidak akan mengingatku, karena kau tidak pernah benar-benar meninggalkan kesan yang mendalam bagi seseorang. Tapi tidak ada salahnya berharap, kan. Dan aku berharap bahwa ada serpihan kenangan mengenai diriku yang tertinggal jauh di salah satu sudut benakmu, dan saat aku menyebutkan namaku--mungkin di mana dan bagaimana kita dulu bertemu--kau akan memberiku senyum magismu itu dan berkata bahwa kau ingat padaku. Bayangkan seberapa besar kebahagiaan yang dapat kau beri padaku dari sebuah senyuman dan serangkaian kata-kata yang ringan dan nyaris tanpa makna. Tentu mereka semua menjadi sebuah berkah tak ternilai harganya bagiku. Di sini kau akan menganggapku konyol, tapi memang begitulah adanya. Kau menghantuiku dan aku yakin kau bahkan tidak akan mengenaliku. Tapi mereka bilang seperti itulah hidup; sedikit kekecewaan dan kepahitan di sana-sini, itulah yang membuatmu hidup.

Tidak ada salahnya berbuat sedikit kebaikan, kau tahu. Meski aku tahu kau tidak mungkin mengingatku, bahwa aku hanyalah satu lagi pengagum yang tak mungkin kau pedulikan, aku masih berharap bahwa kau setidaknya mengingatku. Mengenaliku. Seandainya aku beruntung, kau akan menyimpan seperduapuluh saja rasa kagum yang kurasakan padamu. Tapi kurasa kini kau sudah jauh di luar jangkauanku dan mungkin kita tidak akan bertemu lagi, jadi kuputuskan untuk menulis surat ini. Kita tidak mungkin bertemu lagi, tapi kemungkinan selalu ada, kau tahu. Mereka bilang segala hal yang terjadi tidak pernah terjadi secara kebetulan. Semuanya adalah takdir. Dan sejauh yang kutahu, takdir selalu menyimpan sebuah makna di balik setiap tindakannya. Jadi pertemuan kitapun telah diatur oleh takdir dan memiliki arti. Apakah artinya itu? Aku tidak tahu. Apakah kita akan atau telah mengubah hidup kita masing-masing, atau mungkin hanya menjungkir-balikkan pola tidurku yang memang sudah kacau. Aku terbuka atas segala kemungkinan. Ya, tak ada kebetulan, tapi aku menyambut kemungkinan. Probabilitas. Dalam hitungan ngawurku, probabilitas dari pertemuan kita yang selanjutnya--jika kita akan pernah bertemu lagi--adalah sejuta banding satu. Satu untuk bertemu lagi. Tapi aku akan terus berharap, karena kadang hanya harapan yang dapat membuat seseorang terus hidup. Yah, bukannya aku sedang sekarat atau hendak bunuh diri, tapi kan kalau-kalau. Dan jangan lupakan kemungkinan aku mati karena kurang tidur. Atau dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena mentalku terganggu akan pikiranku olehmu. Ah, dasar kau pembajak jahat. Kutebak aku bukan gadis pertama yang kau ganggu pikirannya, ya kan? Seharusnya ada seseorang yang mengajarimu tentang tidak mengganggu gadis-gadis polos. Meskipun Tuhan tahu aku tidak polos. Tidak sejak aku lahir.

Sekarang aku akan meminum dua pil tidur. Aku sedang mempertimbangkan untuk menambahkan satu lagi. Tapi sudah ada kemungkinan aku mati karena kurang tidur dan mati disengat kursi listrik di rumah sakit jiwa. Aku tidak mau menambah kemungkinan lagi. Dan kuperingatkan kau: jauh-jauh dari mimpiku. Kalau kau berani muncul dalam mimpiku, akan kusodok perut ratamu dengan trisula yang besarnya mencapai tinggi istana presiden. Kutendang bokongmu sampai kau mendarat di Jupiter. Setelah itu kukejar kau ke Jupiter dan kuajak berdansa bersamaku. Dari yang kutahu, dansa waltz sepertinya akan menyenangkan. Tapi kuyakinkan kau itu akan menjadi siksaan bagimu karena aku memiliki apa yang mereka sebuh sebagai "dua kaki kiri". Itulah akibatnya kalau kau macam-macam dengan seorang gadis--kami punya seribu satu cara untuk menjadikan hidup seseorang merana. Meski tidak ada yang seefektif caramu menginvasi otakku.

Di manapun kau berada, aku akan tetap di sini. Dalam setiap langkah yang kauambil untuk menjelajah, ketahuilah bahwa aku menunggumu melangkah kembali ke tempat kita bertemu dulu. Jika aku akan terlihat seperti gelandangan menunggu kepiting melahirkan seekor pegasus di tempat itu, maka biarlah. Aku ingin mengejarmu, tapi aku tak tahu ke mana perginya dirimu. Jadi di sanalah aku akan menunggu. Berharap kau akan kembali dan kita akan bertemu kembali. Setelah itu kau harus membelikanku segelas kopi panas--dengan dua sendok susu dan tiga bongkah gula. Lalu kita akan mencari sebuah tempat yang terlindung dari hujan dan sengatan sinar matahari dan akan menceritakan hal-hal yang terjadi selama kita berpisah. Itu, kalau kita bertemu lagi.

Sudah kubilang aku tidak begitu suka menulis surat. Aku tak tahu bagaimana harus mengakhirinya. Apa aku harus menandatanganinya? Aku tak pernah membuat sebuah tanda tangan sebelumnya. Apa sebuah inisial akan memuaskanmu? Baiklah kalau begitu. Semua demi kesopanan--dan mereka bilang aku barbar.

***-*.

P.S.: Aku akan teramat senang kalau kau mau membawakanku sesuatu sebagai buah tangan, meskipun kehadiranmu sendiri sudah merupakan hadiah paling berharga yang pernah kudapatkan."

No comments:

Post a Comment