Tuesday 15 July 2014

Matthew Trewhella III

Fanfic seri Ingo karya Helen Dunmore. SPOILER ALERT! I own nothing. :)


Aku mendengarnya sebelum otakku menerjemahkan suara itu.

Sssssapphireeee......... Sssssaaaaaapppphhiiiiireeeeeeee........

"Dad?" panggilku. Tapi itu tidak mungkin. Dad sudah meninggal. Dad sekarang berada di Limina.

Sssssaaaaaapppphhhhhiireeeeeeee...............

Suara itu semakin mendesak, dan kali ini aku yakin bukan Dad yang memanggilku. Suara ini milik seorang perempuan. Aku merasa pernah mendengarnya, tapi ingatan itu hanyalah memori samar yang sulit kujangkau.

Myyrrgh kerenzzaaaa.......

"Sapphire?" Conor mendongak, dan aku menyadari bahwa aku telah berdiri. Sadie mulai menggeram, seolah tahu suara dari Ingo memanggilku. "Hush, Sadie."

"Con?" panggilku. "Aku mau pergi ke teluk sebentar."

Kali ini Conor mengernyitkan keningnya. "Ada apa? Apa Faro-"

"Bukan, bukan Faro," tukasku. Aku mengusap kepala Sadie lembut. "Tolong jaga Sadie, ya? Sadie, Sadie manis, kau diam di rumah bersama Conor sebentar, ya? Aku segera kembali, aku janji."

"Saph-"

Tapi aku tidak mendengar lagi, karena aku telah berlari keluar rumah, menuju teluk, menuju suara wanita yang memanggil-manggil namaku. Aku berusaha secepat sekaligus sehati-hati mungkin saat turun ke teluk, tapi tetap saja tanganku tergores tepian batu yang tajam. Lalu aku berlari melewati garis pantai hingga separuh betisku terbenam, tapi aku tidak menyelam. Belum.

Aku tidak bisa memastikan suara yang memanggilku berbahaya atau tidak.

"Keluarlah!" teriakku. "Aku sudah datang. Apa maumu?"

Kemudian, perlahan-lahan, jauh lebih ke tengah, sebuah bola hitam muncul ke permukaan. Namun itu bukan bola biasa; itu adalah kepala. Kepala seorang Mer. Meski matahari mulai terbenam, cahayanya cukup bagiku untuk mengenali Mer tersebut. Itu bukan Elvira, meski mereka cukup mirip. Bukan.

Itu Mellina.

"Kemarilah," pintanya, suaranya terdengar lemah dan sesak. "Aku tidak bisa menembus batas Ingo dan Udara semudah dirimu."

Baru akhirnya aku menyelam. Aku terkadang lupa bahwa tidak semua Mer - dan manusia - seperti Faro dan aku; kami memiliki darah Mer dan darah manusia. Meski awalnya menyakitkan, namun transisi dari Ingo ke Udara dan sebaliknya tidak sulit bagi kami. Bagi beberapa Mer lainnya, rupanya, itu merupakan proses yang menyakitkan, bahkan meski secara teknis seluruh tubuh mereka berada di dalam Ingo.

Aku menghampiri Mellina dan menyadari ia membawa Mordowrgi, anak Mer Dad. Adik tiriku. Ia tidak lagi tampak semungil dulu saat aku menggendongnya di gua Saldowr beberapa bulan yang lalu. Benarkah itu baru beberapa bulan yang lalu? Rasanya seperti bertahun-tahun yang lalu.

"Salam," sapaku.

"Salam, Myrgh Kerenza," balasnya. Aku sedikit mengernyit lalu dengan cepat menetralkan kembali ekspresiku. Nyaris seluruh Ingo memanggilku Myrgh Kerenza. Hanya karena Mellina yang memanggilku begitu tidak berarti semuanya berbeda.

Aku mengamati Mordowrgi, dan ia balas mengamatiku. Bola matanya hitam dan besar, ekor Mernya bergerak-gerak di balik buntalan yang ibunya bawa. Ia tersenyum memamerkan gusinya yang baru ditumbuhi satu gigi, lalu tinjunya yang mengepal menggapai-gapaiku.

"Halo, Mordowrgi," sapaku, lebih lembut dari yang kukira. Tapi aku tidak bisa menahannya. Bayi memiliki kecenderungan mengeluarkan sisi lembut dari dirimu.

Mellina mengamati saat Mordowrgi tertawa menanggapi sapaanku, lalu ia tersenyum. "Dia menyukaimu."

"Eh," aku rikuh sejenak. "Terima kasih?"

Wanita Mer itu tersenyum lagi padaku. Di matanya tampak gurat-gurat kesedihan karena kepergian Dad. Dan sebelum aku bisa menahannya, aku berkata, "Aku turut menyesal atas kehilanganmu."

"Kau? Menyesal atas kehilanganku?" Mellina tertawa, dan untuk sesaat kukira ia mengejekku. Tapi kemudian aku menyadari tawanya hampa.

"Oh, Myrgh Kerenza," matanya tampak begitu sedih namun ada setitik rasa terhibur di sana. "Aku bisa lihat mengapa Matthew begitu menyayangimu."

Ulu hatiku serasa ditonjok saat ia menyebutkan tentang Dad. Aku nyaris berkata, tapi dia lebih menyayangimu. Untunglah aku berhasil menahan diri. Bukan salahnya Dad jatuh cinta padanya dan bukan salah Dad ia membuat Mellina mencintainya. Kami semua merasakan kehilangan yang sama; kehilangan orang yang kami sayangi.

Mellina menunduk menatap bayi Mer dalam dekapannya. "Bayi ini adalah anak Matthew," katanya, seperti kebiasaan para Mer mengulang hal yang sudah jelas. "Selama ini, kami memanggilnya Mordowrgi. Kau memanggilnya Mordowrgi."

Mellina mendongak. "Kini, ia sudah cukup besar untuk menerima nama yang sesungguhnya."

Aku menelan ludah dengan gugup. Aku tidak mengerti apa hubungannya pemberian nama untuk Mordowrgi untukku.

"Sapphire," ujar Mellina, "ini bertentangan dengan kebiasaan para Mer, tapi aku-" ia berdeham, "-aku ingin memberinya nama milik Matthew."

Barulah aku mengerti. "Kau ingin meminta izinku?"

Wanita Mer itu bergerak gelisah. "Aku tahu kau dan kakakmu menyalahkanku atas kepergian Matthew ke Ingo - tidak, biarkan aku menyelesaikan," katanya saat aku membuka mulut untuk menyela. "Dan sedikit-banyak, mungkin kalian benar."

Mellina tampak menyesal. "Seandainya waktu itu aku tidak bernyanyi padanya, ia tidak akan memberanikan diri masuk ke Ingo. Seandainya aku langsung pergi meninggalkannya waktu itu, ia tidak akan meninggalkanmu. Keluarga kalian tidak akan berantakan."

Duka dalam suara Mellina membuatku tercekat. "Tidak." Aku berdeham agar suaraku tidak terdengar mencicit. "Tidak, itu bukan salahmu. Darah Mer dalam diri Dad jauh lebih kuat dari darah manusianya. Dengan atau tanpa bantuanmu, hanya tinggal menunggu waktu sebelum Dad lebih memilih Ingo dibanding... dibanding... Udara."

"Aku tahu," Mellina tanpa sadar memainkan ikal-ikal rambut Mordowrgi. "Tapi jika seperti itu kejadiannya, mungkin dia tidak akan merasa terlalu sulit meninggalkan Ingo dan kembali ke Udara, seperti yang kau lakukan."

"Tapi kalau begitu, Mordowrgi tidak akan lahir," kataku. Dan tiba-tiba aku merasakan cengkraman kepanikan di dadaku. Aku selalu berpikir keadaan akan lebih baik jika saja Dad tidak bertemu wanita Mer di hadapanku ini; jika saja Dad tidak jatuh cinta kepadanya. Tapi jika tidak seperti itu keadaannya, adik tiri Merku tidak akan ada. Dan aku tidak bisa membayangkan hal itu meski baru tiga kali aku bertemu dengannya.

Mellina membelai Mordowrgi dengan sayang. "Ya," jawabnya lirih. "Ya, kau ada benarnya. Untuk itulah aku memanggilmu ke sini. Tolong jangan salah sangka dan mengira aku terlalu sombong untuk mendatangimu, Myrgh Kerenza, tapi Udara..."

"Aku tahu," balasku. Karena aku memang tahu. Aku ingat bagaimana sakitnya saat pertama kali memasuki Ingo, bahkan dengan bantuan Faro. Dan aku ingat bagaimana Udara seolah menusuk-nusuk paru-paruku saat aku keluar dari Ingo.

"Aku sudah merebut ayah kalian..." suara Mellina nyaris berupa bisikan. "Dan aku cukup egois untuk menjadikan namanya sebagai nama putra kami. Tapi aku ingin meminta restumu. Aku tidak bisa memutarbalik waktu dan mencegahnya mendatangi Ingo, mendatangi aku. Dan sejujurnya, aku tidak mau," Mellina tergelak sedih. "Jadi kupikir... kupikir meminta restumu atas namanya adalah hal terakhir yang bisa kulakukan untuk kalian."

Tenggorokanku tercekat dan aku merasa air mata panas menusuk-nusuk bola mataku, dan kali ini aku tidak berusaha menyembunyikan rasa haru dari suaraku. "Ya," jawabku, "ya, tentu saja."

Untuk pertama kalinya, wajah Mellina tampak penuh harap. "Kau mau memberkatinya?"

"Tidak, aku tidak tahu-"

"Yang harus kaulakukan hanya memberi bayi ini namanya," Mellina mendekatkan Mordowrgi padaku. Aku berdeham, takut melakukan kesalahan. Berhenti berpikir, Sapphire, ada darah Mer dalam dirimu, kau tahu bagaimana caranya.

Dan aku memang tahu. Aku meletakkan tangan kiriku di atas kening Mordowrgi kecil dan bahkan ia tampak serius seolah tahu betapa pentingnya saat ini. Lalu, dengan bahasa asli Mer, aku memberkatinya.

"Aku memberimu nama, Matthew Trewhella, atas kesetiaanmu, kekuatanmu, dan keberanianmu."

Mordowrgi - Matthew Trewhella III - cegukan. Aku tidak tahu bayi Mer juga bisa cegukan seperti manusia. Matthew kecil meringkuk dalam dekapan ibunya lalu tertidur. Mau tak mau aku merasakan senyum lebar merekah di wajahku, begitu pula di wajah Mellina. Aku berpikir mungkin selama ini hanya Matthew lah yang membuatnya bisa tersenyum. Bagaimanapun juga, ia melihat pria yang dicintainya mati di hadapannya. Seperti juga aku dan Conor.

"Terima kasih," bisiknya. Aku mengangguk dengan canggung. Mellina membuka mulutnya seolah ingin mengatakan sesuatu, lalu mengurungkan niatnya. Ia berbalik untuk pergi, namun sebelum ekornya mengibas, ia menoleh padaku. Ia tampak ragu sejenak.

"Sapphire," ujarnya. Aku menunggu sementara ia berusaha menyusun kata-kata. "Kalau kau ada waktu... kalau kau mau, datanglah mengunjungi kami kapan-kapan. Faro akan menunjukkan jalan menuju rumah kami. Ajak pula... kakakmu."

Untuk sesaat, aku tak tahu harus bereaksi bagaimana, jadi aku hanya menjawab, "Oke."

Mellina tersenyum sekilas padaku sebelum pergi meninggalkanku di teluk. Kembali ke Ingo. Kembali ke rumahnya.

Rumah. Aku tiba-tiba tersadar. Sudah berapa lama aku berada di Ingo? Cepat-cepat aku berenang sampai ke pantai dan menjulurkan leherku ke luar, menghirup oksigen dari Udara. Aku menoleh ke arah cakrawala dan merasa lega matahari belum terbenam sepenuhnya.

Aku berlari pulang menuju pondok kami, tidak memedulikan bebatuan yang kembali menggores tanganku atau semak-semak yang membelit kakiku. Aku harus memberitahu Conor sebelum Mum atau Roger pulang. Namun saat aku hampir mencapai pondok, langkahku melambat. Conor tidak menyukai Mellina ataupun Mordowrgi - Matthew. Bagaimana reaksinya nanti?

*

Di luar dugaan, reaksi Conor jauh lebih tenang. Bahkan, terlalu tenang. Ia hanya menatapku kosong sementara aku menceritakan keseluruhan kisahnya - setelah aku mandi dan mengeringkan pakaianku, karena Sadie benci bau Ingo. Saat aku selesai bercerita, Conor termenung menatap perapian kami yang menyala.

"Adik tiri, ya?" gumamnya. "Kau selalu saja menganggapnya seperti itu."

"Tapi, Con," sahutku, "Mordowrgi memang adik tiri kita! Dia anak Dad, seperti juga kita!"

"Maksudmu Matthew?"

Aku mulai cemas. "Kuharap kau tidak akan marah padaku karena memberkatinya dengan nama Dad."

"Marah?" Conor tertawa lepas. "Baru sekarang kau memikirkan konsekuensi itu?"

"Mellina berhak, Con," aku berusaha menjelaskan. "Dia juga menyayangi Dad, sama seperti kita."

Alih-alih menyanggah seperti yang selalu ia lakukan, Conor justru mendesah. "Aku tahu."

Harapan mulai tumbuh di dadaku. "Jadi kau tidak marah?"

Conor menggeleng. "Tidak. Lagipula, mungkin memang itu yang Dad inginkan."

"Trims, Con," aku memeluknya erat.

Conor balas memelukku sejenak sebelum berkata, "Jadi, kapan kita akan mengunjungi Matthew kecil?"

Jawabanku hanya berupa gelakan yang tercampur air mata.


Find me on Twitter!
http://twitter.com/AdityawhXo

No comments:

Post a Comment